Kinerja pasar finansial global di paruh waktu kedua 2022 tergolong volatile. Ini terlihat pada pasar saham, pasar obligasi, dan nilai tukar terhadap dolar US di sejumlah negara mengalami minus di semester awal. Namun, Indonesia justru menjadi negara yang resilien sehingga makrofinansial Indonesia cukup terjaga.
“Indonesia menjadi negara yang termasuk resiliens ya, the best performing selama 2022 ini jika dibandingkan dengan negara-negara lain,” kata Director & Chief Investment Officer PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Ezra Nazula Ridha dalam acara 2H 2022 Market & Economic Outlook, Selasa (9/8).
Dari data yang ia sampaikan, per Juni 2022, posisi pasar saham Indonesia berada di peringkat pertama yaitu 5,6% year to date (ytd). Sedangkan di posisi kedua ada Singapura sebesar 2,8% ytd, lalu disusul India -1,1%, dan Malaysia -4,8% ytd, serta pasar saham turun secara tajam di Korea yakni minus hingga -17.7%.
Pada pasar obligasi, Indonesia di semester I-2022 mengalami penurunan yaitu -0,6% ytd. Namun hal ini masih jauh lebih baik dibanding negara lain seperti Jepang yang mencapai level -2,2% ytd , Amerika Serikat -7,7%, dan global yang -12,1%.
Melihat posisi nilai tukar terhadap dolar US (US$), Indonesia meskipun di semester awal tahun 2022 mengalami -4,0% ytd, tetapi masih dianggap aman. Pasalnya, menurut Ezra masih banyak nilai tukar mata uang negara lain mengalami kemerosotan yang jauh terhadap US$, misalnya Cina mencapai -6,1% ytd, Malaysia -6,8% ytd, Korea -9,2% ytd, dan Jepang -15,8% ytd.
“Kondisi pasar saham, obligasi, dan nilai tukar Indonesia ini menunjukkan bahwa sebenarnya kondisi makrofinansial Indonesia ini cukup terjaga,” tambah Ezra.
Lebih lanjut, volatilitas pasar finansial global di paruh pertama 2022 melonjak akibat inflasi yang persisten pada level tinggi, kenaikan suku bunga yang agresif, dan dampaknya terhadap outlook pertumbuhan ekonomi global yang direvisi menurun.
Menuju paruh kedua 2022, Ezra menjelaskan ekspektasi pasar mengindikasikan The Fed sudah mendekati puncak siklus kenaikan suku bunga, sehingga besaran kenaikan ke depan akan cenderung lebih dovish.
“Ke depannya The Fed akan lebih perlahan menaikkan suku bunganya, pada September, November, dan Desember, Fed Funds Rate akan berada di 3,5%. Nah, market juga berekspektasi ada potensi untuk penurunan kembali Fed di 2023 ke posisi 2,75%,” kata Ezra.
Ezra berpandangan, angka inflasi sudah mulai mencapai ke level tertinggi, sehingga uang beredar atau M2 kian menurun.
Menurunnya angka inflasi menurut Ezra disebabkan meredanya komponen tekanan sisi pasokan. Indeks tekanan rantai pasokan menurut Ezra di bulan Juni telah turun di level 2,4%, ini seiring dengan membaiknya aktivitas di Cina usai normalisasi zero covid. Ia juga menyampaikan harga minyak dunia yang sebelumnya mencapai level US$125 per barel sudah turun ke US$115 per barel.
“Minyak dunia ini menjadi komponen energi terbesar dari sisi inflasi dari 2022 ini. Nah, kalau angka komponen ini turun, overall inflasi diekspektasikan akan turun juga,” jelas Ezra.