Mampukah diskon pajak mobil kerek pertumbuhan ekonomi?
Industri otomotif menjadi salah satu sektor yang terpukul pandemi Covid-19. Terbukti, angka penjualan mobil sepanjang tahun 2020 hanya sebanyak 532.407 unit. Padahal, berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) penjualan mobil pada 2019 mencapai 1.030.126 unit.
Untuk kembali menggairahkan industri otomotif yang terpuruk, pemerintah pun memberikan insentif kepada sektor ini berupa relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor. Dalam skenarionya, PPnBM akan diberlakukan 0% pada Maret-Mei. Stimulus ini juga akan diikuti potongan tarif PPnBM 50% pada Juni-Agustus dan 25% pada September-November.
Pelonggaran tarif PPnBM ini akan diberikan kepada mobil penumpang kapasitas 4x2 dan sedan berkubikasi mesin kurang dari 1.500cc. Syarat lainnya adalah kendaraan yang mempunyai komponen dalam negeri di atas 70% dan merupakan kendaraan yang dirakit di dalam negeri.
Kebijakan ini tentu saja mendapatkan sambutan positif dari produsen-produsen mobil di Tanah Air. Bagaimana tidak? Relaksasi PPnBM digadang-gadang akan meningkatkan produksi mobil hingga 81.752 unit dan mendatangkan surplus penerimaan hingga Rp1,62 triliun.
Toyota sebagai produsen mobil terbesar di Indonesia meyakini relaksasi PPnBM akan memberikan dampak positif bagi penjualan unit-unit kendaraannya di tahun ini. Bahkan, produsen mobil asal Jepang itu pun kini tengah mempertimbangkan untuk menaikkan target penjualan dan produksi mereka di tahun ini.
“Detilnya masih kami pelajari. Awalnya market di range 750.000, sekarang dengan adanya regulasi PPnBM ini perlu dipelajari lebih lanjut,” kata Direktur Marketing PT Toyota-Astra Motor Anton Jimmi Suwandy, melalui pesan singkat kepada Alinea.id, Senin (15/2).
Toyota tak hanya bertumpu pada insentif ini saja. Untuk mengerek penjualan mobil, Toyota telah menyiapkan berbagai strategi pemasaran. Mulai dari kemudahan akses layanan seperti deal cermat, usership Kinto, penyediaan akses digital melalui Halobeng, hingga menawarkan Live Showroom.
“Terlepas kondisi efek dari pandemi, kami meneruskan strategi dari sebelumnya, selain tentu menyiapkan produk-produk baru dan penyegaran,” lanjutnya.
Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) lainnya, yakni PT Honda Prospect Motor juga yakin, insentif pajak yang diberikan pemerintah dapat menggairahkan kembali pasar otomotif. Pada akhirnya, Bussiness Inovation and Sales & Marketing Director PT HPM Yusak Billy, berharap kondisi tersebut dapat mengungkit perekonomian nasional.
“Pada dasarnya, kami akan support upaya pemerintah dalam mendorong penjualan otomotif,” katanya kepada Alinea.id, Senin (15/2).
Sejalan dengan itu, untuk meningkatkan penjualan di tengah kondisi pasar yang belum stabil, Billy mengaku, pihaknya akan selalu mengamati pasar. Perusahaan juga akan selalu menyeimbangkan pasokan dan permintaan (demand) untuk menjaga kepuasan pelanggan serta menjaga agar market share Honda di pasar otomotif nasional bisa tetap berada di kisaran 14,3%.
Pengungkit pertumbuhan ekonomi
Dengan relaksasi ini, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berharap, minat masyarakat utamanya kelas menengah atas untuk membeli mobil akan semakin tinggi. Kebijakan ini juga diharapkan akan meningkatkan utilisasi industri otomotif.
“Dan mendorong pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama tahun ini,” katanya saat mengumumkan insentif bagi sektor otomotif, Kamis (11/2) lalu.
Insentif fiskal ini, menurut Airlangga, langsung tertuju pada konsumen, bukan korporasi atau produsen mobil. Sehingga, saat diterapkan mulai 1 Maret nanti pembebasan PPnBM ini akan secara otomatis membuat volume penjualan kendaraan berpenumpang roda empat naik. Sejalan dengan itu, produksi mobil pun diprediksi akan ikut terkerek.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menambahkan relaksasi PPnBM juga akan memberikan dampak berkelanjutan. Pasalnya, sektor ini memiliki industri turunan yang cukup banyak, mulai dari industri komponen hingga perbengkelan. Artinya, ada banyak tenaga kerja yang mendukung industri ini akan turut merasakan dampak positif dari pelonggaran tarif pajak ini.
“Industri kendaraan bermotor ditopang banyak industri pendukung dan memiliki tenaga kerja lebih dari 1,5 juta,” ujarnya kepada Alinea.id, Selasa (16/2
Menurut pria yang karib disapa Susi ini, relaksasi PPnBM diberikan karena industri otomotif menjadi salah satu yang terpukul dampak besar wabah Covid-19. Bahkan, berdasarkan data Kementerian Perindustrian utilisasi industri otomotif pada tahun lalu turun hingga di bawah 50%. Sementara penjualannya juga merosot drastis hingga di atas 50%.
Di sisi lain, industri otomotif juga merupakan salah satu andalan ekspor nasional. Kinerja ekspor industri ini pun turut terdampak pandemi. Tercatat, ekspor mobil sepanjang 2020 turun 66,18% menjadi 285.207 unit dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 843.429 unit.
Tak hanya itu, pemerintah juga tengah menimbang kemungkinan pelonggaran tarif PPnBM untuk kendaraan berkapasitas mesin di atas 1.500cc. Namun, kebijakan tersebut masih tergantung kepada efektivitas pemberian PPnBM kepada kendaraan roda empat di bawah 1.500cc.
“Bergantung pada hasil evaluasi di tiga bulan pertama dulu,” tuturnya.
Dihubungi terpisah, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjelaskan, insentif PPnBM saat ini berupa pajak yang ditanggung oleh pemerintah. Insentif ini masuk ke dalam skema belanja pajak. Artinya, pembebasan pajak ini dipastikan tidak akan mengganggu penerimaan perpajakan tahun 2021.
Namun demikian, Yustinus mengaku akan tetap ada potensi penerimaan PPnBM yang hilang (potential lost), yakni mencapai Rp2,3 triliun. Namun, kehilangan penerimaan itu akan segera tergantikan karena setelah insentif PPnBM direalisasikan akan ada penerimaan lebih tinggi pada pajak pertambahan nilai (PPN) penjualan kendaraan bermotor. Selain itu, akan ada potensi penerimaan lain yang berasal dari bea balik nama pajak kendaraan bermotor untuk pemerintah daerah.
“Dan kalau ini menggerakkan perekonomian, tentu saja dari tenaga kerja akan ada PPh Pasal 21 karyawan dan PPh Pasal 23,” urainya melalui pesan singkat, kepada Alinea.id, Selasa (16/2).
Untuk mengucurkan insentif ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku telah melakukan pencadangan pajak. Dus, Yustinus memastikan tidak akan ada kekurangan penerimaan pajak. Asalkan, insentif yang diberikan masih memenuhi kuota atau pagu anggaran di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021.
Sementara itu, saat ini pemerintah melalui Kementerian Keuangan tengah menyiapkan aturan terkait pemberian insentif PPNBM yang diharapkan akan segera keluar sebelum Maret 2021. Setali tiga uang, sembari menunggu peraturan tersebut resmi dikeluarkan, Yustinus menilai produsen mobil sudah dapat melakukan penawaran kepada calon konsumen.
“Sehingga dapat langsung dieksekusi pada awal Maret dan ini bisa efektif dan lebih cepat,” imbuhnya.
Minim pengaruh
Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiarto mengungkapkan, relaksasi PPnBM merupakan kebijakan win-win solution untuk dunia otomotif yang ikut terpukul karena pandemi. Dia bilang, kebijakan ini dapat menguntungkan seluruh pihak, baik masyarakat, pabrikan, maupun pemerintah.
Masyarakat dalam hal ini akan diuntungkan karena bisa memenuhi kendaraan bermotor dengan harga yang lebih terjangkau. Sejalan dengan itu, penjualan mobil pun akan ikut mengalami kenaikan. Dengan demikian, kontribusi industri otomotif terhadap PDB nasional juga akan meningkat.
“Kami berharap dengan ini pembelian mobil bisa meningkat dan produksi mobil juga komponennya,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Senin (15/2).
Karenanya, untuk memuluskan rencana ini, Jongkie meminta agar pemerintah segera merilis petunjuk pelaksana (juklak) atau petunjuk teknis (juknis) kebijakan ini. Para ATPM pun dapat segera menghitung berapa biaya yang akan dibebaskan pada tiga bulan pertama yang mencapai 100%. Begitu juga hingga enam bulan berikutnya dengan besaran insentif masing-masing 50% pada bulan keempat hingga enam dan 25% untuk bulan ke tujuh hingga sembilan.
“Kalau ATPM sudah umumkan, mereka sudah bisa terima order. Orang jadi mulai tertarik membeli karena ada diskon, akhirnya harga jadi lebih terjangkau,” tutupnya.
Di sisi lain, Pengamat Otomotif Bebin Djuana justru menilai relaksasi PPnBM tidak akan terlalu berpengaruh pada peningkatan kinerja otomotif secara keseluruhan di tahun ini. Sebab, kebijakan ini lebih menyasar masyarakat kelas menengah bawah sebagai golongan yang paling terdampak pandemi Covid-19. Walapun, pemerintah juga menyasar masyarakat kelas menengah atas untuk mendapatkan insentif ini.
“Kendaraan dengan spesifikasi cc di bawah 1.500 itu kategori sedan dan 4x2 didominasi dengan mobil di rentang harga Rp300 juta,” jelasnya melalui sambungan telepon kepada Alinea.id, Selasa (16/2).
Adapun untuk masyarakat kelas menengah atas, kata dia, biasanya membeli kendaraan di rentang harga Rp300 juta hingga di atas Rp500 juta. Padahal, untuk masyarakat di golongan menengah bawah hingga saat ini masih fokus pada pengeluaran primer.
Karenanya, Bebin menilai, kebijakan ini akan lebih efektif jika cakupan target penerima insentif PPnBM diperluas. “Kalau enggak ya percuma,” tegas dia.
Dihubungi terpisah, Ekonom Senior Institute for Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, insentif fiskal ini tidak akan memberikan dampak besar terhadap kondisi ekonomi makro Indonesia. Mengingat kontribusi sektor otomotif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tak sampai 10%. Sedangkan penyumbang terbesar pendapatan negara berasal dari konsumsi rumah tangga.
Tidak hanya itu, sebagai barang sekunder, kendaraan bermotor saat ini menjadi kebutuhan yang dapat ditunda pemenuhannya. Karena di masa pandemi, sebagian besar masyarakat lebih mementingkan kebutuhan primer untuk segera dipenuhi.
“Seharusnya kalau mau buat insentif baru yang bisa mendukung konsumsi dan memang untuk kebutuhan pokok masyarakat,” ujarnya kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Selasa (16/2).
Enny bilang, ketimbang sektor otomotif, akan lebih bermanfaat jika pemerintah memberikan insentif fiskal kepada sektor manufaktur lain seperti tekstil serta makanan dan minuman (mamin). Karena selain masuk ke dalam golongan barang-barang primer yang saat ini sangat dibutuhkan masyarakat, kedua sektor ini juga memiliki rantai pajak yang panjang.
“Sehingga nilai penerimaan pajak barang yang sampai ke tangan masyarakat bisa jadi berkali lipat lebih banyak,” tuturnya.