Pemerintah berambisi mencapai angka pertumbuhan ekonomi 8% pada tahun 2029 dengan mengandalkan hilirisasi industri sebagai strategi utama. Namun, langkah ini menghadirkan tantangan besar yang dapat membebani perekonomian, terutama terkait investasi, teknologi, kesiapan sumber daya manusia (SDM), serta infrastruktur pendukung.
Menurut Sekretaris Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Heldy Satrya Putera, hilirisasi menawarkan nilai tambah pada produk domestik dan mampu menarik investasi asing. Tetapi, ketergantungan Indonesia pada teknologi luar negeri dan sumber daya manusia (SDM) yang belum siap menjadi hambatan signifikan.
“Masalah utama kita adalah ketertinggalan teknologi, meski sumber daya alam melimpah. Untuk mengejar ketertinggalan, kita memerlukan investasi asing besar-besaran, termasuk dalam bentuk pelatihan tenaga kerja lokal,” ujar Heldy, Jumat (20/12).
Data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukan, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%, pemerintah menargetkan investasi yang sangat besar.
Target investasi dan pertumbuhan ekonomi
|
2024 |
2025 |
2026 |
2027 |
2028 |
2029 |
Investasi (dalam triliun rupiah) |
1,650 |
1,905 |
2,175 |
2,567 |
2,969 |
3,414 |
Pertumbuhan ekonomi (%) |
5.5 |
5.3 |
6.3 |
7.5 |
7.7 |
8 |
|
Sumber: Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal
Kontribusi hilirisasi pada investasi masih jauh dari cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Misalnya pada 2023, dari total investasi yang sebesar Rp1.418,9 triliun, hanya Rp375,4 triliun atau sekitar 26,5% berasal dari hilirisasi, mayoritas dari nikel. Adapun pada periode Januari hingga September 2024, dari Rp1.261,4 triliun total investasi, hilirisasi hanya menyumbang Rp272,9 triliun atau 21,6%.
Heldy mengakui hilirisasi baru menyentuh tahap awal, terutama pada nikel, dengan 28 komoditas lain masih dalam tahap pemetaan. Namun, tanpa percepatan yang signifikan, kontribusi hilirisasi sulit mencapai skala yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8%.
Untuk mendukung hilirisasi, pemerintah harus memastikan ketersediaan infrastruktur dan regulasi yang mendukung. Sayangnya, hal ini justru menjadi hambatan lain yang memperlambat realisasi investasi.
“Ekosistem hilirisasi tidak hanya soal cadangan sumber daya alam, tetapi juga regulasi, perizinan, dan insentif fiskal yang sering kali belum optimal. Ketidakpastian ini membuat investor berpikir ulang untuk menanamkan modal mereka di Indonesia,” ujar Heldy.
Selain itu, kebutuhan investasi besar-besaran juga menimbulkan kekhawatiran mengenai beban utang dan defisit neraca perdagangan jika Indonesia tidak mampu menghasilkan nilai tambah yang signifikan dari hilirisasi.
Sumber daya manusia juga menjadi perhatian utama dalam hilirisasi. Heldy menyebutkan tenaga kerja lokal harus dilatih untuk memenuhi kebutuhan teknologi yang dibawa oleh investor asing. Namun, pelatihan ini memerlukan waktu dan biaya besar, yang justru menambah beban bagi pelaku usaha.
Sulit tercapai
Untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 8% dalam lima tahun ke depan, dibutuhkan investasi jumbo. Pertumbuhan investasi tahunan dituntut menyentuh 15% hingga 16%, jauh di atas rata-rata saat ini yang berkisar 5% hingga 6%.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus menilai bahwa proyeksi ini terlalu optimistis, mengingat kondisi domestik yang belum sepenuhnya mendukung.
“Angka investasi sebesar itu membutuhkan ekosistem yang sangat matang, baik dari segi regulasi, insentif, maupun kesiapan infrastruktur. Sayangnya, Indonesia masih menghadapi masalah klasik, seperti kepastian hukum dan birokrasi yang berbelit-belit,” ujarnya.
Meskipun hilirisasi memiliki potensi menjadi kuda pacu, namun target pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029 adalah angka yang sulit dicapai. Berdasarkan kajian Indef, pertumbuhan ekonomi sebesar itu hanya mungkin terjadi jika industri logam dasar tumbuh 8,8% per tahun, dan industri barang logam tumbuh hingga 9% per tahun.
“Ini adalah target yang ambisius, mengingat saat ini pertumbuhan industri logam dasar saja belum mencapai angka tersebut. Masalah struktural seperti ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan minimnya inovasi di dalam negeri menjadi penghambat utama,” ujar Heri.