Ketua Askes Suroto, mengatakan bahwa pekerjaan rumah pemerintah setelah Pertemuan IMF-WB rampung adalah menyelesaikan masalah moneter dan fiskal dalam negeri.
"Utang jatuh tempo tahun depan akan menekan posisi fiskal kita. Utang jatuh tempo kita tahun 2019 tercatat lebih tinggi 6,51% dibandingkan utang yang harus dibayar pemerintah pada tahun ini yang sekitar Rp384 triliun," katanya, Selasa (16/10).
Suroto mencatat, seperempat dari total APBN berpotensi akan tersedot untuk membayar utang. "Jadi pemerintah harus melakukan dua tugas penting. Lakukan rescheduling utang sekaligus mengupayakan untuk menurunkan rasio defisit pembayaran dan perdagangan," katanya.
Ia menekankan bahwa penjadwalan pembayaran utang ini harus dilakukan.
"Pertemuan di Bali yang lalu itu tidak berarti sebuah kesuksesan apapun kalau upaya rescheduling saja tidak bisa dilakukan," katanya.
Menurut dia, pemerintah harus memastikan untuk memiliki strategi yang cukup dalam menurunkan rasio utang. Sebab, utang itu adalah alat kendali negara maju terhadap negara berkembang seperti Indonesia.
Masalah defisit neraca pembayaran dan perdagangan yang terjadi saat ini kata Suroto juga diawali dari utang.
"Kita lihat, pertumbuhan ekonomi kita selama setengah abad ternyata tidak menghasilkan cadangan pembangunan. Ini karena sejak pintu utang luar negeri ini masuk kita langsung ditekan dengan cara-cara yang merugikan kepentingan ekonomi domestik kita," kata Suroto.
Sebagai informasi, pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati pembiayaan utang untuk tahun 2019 sebesar Rp359,12 triliun. Angka tersebut menurun tipis dibandingkan dengan usulan dalam nota keuangan sebesar Rp359,27 triliun.
Turunnya utang tersebut karena sebelumnya pemerintah dalam nota keuangan Agustus 2018 mengasumsikan nilai tukar rupiah sebesar Rp14.400 per dollar Amerika Serikat. Namun belakangan pemerintah dan Banggar mengubah asumsi kurs menjadi Rp15.000 per dollar AS. (Ant).