Head of Equity Research and Strategy Mandiri Sekuritas Adrian Joezer memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhir 2022 akan menyentuh level 7.400 poin. Dorongan yang terjadi pada IHSG terutama berasal dari konsumsi domestik yang mulai meningkat.
"Kami prediksi IHSG mencapai 7.400 untuk akhir tahun 2022. Earning growth akan tumbuh sekitar 15%. Jadi, 2022 ini kalau kita lihat dari earning growth 15% yang kami prediksi ini, sekitar dua pertiga datang dari perbankan dan banyak juga di-drive oleh domestic consumption," kata Adrian Joezer siaran pers secara daring, dikutip Alinea Rabu (23/2).
Adapun menurutnya perekonomian domestik inilah yang akan mendominasi dalam pemulihan rantai perekonomian. Mungkin pada tahun lalu pasar ekspor yang lebih dahulu positif seiring negara-negara lain yang pulih lebih cepat dibandingkan Indonesia.
"Kalau kami lihat sebelum bulan Agustus, memang konsensus earning share itu up and down dan cenderung lebih ke arah flattening. Tetapi kalau dilihat Agustus hingga Desember itu trennya naik ke atas terus, sehingga memang mencerminkan optimisme yang mulai terbangun," ujar Adrian.
Adrian menilai fenomena kenaikan IHSG pada tahun 2021 yang tembus capai targetnya yaitu ditopang dengan meningkatnya ekpektasi pendapatan dan laba emiten yang telah tampak pada paruh kedua 2021 lalu.
“Namun untuk risiko-risiko global akan tetap ada dan berpotensi menjadi tantangan bagi IHSG untuk mencapai level 7.400, salah satunya kebijakan pengetatan moneter oleh bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve itu," ucapnya.
Menurut Adrian dari sisi tantangan, tidak ada persoalan interest rate naik berapa, tetapi juga mengenai kemungkinan quantitative easing di sana, pandangan The Fed supaya balancing reduction ini akan skemanya seperti apa dan secepat apa memang masih jadi tanda tanya, masih ada perdebatan kubu. Itu menurut kita masih ada gonjang ganjing di sana.
Lebih lanjut dari sisi lain, proses pemulihan perekonomian sendiri dinilai masih sangat awal. Pasalnya dalam kebijakan yang di buat Bank Sentral dalam kenaikan suku bunga oleh The Fed, tidak perlu sepenuhnya diikuti oleh Bank Indonesia selaku otoritas moneter di Tanah Air.
Sebab kata Adrian, untuk menaikan suku bunga tidak perlu satu banding dengan apa yang dilakukan oleh The Fed. Tekanan inflasi memang ada, tapi pemulihan untuk pemulihan Indonesia masih dini.
“Misalnya sektor perbankan yang masih suportif supaya growth ini ada perbaikan dibandingkan tahun lalu karena likuiditas juga masih sangat cukup," ucapnya.
Namun disamping itu, untuk risiko politik global akan tetap ada seperti yang terjadi di Ukraina saat ini. Sehingga menjadikan lebih agresif dalam volatilitasnya bagi pasar modal.
Ia memprediksi selama harga komoditas penurunannya tidak tajam, masih dapat konsisten, dan pemulihan dari sisi domestik ekonomi juga masih dapat terjaga meskipun di tengah resiko transisi pandemi. Hal ini karena ada konsistensi di dalamnya.