Transformasi bisnis marketplace: Berhenti bakar uang dan adu pengiriman kilat
Tidak bisa dipungkiri, pandemi Covid-19 membuat kebiasaan berbelanja masyarakat berubah. Kebijakan pembatasan sosial yang membuat aktivitas di luar ruangan terbatas, praktis menggeser pola belanja masyarakat, dari yang sebelumnya offline menjadi online. Kebiasaan berbelanja di pasar hingga supermarket pun perlahan beralih melalui sosial media (social commerce) hingga e-commerce.
Hal ini terlihat dari pertumbuhan bisnis e-commerce yang mencapai 33% di tahun 2020, dengan nilai mencapai Rp337 triliun, melonjak drastis dari sebelumnya yang hanya Rp253 triliun. Tidak hanya itu, dalam laporan yang dirilis oleh Google, Temasek dan Bain Company pada Oktober 2020, waktu yang digunakan masyarakat untuk berselancar di marketplace (lokapasar) pun bertambah. Dari sebelumnya 3,7 jam per hari menjadi 4,7 jam per hari saat adanya kebijakan penguncian wilayah (lockdown) dan 4,2 jam per hari saat lockdown berakhir.
Peningkatan transaksi pada bisnis berbasis online terus berlanjut kala pembatasan sosial kian diperlonggar. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) total transaksi e-commerce sepanjang 2021 mencapai Rp401 triliun. Sementara pada kuartal I-2022, total nilai transaksi lokapasar tumbuh hingga 19,83% dan volume transaksi meningkat hingga 38,43%.
Dengan bertambahnya jumlah pengguna internet, ditambah akselerasi ekonomi digital di tanah air, bisnis e-commerce pun dinilai bakal terus menguat. Mengacu data Statista, nilai transaksi marketplace tanah air diperkirakan sebesar Rp555,2 triliun hingga akhir tahun ini dan mencapai Rp707,6 pada 2024. Sementara itu, BI menargetkan nilai transaksi e-commerce berada di kisaran Rp526 triliun.
“Naik 31% dari tahun 2021 yang mencapai Rp401 triliun. Begitu juga dengan transaksi uang elektronik, kami perkirakan akan mencapai Rp360 triliun atau naik 18% pada 2022,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rangkaian Presidensi G20, Senin (11/7).
Di balik prospek manis tersebut, para pemain lokapasar harus menghadapi tantangan yang tidak mudah untuk tetap bertahan. Apalagi, fenomena bubble burst atau ledakan gelembung tengah melanda bisnis startup atau perusahaan rintisan di tanah air.
Hal ini terlihat dari beberapa perusahaan startup yang melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja). Sebut saja JD.ID, Zenius, TaniHub, LinkAja, hingga ekspedisi pengiriman Sicepat.
Dalam kasus JD.ID yang baru melakukan langkah efisiensi ini pada akhir Mei lalu, PHK merupakan salah satu upaya perusahaan untuk melakukan improvement actions atau tindakan perbaikan. “Upaya improvisasi ini terpaksa kami lakukan supaya ke depan JD.ID dapat terus beradaptasi dan selaras dengan dinamika dan tren industri startup di Indonesia,” jelas Director of General Management JD.ID Janie Simon, dalam keterangannya kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Selain PHK, banyak pula startup yang melakukan langkah efisiensi beban operasional lainnya, dengan menutup gudang atau warehouse hingga toko retail. Teranyar, platform e-grocery Sayurbox dikabarkan menutup toko offline mereka, yakni Toko Panen yang terletak di Kelapa Gading bulan lalu.
Penutupan toko offline ini, kata Vice President of People Culture & General Affair Sayurbox Lady Meiske ialah karena perusahaan ingin memperluas beberapa lini bisnis ke area yang lebih menguntungkan. Dus, perusahaan diharapkan mampu beradaptasi dengan kondisi ekonomi saat ini.
“Kami akan memperluas beberapa lini bisnis kami seperti perkebunan, food and beverage, serta ekspansi platform daring SayurBox di Jakarta dan Surabaya di ranah B2C (business to consumer) dan B2B (business to business),” jelasnya kepada Alinea.id, Senin (1/7).
Serupa tapi tak sama, e-commerce yang juga menjajakan produk pertanian TaniHub telah menghentikan operasional dua gudang yang terletak di Bandung dan Bali pada Februari lalu. Alasannya, perusahaan ingin mempertajam fokus bisnis dari yang sebelumnya lebih fokus pada strategi B2C, menjadi B2B. Dengan menyasar peningkatan pertumbuhan melalui penjualan kepada hotel, restoran, kafe, modern trade, pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), serta mitra strategis lainnya.
“Dengan demikian, kegiatan yang berkaitan dengan B2C atau layanan kepada konsumen rumah tangga nantinya akan kami hentikan juga,” jelas Senior Corporate Communication Manager TaniHub Group Bhisma Adinaya, kepada Alinea.id belum lama ini.
Akhir masa bakar uang?
Untuk bertahan di tengah badai PHK dan penutupan berbagai layanan, lokapasar tidak bisa lagi hanya mengandalkan strategi lama, seperti bakar uang (burning money). Misalnya, memberikan diskon besar-besaran kepada konsumen untuk mereguk peluang pasar.
Dalam dunia startup, strategi bakar uang memang lumrah dilakukan. Namun, di tengah kondisi ekonomi dunia yang tengah sulit, rasa-rasanya langkah ini semakin sulit diterapkan. Hal ini juga seiring dengan kian ketatnya pendanaan oleh para investor.
Managing Partner platform pengembang startup kolektif Impactto, Italo Gani bilang, investor dan venture capital (VC) alias pemodal ventura memang masih menyuntikkan uang, namun hanya kepada perusahaan yang sudah solid dengan value pasti.
“Karena startup sangat banyak, maka yang solid dan bisa memberi value lah yang akan survive dan bergerak. Startup yang masih belum jelas atau terlalu dini fundraising maka akan mengalami seleksi alam, harus mengurangi karyawan atau menutup layanan,” jelasnya kepada Alinea.id, Selasa (2/8).
Bagi marketplace, promosi memang tetap harus dilakukan. Namun dengan seretnya pendanaan dan strategi bakar uang yang tetap dilakukan, justru akan membuat perusahaan kelimpungan. Belum lagi, ketika lokapasar tidak lagi mendapatkan pendanaan, dengan biaya promosi besar akibat banyaknya diskon yang diumbar, PHK lah yang kemudian menjadi pilihan untuk menghemat beban perusahaan.
“Untuk mengatasi kondisi ini, yang pasti harus dilakukan adalah merubah pola bisnis, dengan mengurangi bakar uang. Jikapun bakar uang patut dilihat sampai tahun kapan akan menghasilkan keuntungan,” jelas Kepala Pusat Inovasi dan Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda kepada Alinea.id, Rabu (3/8).
Tidak hanya itu, perusahaan juga dapat mencari strategi lain untuk merayu konsumen, meski tanpa harga diskon. Misalnya, dengan memberikan jaminan kemudahan dan kecepatan transaksi kepada pelanggan.
Strategi pengiriman tercepat
Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (iDEA) Bima Laga bilang, sebagai negara kepulauan dengan banyak daerah, salah satu momok bagi lokapasar yang masih sulit untuk diatasi hingga saat ini adalah kecepatan transaksi dan pengiriman. Dengan perusahaan e-commerce dan pelaku usaha yang terkonsentrasi di Jawa dan Jabodetabek, ongkos pengiriman kepada konsumen dari luar daerah ini bisa jadi akan lebih mahal.
Dalam survei yang dilakukan oleh Sirclo, jasa pengiriman regular memang masih menjadi pilihan mayoritas konsumen, yakni dengan porsi 89,5%, sementara 21,6% lainnya memilih jasa pengiriman instan atau ekspres. “Tapi, ke depannya pengiriman ekspres akan semakin diminati. Sekarang saja konsumen sudah tidak begitu melihat harga atau ongkos kirim ketika berbelanja. Karena yang terpenting adalah kualitas, baik dari transaksi sampai ke kecepatan pengiriman,” jelasnya saat dihubungi Alinea.id, Selasa (2/8).
Sementara itu, Expert Insights CX 2020 melaporkan bahwa 73% pengalaman pengguna merupakan faktor kunci dalam keputusan pembelian. Studi lain dari Walker juga menyebutkan 86% pembeli bersedia membayar lebih ketika merasakan pengalaman pengguna yang baik.
Dari berbagai studi tersebut dapat disimpulkan bahwa produk dan harga bukan lagi menjadi satu-satunya pertimbangan utama dalam mengambil keputusan pembelian, melainkan pengalaman yang excellence (hebat).
Alasan memilih jasa pengiriman
Alasan |
Jasa Pengiriman Reguler |
Jasa Pengiriman Ekspres |
Pengiriman tepat waktu |
61,8% |
71,2% |
Harga lebih murah |
48,5% |
31,8% |
Dapat melihat pergerakan barang |
47,1% |
39,1% |
Jangkauan luas |
41,5% |
26,4% |
Banyak diskon/potongan harga gratis ongkir |
41,4% |
38,0% |
Kurir ramah |
35,1% |
37,0% |
Barang terjaga/Tidak penyok |
34,2% |
48,4% |
Ulasan bagus/Direkomendasikan |
28,7% |
31,0% |
Kurir menggunakan protokol kesehatan |
19,4% |
34,9% |
Kondisi darurat, barang harus tiba dalam hitungan jam |
5,4% |
52,8% |
Lainnya |
0,5% |
0,5% |
Sumber: Laporan Omnichannel & Peran E-coomerce Enabler dalam Ekosistem Digital
Tak heran jika kini banyak e-commerce yang mengubah pola bisnisnya menjadi omnichannel e-commerce. Perpaduan berbagai platform marketplace dan saluran e-commerce, yang terintegrasi satu sama lain. Tujuannya untuk membantu bisnis agar bisa hadir di berbagai saluran belanja online, sekaligus mengelolanya secara lebih praktis.
“Akan ada layanan quick commerce. Itu bisa mengubah strategi dan landscape pemain e-commerce ke depannya,” imbuh Bima.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh lokapasar untuk menerapkan strategi ini pun beragam, mulai dari menambah ketersediaan gudang (warehouse), meningkatkan kerjasama dengan mitra perusahaan, mendirikan toko offline, atau dengan menggabungkan kesemuanya.
“Kebanyakan semuanya. Kemudian, ada juga yang mengubah model bisnis dari yang sebelumnya B2C ke B2B atau sebaliknya. Ini sebetulnya hal yang normal ketika kondisi down (penurunan) ini terjadi,” katanya.
Seperti yang telah diketahui, untuk dapat mewujudkan pengiriman kilat tentunya dengan ongkos kirim murah, para pemain besar di industri e-commerce Indonesia, seperti Tokopedia, Shopee, Blibli, Bukalapak, dan lain sebagainya lantas melakukan transformasi bisnis menjadi omnichannel e-commerce ini. Berbagai program pun ikut digulirkan untuk menyukseskan transformasi bisnis ini.
Blibli misalnya, melalui Program Dua Jam Sampai, menawarkan pengiriman cepat kepada para konsumen. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan 14 gudang, 56 gerai supermarket Ranch Market, Farmers Market dan The Gourmet, serta lebih dari 100 ribu mitra di seluruh Indonesia.
“Strategi omnichannel menjadi salah satu cara kami untuk menghadirkan ekosistem yang terintegrasi antara saluran luring dan daring. Untuk itu, kami berfokus pada omnichannel yang komprehensif di berbagai kategori produk mulai dari groceries hingga consumer electronics,” kata CEO dan Co-Founder Blibli Kusumo Martanto, kepada Alinea.id, Senin (25/7).
Sementara itu, untuk menjaring konsumen yang tersebar di seluruh Indonesia, lokapasar milik Grup Djarum ini pun memilih untuk menggunakan prinsip customer centric dalam strategi omnichannel-nya. Artinya, ke depannya Blibli juga akan terus menambah gudang baik jumlah maupun luasan gudang di berbagai daerah, utamanya daerah yang memiliki konsentrasi penduduk tinggi.
“Yang sebentar lagi upcoming (gudang) di Balikpapan, Kalimantan. Kita akan melihatnya di daerah mana yang padat density. Mimpi kita kalau punya warehouse, bisa 2 jam sampai untuk daerah sekitarnya. Jadi kita akan tetap ekspansi, meskipun Jabodetabek udah ada, kita akan perbesar,” tambah Chief Operating Officer (COO) Blibli Lisa Widodo, saat berbincang dengan Alinea.id Kamis (21/7).
Serupa dengan Blibli, Tokopedia juga menawarkan pengiriman barang maksimal sampai dalam 2 jam. Untuk menyukseskan program tersebut, platform e-commerce yang ada di bawah Grup GoTo ini menyediakan layanan yang disebut Dilayani Tokopedia, melalui ‘gudang pintar’ yang ada di wilayah Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, dan Palembang. Selain itu, marketplace besutan William Tanuwijaya ini juga memiliki jutaan mitra di 500 kabupaten/kota di Indonesia.
AVP of Fulfillment Tokopedia Erwin Dwi Saputra mengatakan, selain untuk menyokong kinerja bisnis perusahaan, Dilayani Tokopedia yang sebelumnya bernama TokoCabang ini juga dimaksudkan untuk membantu penjual atau dalam hal ini adalah mitra Tokopedia dalam segi operasional. Layanan yang diberikan pun cukup lengkap, mulai dari penerimaan, pengemasan, pengiriman pesanan, hingga ketika terjadi kendala dalam transaksi.
“Dengan Gudang Pintar yang ada di wilayah dengan permintaan tinggi, mitra yang menggunakan layanan Dilayani Tokopedia juga sangat mungkin untuk meningkatkan penjualannya,” kata Erwin, kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.
Berbeda dengan Blibli dan Tokopedia yang mengandalkan ketersediaan gudang, Bukalapak menjalankan transformasi omnichannel-nya dengan mendorong kinerja mitra. Tak heran, jika pada semester-I kemarin, Mitra Bukalapak menjadi penyumbang pendapatan terbesar perusahaan, yakni dengan kenaikan 243,53% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp969,52 miliar, dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp289,81 miliar.
Sementara lini Buka Pengadaan mencatatkan kenaikan hingga 64,26% yoy menjadi Rp74,83 miliar. Sedangkan lini Marketplace tumbuh 29,17% yoy menjadi Rp289,81 miliar.
Untuk menggaet konsumen, Bukalapak menawarkan Program Sampai dalam 30 Menit dan hemat hingga Rp30 ribu. Anak-anak usaha dari Grup Transcorp ini memiliki lebih dari 150 ribu stock keeping unit (SKU) dari sekitar 10.000 pemasok.
“Kami melihat aspek pengiriman tidak kalah penting dengan harga. Semakin cepat pengiriman, para Mitra tidak perlu keluar biaya banyak untuk mendapatkan inventory besar. Mereka bisa memesan lebih sering sehingga perputaran bisnis lebih tinggi,” ujar Presiden Bukalapak Teddy Oetomo dalam Public Expose Bukalapak, Rabu (29/6) lalu.