Saat ini terpantau mata uang negara - negara berkembang atau emerging market (EM) melemah, di antaranya lira dari Turki. Lira Turki melemah 0,7 % dan rand Afrika Selatan turun 0,4 % .
Penurunan rand terjadi sehari ini setelah perusahaan utilitas milik negara itu Eskom mengatakan risiko pemadaman listrik akan tetap ada sampai kapasitas 4.000 hingga 6.000 megawat ditambahkan ke jaringan.
“Saya tidak melihat IHK AS menambah lebih banyak tekanan yang dihadapi mata uang negara-negara berkembang saat ini karena ekspektasi sudah melompat melewati level sebelumnya, tetapi jika inflasi menembus level 6,0 % hari ini kita pasti akan melihat efek riak di pasar valas dan obligasi di pasar negara berkembang," kata Simon Harvey, analis senior valas di Monex Europe, dikutip dari Reuters.
Saat ini mata uang negara-negara berkembang diperdagangkan beragam pada hari Rabu ini. Hal ini dikarenakan investor menunggu data dari bank sentra inflansi AS yang dapat berpengaruh terhadap kebijakan kebijakan akomodatif Federal Reserve, dan ketika sentimen akan tertekan oleh lonjakan inflasi di China.
Adapun kekhawatiran inflasi yaitu, penularan dari sektor properti China yang kesulitan likuiditas tetap ada pada China Evergrande Group dikarenakan pembayaran obligasi luar negeri pada hari ini sementara di pengembang Fantasia Holdings anjlok hingga 50 % setelah diketahui tidak ada jaminan bahwa mereka akan dapat memenuhi kewajiban keuangannya.
Kemudian di lelang obligasi OFZ Kementerian Keuangan RI, mendukung mata uang Rubel Rusia karena terpantau naik 0,5 persen berkat kenaikan harga minyak. Bukan hanya Rubel Rusia didukung bahkan ada indeks dolar mengukur greenback terhadap enam mata uang rivalnya mengalami kenaikan hari ini setelah lusa lalu melemah.Sehingga, harapannya kenaikan tersebut pada saham negara berkembang dapat menghapus kerugian awal untuk diperjualbelikan hingga naik 0,2 menghapus kerugian awal untuk diperdagangkan dengan keuntungan di beberapa saham teknologi di Hong Kong dan Taiwan. Sebagian besar bursa di luar Asia juga naik.
Dilansir dari antaranews.com kegiatan Inflansi merupakan gerbang pabrik China untuk mencapai level tertinggi 26 tahun pada Oktober atas kenaikan harga konsumen juga meningkat, terutama karena melonjaknya biaya energi yang disebabkan oleh kekurangan sumber daya batu bara.
Bahkan, dalam indeks riset di mata uang negara berkembang MSCI datar saat ini masih menunggu data-data Inflansi AS yang diperkirakan akan menunjukan lompatan sekitar 5,8 %. Angka tertinggi selama lebih dari tiga dekade.
Tingkat inflasi yang tinggi seperti itu dapat membuat imbal hasil obligasi AS naik, dan menaikkan taruhan kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve dalam pertemuan kebijakan mendatang.
Namun meskipun ada kelemahan di sebagian negara berkembang, tidak menutup kemungkinan ada juga kelemahan di negara maju dengan mengalami suku bunga pasar negara maju lebih tinggi beban utangnya sehingga memicu arus keluar modal dari lembaga asing yang diinvestasikan ke negara berkembang yang berdampak juga mempersempit perbedaan suku bunga yang membuat mata uang negara berkembang menarik untuk carry trade.
"Ini adalah kasus mata uang mana yang lebih sensitif terhadap pergerakan imbal hasil dan bank sentral mana yang tidak bergerak sesuai dengan pola inflasi seperti rand dan lira, dengan kenaikan harga-harga China secara alami menyebabkan beberapa tekanan di negara berkembang," tutup Harvey.