Pedagang ritel di pusat perbelanjaan dan mal Jakarta mengalami kerugian lebih dari Rp300 miliar akibat pemadaman listrik.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Roy Mandey mengatakan, potensi kerugian ritel modern di Jakarta itu akibat pemadaman listrik yang terjadi pada Minggu (4/8). Potensi kerugian itu baru menghitung sejumlah 2.500 ritel modern yang tergabung dalam Aprindo dan berada di 82 mal di Jakarta.
“Kalau menghitung potensi kerugian dengan memasukan ritel modern yang ada di luar mal dan juga toko-toko kelontong di kompleks-kompleks kerugian yang ditimbulkan bisa lebih besar,” katanya saat dihubungi, Senin (5/7).
Roy melanjutkan, kerugian tersebut ditimbulkan karena tutupnya sejumlah toko ritel modern karena daya dari pasokan listrik cadangan dari genset yang dimiliki pusat perbelanjaan seperti mal tidak mampu bertahan lebih lama.
Pasalnya, listrik yang padam kemarin berlangsung kurang lebih selama delapan jam, dimulai dari pukul 11.30 WIB hingga pukul 20.00 WIB. Bahkan di beberapa lokasi, baru normal hingga pukul 21.00 WIB.
“Kerugiannya yang jelas adalah karena toko-toko tutup dan ada beberapa mal juga yang akhirnya tidak bisa menampung lagi kemampuan gensetnya sehingga harus tutup. Kami menghitung potensial kerugian yang sangat signifikan,” ucapnya.
Dia menjelaskan, pengunjung rata-rata mal di Jakarta setiap harinya adalah sebanyak 30.000 orang dengan transaksi minimal sebesar Rp200.000 per orang.
“Anggap 10.000 saja yang tidak jadi datang, Rp200.000 kali 10.000 sudah Rp2 miliar dikali 82 mal, sudah Rp164 miliar. Belum operasional lainnya ya sekitar Rp200 miliar,” jelasnya.
Tanah Abang
Sementara itu, kerugian juga terjadi di pusat grosir terbesar kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, akibat pemadaman listrik.
Promotion Manager Blok A Tanah Abang Hery Supriyatna mengatakan potensi kerugian kawasan Tanah Abang mencapai Rp100 miliar dalam empat jam pemadaman listrik.
Berbeda dengan ritel modern, jelas Hery, potensi kerugian yang terjadi di tanah abang lebih kepada terganggunya saluran komunikasi yang terjadi. Pasalnya, para pedagang di Tanah Abang sebanyak 40%-nya juga bertransaksi secara daring.
“Mereka tidak bisa bertransaksi secara online karena ada sejumlah bank yang offline juga. Terus jaringan internet gangguan, untuk yang transaksi internet banking terkendala di situ,” ujarnya.
Ia menjelaskan, per harinya omzet pedagang di kawasan Tanah Abang mencapai Rp200 miliar per harinya. Jika 40% dari sejumlah omzet tersebut dilakukan secara online maka ada potensi kerugian sebesar Rp80 miliar.
“Jam 12 siang itu kan puncak transaksi di Tanah Abang, kalau omzet Rp200 miliar, ya sekitar Rp80 miliar-Rp100 miliar dari 40% itu (kerugian) dalam sekitar empat jam. Ditambah biaya-biaya operasional lainnya yang terganggu karena listrik padam,” ucapnya.
Hery melanjutkan, kerugian tersebut belum menghitung biaya tambahan solar yang harus digunakan sebagai bahan bakar genset. Menurutnya, dari tujuh gedung di kawasan Tanah Abang, setiap gedung memiliki enam cadangan genset dengan jumlah solar 16.000 liter.
“Itu di luar biaya tambahan solar. Kalau untuk solar taruhlah harganya Rp5.000 per liter ya, dikali 16.000 sudah Rp90 juta-Rp100 juta selama empat jam. Kalau dikali tujuh gedung sudah ada Rp700 jutaan kurang lebih,” tuturnya.
Ia pun mengatakan mengatakan, solar tersebut tidak boleh berkurang dari 16.000 liter sehingga pihaknya harus terus memasok solar agar tetap penuh untuk mengantisipasi hal-hal tak terduga seperti pemadaman yang terjadi kemarin.
“Kita tentu harus pasok terus dan itu juga menambah cost operasional kita,” ucapnya.
Roy Mandey melanjutkan, sebagai satu-satunya perusahaan yang memonopoli listrik seharusnya PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.
Ia mengatakan, setidaknya PLN harus memberikan insentif bagi pengusaha dengan memberikan keringanan biaya tarif listrik.
“Harusnya kami dapat insentif dong dari pembayaran listrik bulan ini misalnya. Karena kan hampir delapan jam itu kan listrik mati sampai jam mau tutup,” katanya.
Ia juga mengatakan seharusnya PLN memiliki backup plan atau recovery plan untuk menghadapi kendala dalam hal kelistrikan.
“Seharusnya PLN mempunyai sistem mumpuni untuk mengantisipasi masalah semacam ini, backup plan yang reaktif terhadap gangguan dan recovery plan yang terencana,” tuturnya.
Dia menjelaskan, pemadaman listrik yang berlangsung lama dan mencakup area yang cukup luas berdampak pada pelaku usaha dan masyarakat sebagai pelanggan PLN.