Medsos merambah bisnis jual beli, bakal kalahkan marketplace?
Sudah lebih dari tiga tahun, Rizka Dilla membuat akun Tiktok pertamanya. Namun selama ini akun yang saat ini bernama @mintchoco.studio itu hanya digunakannya untuk fangirling-an atau menonton video-video Tiktok yang dibuat oleh grup idola kesukaannya, BTS serta DPR LIVE dan DPR Ian.
Setelah bosan dan menyadari fungsi lain dari platform media sosial buatan Tiongkok itu, Dilla lantas berpikir menggunakan akunnya itu untuk sesuatu yang dapat menghasilkan pundi-pundi uang. Pada September 2022, dimulailah perjalanan Dilla dalam berjualan di platform yang kerap disebut sebagai ‘Toko Kuning’ ini.
“Bagi saya berjualan sebenarnya bukan hal baru dan sebelumnya sudah ada dua toko yang serius saya kelola. Tapi kalau untuk Tiktok Shop ini nekat aja, karena kan lihat kok semakin banyak yang jualan di Tiktok dan banyak yang berhasil,” katanya, kepada Alinea.id, Minggu (4/12).
Meski begitu, perempuan asal Bukittinggi ini sebenarnya telah menyiapkan dengan matang rencana berjualannya di Tiktok Shop, yakni dengan menciptakan niche (ceruk) pasarnya sendiri; penggemar K-Pop. Hal ini sesuai dengan apa yang dijualnya di social commerce itu, gantungan kunci akrilik yang bisa dipesan sesuai keinginan pembeli (custom keychain), cute stuff dan aksesoris-aksesoris lain yang berkaitan dengan K-Pop.
“Dengan video seadanya, bahkan saat itu saya pesimis bakalan ada yang beli, ternyata malah langsung sold out (terjual habis) dalam waktu kurang dari 24 jam,” imbuhnya.
Hal ini belum pernah sama sekali dialaminya saat menjajakan dagangannya di marketplace atau Instagram. Pun begitu ketika perempuan yang bekerja sebagai blogger ini menggunakan jasa endorsement dan iklan di marketplace.
Namun, sama seperti platform lain yang menyediakan jasa berjualan online, ada biaya admin atau biaya jasa aplikasi yang harus ditanggung sebesar Rp2.000 + 1% harga produk (setelah diskon, jika ada). “Misalnya, kalau harga produk Rp15.000, maka biaya admin Tiktok Shop-nya Rp2.000 + (1% × Rp15.000) itu Rp2.150 per barang,” ungkap Dilla.
Dibandingkan biaya jasa aplikasi Shopee yang biasa dibayarnya, yaitu senilai Rp1.000, biaya admin Tiktok Shop jelas jauh lebih mahal. Tidak hanya itu, peraturan berjualan di Tiktok Shop pun lebih ketat dari platform social commerce lain seperti Instagram, Facebook dan WhatsApp.
Bahkan, saking ketatnya peraturan tersebut, Dilla mengaku pernah mendapat ‘surat cinta’ dari Tiktok karena telah melakukan pelanggaran Low shop experience score, tepat seminggu setelah tokonya buka. Karena perempuan 28 tahun itu telah mengabaikan DM (direct message) pelanggan lebih dari 24 jam.
“Sekarang saya balas langsung, kalau ada DM masuk,” lanjut perempuan yang gemar menyulam dan membuat berbagai kerajinan tangan itu.
Terlepas dari itu, Dilla mengaku akan serius berjualan di Toko Kuning ini. Setelah berhasil mendapat ceruk pasar sendiri, pesanan di tokonya silih berganti berdatangan, bahkan tanpa harus menggunakan jasa seleb Tiktok atau influencer serta memasang iklan.
Berbeda dengan Dilla, Nuraeni Amir masuk menjadi bagian Tiktok Afiliator setelah mendapat tawaran dari Tiktok untuk menjadi afiliator pada akhir tahun lalu. Hal ini lantaran akun miliknya telah diikuti oleh lebih dari 20.000 pengguna. Namun, ajakan itu baru disetujuinya pada Februari 2022, setelah melalui berbagai pertimbangan dan banyak diskusi dengan suaminya.
Salah satu yang membuat perempuan 27 tahun ini menjabani ajakan Tiktok ialah karena lebih cepat mendapatkan komisi dari platform media sosial ini. Tidak hanya itu, komisi yang didapatkan afiliator pun cukup menjanjikan, yakni sebesar 5-10% dari total hasil penjualan produk atau per item produk.
Perlu diketahui, Tiktok Affiliate atau Tiktok Shop Affiliate sendiri merupakan layanan dari Tiktok yang memungkinkan pengguna untuk mempromosikan atau endorse produk dari penjual. Dengan program ini, pengguna atau dalam hal ini afiliator tidak perlu memiliki stok barang sendiri untuk bisa menjual barang. Sementara Tiktok Shop merupakan salah satu fitur yang memungkinkan pengguna untuk menjual atau membeli produk online, layaknya aplikasi e-commerce.
“Karena waktu itu memang butuh pendapatan tambahan, setelah waktu pandemi bisnis herbal kami terdampak, jadi diiyain aja (tawaran untuk menjadi afiliator),” kata Nur saat dihubungi Alinea.id, Senin (5/12).
Tidak seperti yang dibayangkannya, menjadi afiliator pada kenyataannya membutuhkan usaha ekstra keras. Dua minggu pertama menjadi afiliator Tiktok, sama sekali tidak ada orang yang membeli barang yang ditawarkannya.
Namun, setelah rutin membuat video Tiktok (VT) dan live (siaran langsung Tiktok) dua kali sehari, usahanya itu terbayar juga. Kini, setiap kali melakukan siaran langsung yang selama 30 menit hingga 1 jam, paling tidak ada lebih dari 20 orderan masuk.
“Ini beda banget kalau saya live di Shopee, karena saya juga memasarkan produk herbal saya di Shopee dan Tokopedia,” imbuh ibu satu anak yang berprofesi juga sebagai penulis blog ini.
Karena penjualan itu, kini Nur tidak hanya memasarkan produk akun Affiliate saja, melainkan juga mulai menjual produk herbal yang diproduksinya sendiri bersama suami. Lapak untuk produk herbalnya ini digelar berbeda, dengan Tiktok Shop Affiliate miliknya.
Penggunaan media sosial di masa depan
Media sosial |
Tidak akan menggunakan |
Mempertimbangkan untuk menggunakan |
TikTok Shop |
54% |
54% |
|
39% |
30% |
Facebook Shop |
21% |
21% |
Instagram Shop |
24% |
35% |
Telegram |
9% |
9% |
Line Shop |
5% |
7% |
|
5% |
5% |
Lainnya |
10% |
8% |
Tidak Menggunakan |
14% |
10% |
Sumber: Hasil Survei Populix ‘The Social Commerce Landscape in Indonesia dengan 1.020 responden berusia 18-55 tahun yang tinggal di Indonesia pada periode 28 Juli – 9 Agustus 2022.
Tak sekadar media sosial
Setelah sukses sebagai platform media sosial yang digunakan oleh 1,46 miliar pengguna aktif bulanan (monthly active user/MAU) di seluruh dunia, Tiktok mulai memperluas jangkauan bisnisnya dengan merilis Tiktok Shop pada April 2021. Hal ini juga dilakukan untuk meraup ceruk pasar bisnis online, yang sebelumnya juga telah dijajal oleh media sosial lainnya, mulai dari Facebook, Instagram, hingga WhatsApp.
Namun, menurut mantan Co-Founder PT Alona Indonesia Raya (Dropshipaja), berbeda dengan media sosial lainnya, terutama Facebook dan Instagram, Tiktok Shop cukup mudah dikelola dan menghasilkan banyak penjualan. Tanpa harus membutuhkan konten bagus, pengelolaan promosi yang detail, serta penggunaan layanan Ads atau iklan untuk membangun bisnis yang sesuai pasar.
“Silahkan lihat-lihat sendiri pengguna Tiktok banyak yang aneh-aneh, video random, sesuka hati tapi bisa banyak jualan,” katanya, kepada Alinea.id belum lama ini.
Hal ini memang tidak bisa dimengerti, namun ini dapat diartikan bahwa pengguna Tiktok cenderung menonton konten yang menurutnya menarik. Di mana setiap orang memiliki ketertarikan masing-masing terhadap suatu hal.
Tidak hanya itu, Rico juga mencatat, pengguna media sosial menghabiskan waktu lebih banyak untuk menonton konten-konten Tiktok dibandingkan media sosial lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan oleh TensorTower, yang mengungkapkan bahwa secara global, rata-rata pengguna Tiktok menghabiskan waktu sekitar 95 menit per hari pada kuartal-II 2022. Sementara posisi kedua dan ketiga ditempati oleh Youtube dan Instagram, dengan waktu rata-rata 74 menit dan 51 menit per hari.
Di Indonesia, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Katadata Insight Center (KIC), Tiktok diakses oleh 29,8% responden, naik dari tahun lalu yang hanya diakses oleh 16,7% responden. Selain itu, 47,4% responden menghabiskan waktu lebih dari 2 jam per hari untuk menonton konten Tiktok, mengalahkan Facebook dan Instagram.
“Fakta-fakta inilah yang sekarang mulai banyak digunakan oleh penjual untuk memperluas bisnis mereka. Tidak hanya itu, ini juga bisa jadi peluang bagi UMKM yang ingin masuk ke penjualan online,” jelas Rico.
Tak heran jika kehadiran Tiktok Shop mampu memeriahkan bisnis social commerce di tanah air. Dari 1.020 responden berusia 18-55 tahun yang menjadi sasaran penelitian startup survei online ini, 46% dari total responden paling banyak menggunakan Tiktok Shop sebagai media berbelanja. Disusul kemudian oleh WhatsApp sebanyak 21% responden, Facebook Shop 10% dan Instagram Shop 10% responden.
Ke depannya, Tiktok pun masih akan terus digunakan oleh 54% responden dengan dominasi usia 18-25 tahun. Sedangkan Instagram Shop masih bakal digunakan oleh 35% responden dengan Social Economy Status (SES) alias masyarakat ekonomi kelas atas. Sementara WhatsApp Shop masih akan terus digunakan oleh 30% responden dengan usia lebih senior.
“Sebagian besar masyarakat Indonesia mengetahui dan pernah mencoba berbelanja melalui social commerce untuk transaksi sehari-hari seperti membeli pakaian dan produk kecantikan,” kata Co-Founder dan CEO Populix Timothy Astandu, kepada Alinea.id, Jumat (2/12).
Lebih dari itu, pesatnya tren social commerce, tidak terkecuali Tiktok Shop, disebabkan oleh pandemi Covid-19. Di mana kondisi ini memaksa masyarakat untuk melakukan kontak langsung, sehingga mendorong kemunculan platform-platform jual beli berbasis interaksi sosial sebagai alternatif media belanja masyarakat.
‘Toko’ alternatif
Namun demikian, menurut Timothy, meski terus berkembang, baik social commerce maupun e-commerce akan berjalan beriringan sebagai media belanja alternatif masyarakat. Sebab meski serupa, keduanya memiliki pangsa pasar yang berbeda dengan masing-masing memberikan opsi tersendiri bagi konsumen untuk memenuhi kebutuhan mereka.
“Social Commerce dan marketplace memiliki perbedaan layanan yang ditawarkan, keuntungan dan manfaat sendiri-sendiri. Sehingga masing-masing punya pasarnya sendiri,” lanjut dia.
Hal ini pun diamini oleh Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga. Bahkan, menurutnya, ada tren di social commerce yang kemudian menjadi inspirasi bagi e-commerce. Salah satunya shoppable live stream atau menawarkan dagangan dengan metode siaran langsung (live streaming).
“Dalam kegiatan jual beli online, inovasi tentu dibutuhkan. Terutama dalam menyediakan berbagai konten-konten menarik untuk menjangkau lebih banyak pembeli potensial dengan cakupan yang lebih luas. Dan social commerce sangat bisa melakukan ini,” bebernya, kepada Alinea.id, Kamis (1/12).
Dengan demikian, tak heran jika social commerce dapat bertumbuh cepat di tanah air, layaknya e-commerce. Hal ini terlihat dari GMV (Gross Merchandise Value) social commerce yang pada 2019 berdasar catatan Statista masih sebesar US$6,1 juta, diperkirakan akan mencapai US$25 juta. Adapun pada tahun yang sama, GMV e-commerce sebesar US$25 miliar dan bakal mencapai US$48 miliar hingga akhir tahun ini.
Nilai GMV e-commerce dan social commerce Indonesia
Tahun |
Social commerce (US$ Juta) |
2018 |
4,3 |
2019 |
6,1 |
2020* (perkiraan) |
8,7 |
2021* (perkiraan) |
12,3 |
2022* (perkiraan) |
25 |
Sumber: Statista
“E-commerce memang masih besar pasarnya dan akan semakin besar. Tapi tidak menutup kemungkinan social commerce, khususnya Tiktok, WhatsApp dan Instagram akan masuk dan merebut ceruk pasar mereka,” katanya Pakar Marketing Inventure Consulting Yuswohady kepada Alinea.id, Minggu (4/12).
Musababnya, ketiga platform tersebut telah memiliki banyak pengguna. Inilah yang menyebabkan fitur Shop dari media-media sosial tersebut akan lebih mudah berkembang ketimbang aplikasi atau startup social commerce seperti Evermos, Kitabeli, Dusdusan, atau yang lainnya. Karena membangun traffic untuk terciptanya sebuah brand awareness dari pengguna sangat penting bagi platform social commerce.
Terlepas dari itu, Yuswohady menilai, tren social commerce akan semakin digandrungi masyarakat lantaran memudahkan konsumen dalam bertransaksi. Sebab, tanpa perlu keluar dari aplikasi media sosial, pengguna dapat sekaligus berbelanja.
“Kelebihan social commerce yang saat ini banyak digunakan para pelaku bisnis untuk meningkatkan penjualannya adalah semakin singkatnya proses konsumen untuk memutuskan membeli produk. Dan ini hanya dilakukan dalam waktu beberapa menit saja,” imbuh dia.
Karena proses transaksinya yang terbilang cepat, Yuswohady pun menilai salah satu tantangan dari social commerce dari sisi konsumen adalah kemungkinan keliru dalam mengambil keputusan untuk membeli produk karena pengaruh teman atau komunitas di media sosial. Sementara dari sisi penjual, mereka dituntut cepat pula dalam memproses pengiriman produk yang telah dipesan oleh konsumen, termasuk menyetok produk yang banyak.
"Makanya yang dikejar itu adalah impulse buying, proses pembelian yang dipengaruhi lingkungan sehingga konsumen cepat mengambil keputusan,"ujar dia.
Bagi pengguna baru yang ingin berjualan di social commerce, terutama dari platform media sosial pun cukup mudah dilakukan. Karena biasanya platform social commerce seperti TikTok Shop memberikan kesempatan belajar dengan cara yang lebih mudah, sehingga penjual baru tidak memerlukan kemampuan teknis yang sangat tinggi.
Hanya saja, hal ini perlu dibarengi dengan mindset up-to-date dari pelaku bisnis untuk terus melakukan penyesuaian terhadap tren. Sebab, tren di media sosial berjalan dengan sangat cepat dan membuat tren yang saat ini sedang berlangsung akan dapat ‘kadaluwarsa’ hanya dalam beberapa waktu.
“Dengan ini semua yang mau bisa berjualan di social commerce asal dia punya kemauan besar. harapannya semua bisnis bisa tumbuh dan berkembang dengan pesat di platform social commerce seperti TikTok Shop,” ungkapnya.
Sementara itu, GMV (Gross Merchandise Value) untuk industri e-commerce di Indonesia diperkirakan akan mencapai $104 miliar pada tahun 2025. Selain platform e-commerce yang sudah banyak digunakan oleh end-user, masih terdapat potensi pasar yang sangat besar dari massa yang terfragmentasi di media sosial. Ada hampir 158,6 juta pengguna e-commerce di Indonesia (57,9% dari total populasi).
Tahun |
E-commerce (US$ Miliar) |
2019 |
25 |
2021 |
48 |
2022* (perkiraan) |
59 |
2025* (perkiraan) |
95 |
Sumber: Google, Temasek dan Bain & Company
Artinya, masih ada peluang bagi model bisnis online commerce lainnya untuk bermanuver, terutama untuk melayani mereka yang belum melek digital. Meski tidak menggunakan e-commerce, namun diyakini telah mengadopsi internet dan media sosial.
Untuk menggarap potensi besar itu, Tiktok pun semakin serius untuk mengembangkan fitur Shop yang telah dimulai sejak kuartal-I 2021. Pada September 2021, bahkan Tiktok memfokuskan lini bisnis ini di Indonesia, yang mana Indonesia memiliki pengguna Tiktok terbanyak kedua di dunia.
Fashion and Category Lead Tiktok Shop Indonesia Dessey Muharlina Bungsu mengungkapkan, langkah ini dilakukan dengan memulai ekosistem menyeluruh yang terintegrasi, mulai dari pemasaran dengan Tiktok For Business hingga penjualan dengan Tiktok Shop. Tidak hanya itu, aplikasi milik raksasa teknologi ByteDance ini juga telah melengkapi ekosistemnya dengan mulai membangun jaringan logistik, dengan berkolaborasi dengan beberapa perusahaan logistik tanah air.
“Kami ingin memudahkan brand terutama UMKM untuk melancarkan strategi bisnis sosialnya di Tiktok. Langkah ini juga dilakukan dengan strategi pemasaran yang lebih baik melalui pemanfaatan Shoppertainment yang menggabungkan elemen hiburan dan pengalaman berbelanja pengguna,” jelas Dessey, dalam keterangannya kepada Alinea.id, Senin (28/11).
Tidak hanya itu, untuk mendukung perkembangan para pelaku bisnis terutama UMKM, Tiktok juga menyediakan berbagai program seperti Maju Bareng TikTok, Follow Me, TikTok Shop Seller Conference, dan TikTok Shop Seller Incubation Program. Program-program ini diselenggarakan untuk mengasah keterampilan digital para pelaku bisnis dalam memanfaatkan ekosistem TikTok.