Bank Dunia mengusulkan dana perantara keuangan untuk menutup ketimpangan finansial global dalam upaya mencegah, menyiapkan, dan merespons pandemi, yaitu Financial Intermediary Fund (FIF). Negara G20 telah menyepakati pembentukan FIF pada pertemuan Joint Finance and health Ministers’ Meeting (JFHMM) pada 21 Juni 2022 lalu. Dalam proposal awal FIF, pendekatan yang digunakan tidak jauh berbeda dengan pendekatan sebelumnya.
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) yaitu lembaga nonprofit pendorong kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah dan The Joep Lange Institute (JLI) sebuah organisasi internasional yang mempromosikan dan memfasilitasi inovasi kesehatan global, menilai mekanisme FIF berpotensi mengulang pola pembiayaan kesehatan global yang bergantung pada donor, minim partisipasi organisasi masyarakat sipil dan komunitas, kurangnya pelibatan dan partisipasi negara ekonomi rendah serta menengah.
Menurut kedua lembaga tersebut, FIF juga dinilai tidak inklusif dan berkelanjutan, karena adanya ketimpangan kuasa dan pengambilan keputusan negara donor dan penerima. Sehingga CISDI dan JLI menganggap FIF harus menerapkan paradigma baru dengan prinsip Global Public Investment (GPI) dalam penyelenggaraanya.
Diah Saminarsih, Penasihat Senior untuk Urusan Gender dan Pemuda untuk Direktur Jenderal WHO sekaligus pendiri CISDI menyampaikan dalam keterangan tertulis resmi CISDI yang mengutip dari artikel The Lancet, bahwa ia dan tim penulis yang terdiri dari co-authors Simon Reid-Henry, Jon Liden, Cristoph Benn, Olivia Herlinda, dan Maria Fernanda Bustos Venegas, menyambut baik kelahiran FIF sebagai mekanisme pendanaan kesiapan global dalam menangani pandemi. Terlebih FIF terbangun dari kepemimpinan Indonesia sebagai Presiden G20.
“Berlalunya fase respons dan masuknya dunia ke fase pemastian kesiapan sistem kesehatan dalam pandemi, baik keluar dari pandemi saat ini atau menghadapi pandemi lain yang akan datang, tentu membutuhkan solidaritas dunia dalam penjaminan ketersediaan sumber daya keuangan yang memadai, adil, dan berkelanjutan,” ujar Diah dan tim penulis dalam artikel The Lancet yang dikutip siaran pers tertulis CISDI, Rabu (29/6).
Mereka juga menyampaikan, dalam memastikan eksekusi di tingkat nasional hingga komunitas, dibutuhkan inovasi baru dalam tata kelola. Inovasi tersebut adalah diterapkannya GPI dalam FIF, karena prinsip ini adalah pendekatan pendanaan publik yang menekankan aspek keadilan.
“Dalam GPI, semua negara dapat dan diharapkan berkontribusi, menerima manfaat, sekaligus terlibat dalam pengambilan keputusan,” lanjut mereka.
Menurut Diah dan tim penulis, reformasi pembiayaan pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi yang dibutuhkan sekarang harus berfokus pada kebutuhan negara dari setiap kelompok pendapatan. Selain itu juga mendorong partisipasi bermakna, termasuk dari masyarakat sipil serta meluaskan peluang kontribusi dari negara-negara lain.
Diterapkannya GPI dalam FIF memungkinkan negara dari semua kelompok pendapatan bisa terlibat membiayai FIF, khususnya negara berpendapatan rendah dan menengah, melalui pengeluaran domestik yang disesuaikan berdasar pendapatan nasional bruto suatu negara untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi global setiap tahunnya.
Beberapa kelebihan GPI di antaranya adalah, meningkatkan transparansi tentang bagaimana negara dan sistem kesehatan mereka akan menerima manfaat, memastikan sumber pembiayaan FIF yang berkelanjutan, dan negara anggota bisa merumuskan sendiri kebutuhan komponen kesiapsiagaan pandemi dalam wilayah domestik mereka sehingga lebih transparan dan akuntabel.
Oleh karena itu, CISDI dan JLI mendorong seluruh negara yang hadir dalam Pertemuan Dewan Bank Dunia mengenai FIF pada Kamis (30/6) untuk mempromosikan prinsip GPI agar diadopsi menjadi prinsip utama dalam tata kelola FIF.