Belum genap satu semester dimulainya 2022, masyarakat Indonesia seakan dihantam berbagai persoalan perekonomian. Masalah meroketnya harga minyak goreng yang disebabkan oleh kelangkaan tidak hanya menjadi fokus nasional, tetapi juga internasional mengingat Indonesia merupakan salah satu negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia.
Peran pemerintah dalam penanganan persoalan ini juga tidak dapat dikatakan baik. Meskipun telah menerbitkan kebijakan untuk mengatur rantai pasok minyak goreng curah subsidi berbasis industri yang ditetapkan per 1 Februari 2022 melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 Tentang Harga Ecer Tertinggi Minyak Goreng.
Bertujuan untuk menekan harga minyak goreng yang semakin mahal sejak 2021 dengan persentase kenaikan 46,2% dalam periode Januari 2021 hingga Januari 20223, pemerintah kemudian menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan dengan harga Rp14.000 per liter dan minyak goreng curah dengan harga Rp11.000 melalui kebijakan tersebut.
“Salah satu masalah yang cukup krusial adalah karena perusahaan. Minyak goreng ini tidak terlepas dari perusahaan perkebunan kelapa sawit dan juga tidak terlepas dari distributor. Jadi kalo kita tanya siapa yang melakukan penimbunan? Ternyata mata rantai distribusinya merupakan satu kesatuan,” ucap Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, dalam diskusi yang dipantau secara online pada Senin (25/4).
Sayangnya, kebijakan tersebut justru menyebabkan kelangkaan stok minyak goreng di pasar. Kebijakan tersebut kemudian dicabut per 16 Maret 2022 dan digantikan oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2022 Tentang Penetapan Harga Minyak Goreng Curah.
Pascadicabutnya aturan HET minyak goreng kemasan, stok minyak goreng kemasan kembali banyak tersedia di pasar dengan harga yang melambung tinggi.
Makanya Bhima Yudhistira menilai kebijakan, melarang ekspor bahan baku minyak goreng atau crude palm oil (CPO) dan dan minyak goreng sebagai kebijakan yang frustasi dan sebaiknya tidak dilakukan. Untuk mengatasi persoalan tata niaga minyak goreng, pemerintah sebaiknya menegakkan aturan domestic market obligation (DMO) yang sebelumnya telah dilakukan.
“Sebenarnya DMO 20% itu lebih dari cukup. Kalau ada perusahaan yang kemudian mangkir, jangan sungkan untuk mencabut izin ekspornya. Yang menjadi masalah dalam kebijakan DMO kemarin kan perusahaan-perusahaan besar coba melakukan gratifikasi. Karena masalahnya tidak adanya sanksi yang tegas,” kata Bhima.
Sementara mantan anggota Ombudsman Alamsyah Saragih mengatakan, tidak gampang mengimplementasikan kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga minyak sawit. Pasalnya akan sulit memaksa perusahaan agar menjual harga minyak goreng yang murah, dan dalam persepsi para pengusaha akan merugi.
“Menurut saya rasionalitas dalam market nya. Sulit jika tiba tiba menyuruh jual dengan harga lebih tipis. Apalagi mereka memiliki komitmen-komitmen jangka panjang dalam kontrak ekspor. Dan kadang-kadang perusahaan merasa tabu untuk mengungkapkan itu, karena akan dinilai tidak punya rasa nasionalis dan sebagainya.” ucap Alamsyah Saragih.