Sulitnya mencari pekerjaan menjadi atensi mayoritas netizen Indonesia di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Continuum Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menemukan terdapat 4,211 juta perbincangan seputar ketenagakerjaan di media sosial X atau Twitter pada periode Juli hingga September 2024. Dari total tersebut, sekitar 29% mengaku sedang mencari lowongan kerja.
Sebagian lainnya memperbincangkan terkait tetap semangat meski terkena PHK atau pemutusan hubungan kerja (25,6%), info lowongan kerja (23,1%), dan sedang menganggur (7,5%). Ada pula yang membahas terkait peluang mendapatkan pendapatan, seperti frreelance bisa jadi alternatif pekerjaan, mencoba berbisnis karena susah mendapat panggilan interview, serta meningkatkan skill selagi menganggur.
"Dari media sosial tergambarkan sentimen negatif terkait penciptaan lapangan kerja. Kalau lapangan kerja enggak tercipta, ya daya beli melambat. Angka-angka ini semakin mengonfirmasi kenapa pertumbuhan ekonomi triwulan III-2024 hanya 4,9% (secara tahunan atau yoy)," ujar Direktur Pengembangan Big Data Continuum Indef, Eko Listiyanto, baru-baru ini.
Genjot manufaktur
Eko mengatakan pemerintah perlu memacu pertumbuhan industri terutama industri manufaktur yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Sektor ini menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Menurut Eko, penciptaan lapangan kerja bisa memperbaiki daya beli rumah tangga.
“Kalau manufaktur sudah beberapa bulan ini kontraksi terus, ya itu artinya PHK meningkat karena manufaktur melambat ya otomatis kan mereka lama-lama enggak bisa kalau pesanannya sedikit terus kemudian juga penjualannya sedikit atau menurun, bagaimana mungkin mereka akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, yang ada mungkin malah mem-PHK,” ujarnya.
Indeks Manajer Pembelian atau Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Oktober 2024 berada pada level 49,2, atau berada di posisi kontraksi. Kondisi itu melanjutkan kontraksi tiga bulan sebelumnya sejak Juli. Kontraksi permintaan turun menyebabkan produksi turun sehingga belanja bahan baku manajer pun turun.
Mengutip S&P Global, posisi PMI Manufaktur Indonesia tak berubah dari posisi September yang juga pada level 49,2. Angka ini sedikit meningkat dibandingkan dengan Agustus 2024 yang ada pada level 48,9, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan posisi Juli di level 49,3.
Angka di bawah 50 menunjukkan kondisi kontraksi, sedangkan di atas 50 menunjukkan ekspansi.
Padahal, sebelumnya, selama 34 bulan berturut-turut manufaktur Indonesia dalam posisi ekspansi setelah terakhir Indonesia dalam posisi kontraksi pada Agustus 2021. Ekspansi PMI Manufaktur Indonesia terakhir ada pada Juni 2024 pada level 50,7.
Tak mudah
Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus bilang industri pengolahan atau manufaktur harus tumbuh kisaran 8,5% hingga 9% per tahun sehingga sumbangannya ke produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga konstan (ADHK) mencapai Rp16.000 triliun pada 2045. Angka itu demi mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8% seperti yang ditargetkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Ahmad menyampaikan, untuk mencapainya bukan hal yang mudah karena nilai PDB industri atas dasar harga konstan masih sekitar Rp2.200 triliun.
“Biasanya kalau industrinya tumbuh, ekonominya tumbuh, kalau industri melambat ekonomi melambat,” kata Ahmad, belum lama ini.
Menurut Ahmad, pemerintah bisa terlebih dahulu mengejar pertumbuhan industri manufaktur rata-rata sebesar 7,5% dari tahun 2025 hingga 2045. Maka dari itu, setidaknya pertumbuhan ekonomi bisa dikerek hingga ke level 6%.
Pertumbuhan manufaktur 7,5% itu, maka nilai PDB industri mencapai Rp12.000 triliun atas dasar harga konstan. Dengan kenaikan enam kali dari kondisi saat ini atau mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 6% tersebut, maka tahun 2041 Indonesia menjadi negara maju.
“Ini menjadi tantangan, bagaimana meningkatkan PDB industri, apakah dari produktivitas tenaga kerja, apakah dari nilai investasi, atau apakah dari fiskalnya,” ujarnya.
Peneliti Indef Riza Annisa Pujarama melihat, sektor industri pengolahan yang mempunyai porsi pembentukan PDB tinggi kini justru mengalami tren perlambatan.
Apalagi jika merujuk laporan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), serapan pajak dari industri pengolahan sepanjang 1 Januari hingga 30 September 2024 terkoreksi 7,87% dalam periode yang sama secara year on year (yoy). Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan tercatat negatif 29,33%.
Ia menilai, penurunan industri pengolahan dipengaruhi oleh banyaknya pabrik yang tutup. Kondisi tersebut berimbas pada penerimaan perpajakan yang diperoleh negara. Maka dari itu, perbaikan kinerja industri pengolahan menjadi salah satu pekerjaan rumah utama bagi pemerintah, agar performa penerimaan negara dapat kembali terakselerasi.
“Yang harus dijaga adalah kemampuan membayar pajak, baik dari sisi badan usaha maupun rumah tangga. Dari sisi badan usaha, sektor industri pengolahan turun. Ini yang perlu diakselerasi ke depannya,” ujarnya.