close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Enrico P. W.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Enrico P. W.
Bisnis
Jumat, 15 April 2022 06:03

Melepas stigma ribawi pada lembaga keuangan syariah

Sejumlah masyarakat masih meragukan pola bisnis lembaga keuangan syariah yang belum betul-betul menerapkan prinsip syariah.
swipe

Juli lalu, Pengusaha Jalan Tol Mohammad Jusuf Hamka sempat melontarkan kritik pedas terhadap bank syariah. Menurutnya, cara kerja bank berbasis syariat Islam ini justru lebih kejam dibandingkan bank konvensional. 

Pejuang filantropi ini berkisah memiliki utang di bank Syariah senilai Rp800 miliar, dengan bunga 11%. Lantaran terdampak pandemi Covid-19, perusahaannya yang bergerak di sektor jalan tol ini mengalami penurunan pendapatan. Jusuf pun mengajukan relaksasi dan meminta agar pihak bank menurunkan tingkat bunga pinjaman mereka menjadi 8%.

Setelah memperoleh persetujuan dari pihak bank, dia kemudian menyetorkan dana sebesar Rp795 miliar untuk melunasi utangnya. Alih-alih lunas, uang tersebut justru tertahan di rekeningnya. 

“Karena ini sindikasi, pasti ada agennya dari bank Syariah ini juga, uang saya tidak didebet langsung. Tidak dibayarkan untuk utang. Uang saya di-hold, tapi bunga berjalan terus,” ungkapnya dalam Podcast Deddy Courbuzier yang tayang 31 Juli 2021 lalu.

Tangkapan layar Jusuf Hamka dalam Podcast Deddy Corbuzier.

Jusuf kemudian meminta agar pihak bank Syariah mengembalikan uangnya yang ditahan tersebut. Namun, ketika uang kembali, jumlahnya berkurang menjadi Rp690 miliar. Kata dia, kekurangan uang yang senilai Rp105 miliar, digunakan oleh pihak bank untuk pembayaran agen dan bunga bank. 

“Syariah ini cukup baik, tapi ada oknum-oknum yang memanfaatkan label syariah ini, yang dikatakan bank syariah itu bank bagi hasil, sebenarnya bukan bagi hasil. Dia lebih kejam, lebih lintah darat dari bank konvensional,” katanya. 

Namun, pasca pernyataannya di podcast tersebut viral, pria yang karib disapa Babah Alun ini akhirnya melakukan klarifikasi. Dia mengatakan pernyataan tersebut sebagai respon spontan saat berbincang dengan Deddy Corbuzier. 

Soal kasusnya dengan bank syariah, Jusuf pun mengaku hal ini bukan soal sistem bank syariah secara umum. Kasus tersebut, kata dia, hanya soal hubungan antara dirinya sebagai nasabah dengan sindikasi bank syariah terkait negoisasi yang belum disepakati.

Namun demikian, viralnya pernyataan Babah Alun memantik ragu di benak umat dan mencederai nama baik bank syariah. Sebab, menurut Pakar Ekonomi Syariah Aries Muftie, kritik tersebut meskipun ditujukan untuk sindikasi bank syariah, namun sama halnya dengan mengkritik seluruh bank syariah yang ada di Indonesia. Karena yang menjadi bahan kritik adalah sistem bisnis dari bank syariah, yakni terkait akad bagi hasil.

Pegawai bank syariah melayani pengunjung di sebuah pameran keuangan syariah di Jakarta beberapa waktu lalu. Foto Reuters.
Dia khawatir, kritik tersebut akan membuat semakin banyak masyarakat sangsi pada bank syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya. Apalagi, Jusuf merupakan pengusaha muslim yang cukup disegani oleh banyak orang. 

Terlepas dari masalah yang dialami oleh Jusuf Hamka dengan beberapa bank syariah, sejak dulu lembaga keuangan syariah selalu mengalami hal yang sama. Masih ada sebagian masyarakat atau nasabah yang mengharamkan bisnis kerja perbankan ala Islam ini.  

“Mungkin dia enggak tahu bedanya akad murabahah (jual-beli) dengan mudharabah (investasi), lalu dengan ijarah (sewa-menyewa). Karena kan sistem syariah itu ada sistem bagi hasil, jual beli, juga sewa-menyewa. Ada satu lagi yang pinjam-meminjam,” urainya, saat dihubungi Alinea.id, Senin (4/4).

Di saat yang sama, ada pula sebagian masyarakat yang masih menganggap bahwa bank syariah belum benar-benar menerapkan prinsip syariah. Sehingga masih ada praktik ribawi di dalamnya.

Riba sendiri, dalam Bahasa Arab memiliki arti kelebihan atau tambahan. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sama dengan bunga uang, rente, atau lintah darat. Jika diartikan menggunakan konsep syariah Islam, riba lebih mengerucut pada kelebihan dari pokok utang. 

Dari berbagai interpretasi tersebut, sederhananya riba adalah tambahan atau kelebihan yang disyaratkan dan diterima oleh pemberi pinjaman sebagai imbalan dari meminjami uang atau transaksi ekonomi lainnya. Di dalam Al-Quran, praktik ribawi dengan tegas dilarang, karena dipersamakan dengan mengambil uang orang lain dengan tidak benar dan menimbulkan ketidakadilan bagi salah satu pihak. 

Demi menghindari riba, sebagian masyarakat lantas beralih menggunakan jasa lembaga keuangan syariah. Mereka berharap, bank, asuransi dan pasar modal syariah benar-benar dapat dipercaya dengan bisnis sesuai konsep Islam, yang jelas mengeluarkan riba dari proses bisnisnya. 

Namun, ada sebagian lagi masyarakat yang benar-benar enggan bersinggungan dengan lembaga keuangan, meskipun itu telah berlabel syariah.

“Karena meskipun namanya syariah, baik bank syariah atau asuransi syariah, itu nyatanya belum benar-benar syariah. Kalau bank biasa haramnya 100%, bank syariah haramnya sekurang-kurangnya 300%. Karena dia berbohong, mengelabui, menyesatkan dan mengaku yang haram sebagai halal,” ujar Pendiri Pasar Muamalah Amir Zaim Saidi, kepada Alinea.id, Selasa (5/4).

Menurutnya, di Indonesia, perbankan merupakan salah satu ekosistem yang sudah menjadi satu-kesatuan. Menurutnya, hal ini membuat riba menjadi sistem di tanah air. Sebab, banyak bank syariah yang masih menjalankan sistem bisnis yang sama dengan induknya, karena belum bisa berdiri sendiri. 

“Kalau di istilahkan, mereka ini tetap ada dalam satu buku besar yang sama. Yang membedakan hanyalah bank atau lembaga keuangan syariah menggunakan istilah dari khasanah muamalah. Padahal sebetulnya sama saja,” imbuhnya. 

Ilustrasi Unsplash.com.

Dia mengingat, selama ini pihak perbankan sendiri juga tidak pernah mendeklarasikan dirinya sesuai syariah. Sebaliknya, bank hanya menyatakan bahwa bank syariah merupakan perbankan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Padahal, jika dilihat lebih dalam, antara syariah dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah adalah dua hal yang sama sekali berbeda. 

Apalagi, inti bisnis dari perbankan adalah untuk menyalurkan pembiayaan, atau dalam bank konvensional disebut sebagai kredit. Di mana, di dalam kredit, sudah dapat dipastikan ada bunga di dalamnya. 

Penulis buku 'Tidak Syariahnya Bank Syariah' ini menyontohkan, dalam salah satu produk bank syariah, yakni murabahah atau jual beli, pada dasarnya bukan merupakan murabahah yang sebenarnya. Produk ini merupakan pembiayaan yang menggunakan prinsip jual-beli. 

“Jadi ini sudah jauh sekali dan sudah dikaburkan. Ini enggak ada bedanya dengan kredit,” tegas Zaim.

Oleh karena itu, untuk menghindari riba, dia meminta agar masyarakat dapat lebih bijak dalam bermuamalah. Dirinya meminta agar perbankan syariah dapat mengubah sistem bisnisnya, sehingga benar-benar menjadi bank syariah, alih-alih bank yang menerapkan prinsip syariah.

Sementara itu, seorang laki-laki yang enggan disebutkan namanya mengaku telah meninggalkan semua sistem perbankan atau lembaga keuangan lainnya sejak lima tahun lalu. Pada saat yang sama dia juga resign sebagai karyawan di salah satu perusahaan leasing atau pembiayaan mobil di Jakarta. 

“Sangat sulit memang buat dilakukan. Tapi kalau ada kemauan, InsyaAllah bisa dan Allah pasti akan kasih jalan,” kata laki-laki 38 tahun ini, saat dihubungi Alinea.id, Senin (11/4). 

Kesulitan tersebut, tak lain berasal dari lingkungan sekitar, bahkan keluarga dekat yang telah menjadikan sistem perbankan dan lembaga keuangan sebagai bagian hidup terpenting. Misalnya, menyimpan uang harus dilakukan di bank, membeli rumah hingga kendaraan dengan bantuan kredit bank, dan sebagainya. 

“Padahal kan enggak. Simpan uang sebenarnya bisa di mana saja. Terus juga kirim uang juga enggak harus dari ATM, bisa lewat pos misalnya. Kalau mau beli rumah atau kendaraan bisa nabung dulu, sampai uangnya kekumpul,” kata warga Depok ini.

Tidak makan riba

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Fauziah Rizki Yuniarti mengungkapkan, memang ada beberapa produk atau jasa perbankan syariah yang belum bisa sesuai 100% dengan syariah. Pasalnya, mereka masih terbentur oleh beberapa hal, seperti infrastrusktur, ketersediaan produk, dan lainnya. 

Meski begitu, dia meyakinkan agar masyarakat tidak perlu khawatir, karena dalam peraturan perbankan syariah, setiap pendapatan bank yang mengandung riba, tidak boleh diakui sebagai pendapatan bank, yang berarti tidak akan disalurkan ke nasabah. 

Sebagai gantinya, pendapatan tersebut harus disalurkan untuk hal lain yang memiliki tujuan sosial. Hal ini sesuai dengan amanat bank syariah yang diwajibkan untuk melakukan peran sosial, yang bahkan tidak ada di dalam bank konvensional.

“Ini yang menjadi perbedaan utama dan penting lainnya antara bank syariah dan bank konvensional. Kemudian, dapat dipastikan nasabah bank syariah tidak akan menerima uang dari hasil riba,” katanya, kepada Alinea.id, Rabu (13/4).

Fauziah justru menilai, kondisi ini membuat nasabah justru bisa mendapatkan keberkahan berlipat lantaran memercayakan uangnya kepada bank syariah. Kedua, nasabah juga telah berkontribusi membantu kesejahteraan orang lain. 

“Memang bank Syariah dan lembaga keuangan Syariah lainnya mungkin belum bisa 100% Syariah, tapi apa kemudian kita lebih memilih ke lembaga yang 100% tidak syariah?” imbuh dia.

Adapun Pakar Ekonomi Syariah Institut Pertanian Bogor (IPB) Irfan S. Beik menilai, stigma masyarakat bahwa riba masih berkaitan erat dengan lembaga keuangan syariah, membuat inklusi keuangan syariah dan perkembangan ekonomi syariah menjadi tertahan. Kondisi ini kian parah karena lembaga keuangan syariah juga masih harus bersaing dengan lembaga keuangan konvensional.

Merujuk Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2019, indeks dan inklusi keuangan syariah nasional masing-masing sebesar 8,93% dan 9,1%. Sementara itu, indeks literasi dan inklusi keuangan nasional sebesar 38,03% dan 76,19%. 

Sementara jika dilihat per sektor jasa keuangan syariah, perbankan syariah merupakan sektor jasa keuangan syariah dengan tingkat literasi keuangan paling tinggi, yaitu 7,92%. Disusul oleh pegadaian syariah 4,51%, lembaga pembiayaan syariah 4,01%, asuransi syariah 3,99%, dana pensiun 2,97%, lembaga keuangan mikro 0,25%, dan pasar modal syariah 0,02%. 

Irfan menilai, masih banyaknya masyarakat yang memandang bank dan lembaga keuangan syariah masih mengandung riba, disebabkan oleh masih kurangnya edukasi atau miss-persepsi yang mereka alami. 

“Boleh jadi, mereka keliru atau kurang tepat memahami konsep ribanya. Juga bisa jadi tidak memahami dengan benar kaidah-kaidah fikih yang digunakan,” ujar dia, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (14/4).

Kurang edukasi

Sementara menurut Kepala Bagian Edukasi, Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Primandanu Febriyan Aziz, rendahnya inklusi dan literasi keuangan syariah disebabkan oleh kurang masifnya edukasi terkait ekonomi syariah kepada masyarakat. 

Padahal, jika dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional, lembaga keuangan syariah hanya memiliki sedikit diferensiasi model bisnis atau produk syariah. Sampai saat ini saja, produk syariah hanya sebatas pada bank syariah, asuransi syariah, pembiayaan berbasis syariah, serta investasi syariah yang terdiri dari saham dan reksa dana syariah, serta sukuk korporasi dan Surat Berharga Negara (SBN) saja. 

“Padahal, kalau edukasi bisa lebih dimasifkan lagi dan produk bisa lebih beragam, lembaga keuangan syariah bisa berkembang lebih besar,” ujarnya, Selasa (12/4).

Irfan S. Beik pun meminta agar lembaga keuangan syariah serta otoritas keuangan dapat memperluas cakupan edukasi mereka kepada masyarakat. Dia menilai, baik lembaga keuangan maupun otoritas, harus lebih mensosialisasikan tentang konsep riba, konsep keuangan syariah dan ekonomi syariah. Hal ini juga harus dibarengi pula dengan perbaikan kualitas layanan dan produk-produk syariah yang ada.

“Solusinya tidak lain dan tidak bukan, dengan edukasi dan sosialisasi yang lebih masif. Plus peningkatan layanan dan komunikasi produk yang lebih baik. Supaya jangan salah paham,” tegas Irfan.

Dihubungi terpisah, Head of Corporate Communication PT Bank Syariah Indonesia Tbk. alias BSI memastikan bahwa perbankan di Indonesia telah sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip syariah. Sehingga, dapat dipastikan bahwa tidak ada praktik ribawi di dalam lembaga keuangan syariah.

PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BSI) membayar zakat perusahaan kepada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebesar lebih dari Rp122,5 miliar. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan pembayaran zakat BSI pada tahun lalu yang sebesar Rp94 miliar. Dokumentasi BSI.

Bank hasil merger ini juga terus memberikan nilai lebih bagi umat dan penerima zakat sesuai asnaf (orang yang berhak menerima zakat). “BSI hadir menjadi sahabat finansial, sahabat sosial dan sahabat spiritual, karena BSI hadir menjadi energi baru bagi Indonesia,” katanya, kepada Alinea.id, Kamis (14/4).

Sepanjang tahun 2021, zakat BSI yang diserahkan melalui BAZNAS disalurkan ke dalam 3 program yaitu Mitra Umat, Didik Umat, dan Simpati Umat dengan total penerima manfaat sejumlah 95.400 orang di seluruh Indonesia. 

Pada program Mitra Umat, BSI memiliki Program Desa BSI dan UMKM BSI dengan total penerima manfaat 1.125 kepala keluarga atau sejumlah 5.940 jiwa. Program kedua yaitu Didik Umat yakni Program Beasiswa Sahabat Indonesia dan Program Bina Santri Indonesia. 

Program itu dikhususkan untuk pelajar setingkat SMP-SMA yang belum berkesempatan melanjutkan ke pendidikan formal namun memiliki minat dalam belajar agama dan menghafal Al Qur’an. Total penerima manfaat kedua program ini adalah 4.540 orang.

Adapun program terakhir yaitu Simpati Umat, terdiri atas Program Bantuan Pangan bagi Ponpes, kelompok disabilitas dan masyarakat dhuafa dengan total penerima manfaat sebanyak 22.000 orang. Ada pula Program Bantuan Langsung Mustahik, yaitu penyaluran pada mustahik 8 asnaf yang membutuhkan bantuan dengan total penerima manfaat sebanyak 15.000 orang. 

“Tahun lalu, kami membayarkan zakat kepada BAZNAS lebih dari Rp122,5 miliar. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan pembayaran zakat BSI pada tahun lalu yang sebesar Rp94 miliar,” ungkap Eko. 

Dari total pembayaran zakat senilai lebih dari Rp122,5 miliar itu, sebesar Rp101,5 miliar diantaranya merupakan zakat yang dikeluarkan dari laba perusahaan. Sementara lebih dari Rp21 miliar lainnya merupakan zakat non perusahaan.   

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan