Yogyakarta bakal memiliki bandara internasional baru. Pemerintah melalui PT Angkasa Pura I (Persero) sedang membangun Bandara Internasional Baru Yogyakarta di Kulon Progo. Bandara udara kelas internasional ini diharapkan akan mendongkrak perekonomian Yogyakarta dalam jangka panjang.
Di tengah kendala pembebasan lahan, pemerintah terus mengejar selesainya Bandara Internasional Yogyakarta Kulon Progo (NYIA). Angkasa Pura I Persero telah menyelesaikan pengosongan lahan tahap II di area Proyek Bandara Baru Yogyakarta di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Selesainya pengosongan lahan berkat kerja sama yang baik dengan Kepolisian, TNI AD, TNI AU dan Satpol PP Kulon Progo," kata Corporate Secretary PT Angkasa Pura I (Persero) Israwadi di Kulon Progo akhir pekan lalu seperti dikutip Antara.
Dia mengatakan kegiatan pengosongan lahan tahap II yang dilaksanakan oleh PT Angkasa Pura I (Persero) Kantor Cabang Yogyakarta merupakan rumah yang sudah tidak berpenghuni dan tanaman yang sudah dikonsignasikan ke Pengadilan Negeri Wates.
Terkait kondisi yang sempat ricuh di sekitar bandara pada Senin (8/1), Israwadi mengatakan tim pengamanan berusaha untuk menjaga warga agar tidak memasuki area pengosongan lahan. Hal tersebut menimbulkan aksi saling dorong antara warga dengan tim pengamanan yang tidak dapat diantisipasi.
Pada proses pengosongan lahan, Angkasa Pura I juga memberikan kesempatan kepada warga yang memohon untuk dapat melakukan panen di pekarangannya. Kemudian, untuk meminimalkan penolakan warga yang terjadi dalam pelaksanaan pengosongan lahan (land clearing), AP I berupaya untuk melakukan komunikasi secara persuasif.
Hal tersebut telah dilaksanakan sejak awal perencanaan proyek bandara baru Yogyakarta, melalui sosialisasi kepada warga. Sementara itu, General Manager (GM) PT Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Adisutjipto Yogyakarta Agus Pandu Purnama mengatakan sehubungan dengan hal yang terjadi pada pelaksanaan pengosongan lahan, dirinya telah berupaya memberikan instruksi kepada tim pengamanan untuk menjaga pengosongan lahan berlangsung secara baik.
"Sejak awal kami telah berupaya untuk berkomunikasi, dengan cara melakukan sosialisasi pembangunan bandara baru Yogyakarta kepada warga, khususnya yang terdampak," kata Agus.
Kelompok masyarakat rentan
Kehadiran bandara NYIA diharapkan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Yogyakarta secara keseluruhan khususnya daerah Kulonprogo. Seperti diketahui, kawasan ini memang mendapat penelitian tertinggi dibandingkan lokasi lain atas kehadiran bandara udara.
Apalagi, kabupaten Kulon Progo termasuk kabupaten dengan angka kemiskinan yang tinggi. Sehingga kehadiran bandara diharapkan bisa mengentaskan kemiskinan.
Bandara NYIA ini diperkirakan memiliki kapasitas sebesar 15 juta penumpang dalam setahun. Angkasa Pura memerkirakan peredaran uang di Yogyakarta mencapai Rp 330 miliar selama sebulan. Hal tersebut didukung dengan peningkatan jumlah peluang usaha dan serapan tenaga kerja baru sebesar 165.000 orang.
Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Kulon Progo optimistis bandara baru akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diharapkan tidak datang langsung dari bandara. Misalnya dengan kehadiran perusahaan-perusahaan, hotel-hotel dan usaha-usaha lain yang bermunculan paska adanya bandara. Keberadaan bandara juga akan menarik investor untuk mengembangkan wilayah tersebut.
Kehadiran bandara juga diyakini mendorong timbulnya industri padat karya seperti sektor jasa. Meski di atas kertas mampu mendongkrak ekonomi daerah, namun kehadiran bandara yang diperkirakan memiliki luas 6-7 kali dari luas Bandara Adisudjipto ini justru memicu kehawatiran dari masyarakat setempat.
Khususnya para petani dan buruh tani yang harus merelakan lahannya dialihfungsikan. Mereka khawatir tidak mendapat kompensasi atas kehilangan mata pencaharian utama karena lahan garapan mereka digunakan untuk pembangunan udara. Kehilangan mata pencarian dan tempat tinggal juga menghantui mereka. Maka, tak heran apabila muncul penolakan dan demonstrasi terkait pembangunan bandara tersebut.
Alasan lain juga keterikatan batin dengan lahan tersebut. Masyarakat yang menolak kehadiran bandara umumnya ingin melestarikan warisan nenek moyang untuk anak cucu mereka.
Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial antara masyarakat desa setempat. Inilah yang menimbulkan konteks kerentanan yang memunculkan guncangan-guncangan ketidakpastian sehingga menimbulkan ketidakpastian akan masa depan.
Kerentanan ini bisa menganggu aset-aset penghidupan warga dalam bentuk sumber daya manusia, sumber daya alam, keuangan, sosial dan infrastruktur. Jika pemerintah tidak mampu mengakomodasi kepentingan kelompok rentan, khususnya warga yang terdampak oleh pembangunan bandara udara di Kulon Progo Yogyakarta, maka timbullah ketimpangan sosial dimana kelompok ini dipaksa menyingkir.
Seyogyanya, pemerintah mesti segera membuat kebijakan sesuai prefensi dan kepentingan dari pelbagai macam komunitas. Agar tidak lagi terjadi protes warga yang dapat menelan korban jiwa.