close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.
Bisnis
Rabu, 23 Maret 2022 16:45

Upaya melindungi kepemilikan pendiri startup agar tak terdepak

Pendiri startup acap kali tersingkir investor besar yang menanamkan modal.
swipe

Pada 15 Juli 2006 lalu, Twitter terbentuk dan resmi diperkenalkan sebagai perusahaan mandiri pada April 2007. Jack Dorsey yang merupakan penggagas media sosial dengan lambang burung berwarna biru ini pun lantas ditunjuk sebagai CEO pertamanya. 

Pada awal perkembangannya, semua berjalan lancer. Popularitas yang kian melesat, praktis membuat Twitter menjadi alat komunikasi yang efisien untuk berbagi informasi secara online. 

Namun, memasuki tahun 2008, Twitter acap kali mengalami down server. Karena hal tersebut, dewan perusahaan kemudian memecat Dorsey dan menggantinya dengan Evan Williams. Pemecatan pendiri media sosial yang memiliki pengguna aktif harian mencapai 217 juta orang di kuartal-IV 2021 ini, jelas membuat masyarakat geger. 

Meskipun, pemecatan mantan karyawan Odeo ini dikabarkan juga dilatarbelakangi dengan gaya kepemimpinannya yang toxic. Dewan perusahaan mengklaim, saat memimpin, Dorsey justru lebih banyak menghabiskan waktu kerjanya untuk menjalani hobi melukis dan menjahit. 

Selain itu, CEO pertama itu juga mendorong budaya mabuk-mabukan dan pesta di lingkungan kerja Twitter. Di saat yang sama, Dorsey pun juga kerap berselisih dengan investor Twitter Evan Williams.

Di tangan Dorsey yang memiliki kekayaan bersih US$12,2 miliar ini, Twitter tidak hanya mengalami peningkatan pengguna tetapi juga dua kali putaran investasi dari sejumlah pemodal ventura. Sebaliknya, saat CEO dijabat oleh Williams, Twitter mengalami kemunduran kinerja. 

Ilustrasi Unsplash.com.
Akhirnya, pada 2015 Dorsey pun kembali menjabat sebagai CEO Twitter hingga November 2021, menggantikan Williams yang mundur.

Kasus didepaknya pendiri perusahaan rintisan tidak hanya dialami Dorsey saja. Beberapa perusahaan rintisan dunia pun mengalami hal yang sama. Sebut saja Travis Kanalick yang dilengserkan dari Uber atau hengkangnya pendiri serta CEO Whatsapp Jan Koum karena terlibat pertikaian dengan induk perusahaannya, Facebook.

Bagi beberapa orang mendirikan startup bukanlah hal mudah. Sebaliknya, untuk mendirikan perusahaan rintisan dibutuhkan proses panjang dengan banyak hal yang harus dipertaruhkan. Bahkan, tidak sedikit orang yang mempertaruhkan kekayaan mereka sendiri untuk membuat sebuah startup

Belum lagi, demi mengembangkan perusahaan mereka, posisi para pendiri startup harus siap terdelusi alias berkurang oleh investor. Karena bagaimanapun, untuk berkembang startup membutuhkan guyuran dana dari para investor yang biasanya merupakan pemodal ventura.
 
“Mau tidak mau mereka harus milih, perusahaan milik mereka sendiri tapi enggak berkembang-berkembang. Atau mencari investor, dengan risiko kepemilikan mereka terdelusi,” kata Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang, saat dihubungi Alinea.id, Senin (21/3). 

Bahkan untuk pengembangan startup, investor adalah satu hal yang sangat dibutuhkan. Meskipun pada praktiknya, biasanya sudah ada investor awal alias angel investor yang sudah membersamai pendirian perusahaan rintisan. 

Setelah beberapa kali putaran pendanaan, bukan tidak mungkin kepemilikan pendiri perusahaan rintisan akan terus tergerus. Tidak jarang pula, pendiri pun pada akhirnya hanya menjadi pemilik saham minoritas saja. Sedangkan saham mayoritas akan dimiliki oleh para investor, baik angel investor, maupun investor yang datang saat terjadinya pendanaan.

Ilustrasi Pixabay.com.

Porsi tetap lebih besar

Namun, ada pula startup yang memposisikan investor awal dengan porsi kepemilikan saham lebih besar, ketimbang investor-investor yang masuk belakangan. Hal ini dapat dilihat dari pembagian saham platform e-grocery yang baru diluncurkan awal Maret ini, AlloFresh. 

AlloFresh merupakan perusahaan patungan antara PT Trans Retail Indonesia, Bukalapak dan perusahaan ekuitas swasta Growtheum Capital Partners. Dalam pembagian sahamnya, perusahaan yang memulai usaha dengan modal Rp1 triliun ini membagikan saham kepada Trans Retail Indonesia sebesar 55%, Bukalapak 35% dan Growtheum 10%.

“Setoran modal untuk investasi AlloFresh berasal dari kas internal perseroan,” jelas Corporate Secretary Bukalapak Perdana A Saputro, dalam keterangannya, Kamis (3/3).

Sementara itu, dengan porsi terbesar kepemilikan saham ada pada investor, suara terbanyak bukan lagi ada pada pendiri, melainkan pada siapa yang memegang mayoritas saham. Situasi ini dapat menimbulkan risiko, seperti dengan pengambilan keputusan yang tidak sesuai dengan visi dan misi awal perusahaan atau dalam hal ini adalah idealisme pendiri startup. 

“Jadi akan selalu ada pertarungan antara idealisme pendiri dan kepentingan investasi. Itu enggak bisa dihindari,” imbuh Dianta.

Lebih parahnya lagi, hal yang dialami oleh pendiri Twitter, Uber dan Whatsapp dapat terjadi lagi. Meski bagaimanapun, untuk mendepak pendiri dari perusahaan yang dirintisnya tetap membutuhkan persetujuan dari seluruh manajamen perusahaan. 

“Apapun sebenarnya bisa terjadi, tapi sebagai top level atau pengambil keputusan sebuah manajemen besar, tentu mereka juga sudah mempertimbangkan banyak hal serta belajar dari apapun yang pernah terjadi. Kami yakin setiap Langkah tersebut sudah dipertimbangkan,” jelas Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (Indonesia E-commerce Assotiation/idEA) Bima Laga kepada Alinea.id, Selasa (22/3).

Oleh karena itu, untuk menghindari berbagai kemungkinan buruk yang mungkin terjadi, ada baiknya manajemen perusahaan, baik pendiri maupun jajaran direksi lainnya selalu menjalankan komunikasi yang baik dengan para investor. Dus, kedua belah pihak dapat merencanakan bisnis secara bersama-sama. 

Terlepas dari hal tersebut, Bima mengakui, untuk melakukan penjualan saham harus melalui proses yang tidak sebentar dan tidak mudah juga. Karenanya, saat pendiri atau orang-orang yang turut berkontribusi dalam pengembangan startup memutuskan untuk melepaskan saham mereka, ada banyak klausa dalam perjanjian jual beli saham. 

“Masing-masing pihak yang menjual dan membeli pasti juga memiliki perjanjian yang sangat detail dan disepakati bersama. Dan itu ranah private mereka,” tegasnya. 

Perjanjian pemegang saham atau shareholders agreement (SHA), lanjut Bima, biasanya akan dilakukan oleh manajemen perusahaan rintisan dan para investor. Langkah ini bahkan dilaksanakan sebelum manajemen melepaskan sebagian kepemilikan perusahaan kepada para pemberi modal. 

Sehingga, tak heran jika saat ada investor baru yang datang untuk menyuntikkan modalnya, perusahaan akan membuat perjanjian pemegang saham baru. Pembuatan SHA ini pun dilakukan juga oleh PT Cashlez Worldwide Indonesia Tbk. 

Mengutip Laporan Kepemilikan atau Setiap Perubahan Kepemilikan Saham Perusahaan Terbuka yang dirilis Bursa Efek Indonesia (BEI), jumlah saham yang dimiliki pendiri Cashlez TeeTeddy Setiawan per 10 Maret 2022 adalah sebesar 8,3%. Setelah dirinya melepaskan 10 juta lembar saham pada Kamis (10/3) lalu. 

Ilustrasi Unsplash.com.

Selanjutnya, saham dikuasai oleh Andri Wijono Sutiono dengan kepemilikan saham sebanyak 11,23% setelah sebelumnya melakukan pembelian 160,65 juta lembar saham. Kemudian Steven Samudera sebanyak 8,8% setelah menjual 126 juta lembar sahamnya. 

Lalu ada Hasim Sutiono, pemilik PT Bara Alam Utama sebanyak 14,21% dan PT Mandiri Capital sebanyak 8,23%. Sementara itu, kepemilikan saham Sumitomo Corporation pada CASH menyusut menjadi 5,67%, setelah perusahaan perdagangan umum ini menjual kepemilikannya pada 15 Oktober 2021.

Pakai hak suara multipel

Selain dengan shareholder agreement, perusahaan rintisan juga dapat menghindari potensi konflik kepentingan yang dapat terjadi dengan menerapkan saham dengan hak suara multipel (SDHSM) alias multiple voting share (MVS). Salah satu perusahaan rintisan yang menerapkan SHSM ialah GoTo Group yang akan segera melantai di bursa. 

Berdasarkan prospektus awal GoTo, perusahaan kongsi Gojek dan Tokopedia ini membagi pemegang saham ke dalam dua struktur dual-class voting, yakni pemegang saham dengan hak suara multipel dan non SDHSM. Beberapa pemegang saham yang termasuk ke dalam pemegang saham SDHSM antara lain, CEO GoTo Andre Soelistyo, Direktur GoTo Kevin Bryan Aluwi, Komisaris GoTO Wiliam Tanuwijaya, Direktur GoTo Melissa Siska Juminto, dan PT Saham Anak Bangsa.
 
Sedangkan untuk pemegang saham non-SDHSM terdiri dari, Komisaris Utama GoTo Garibaldi Thohir, Goto Peopleverse Fund, SVF GT Subco (Singapore) Pte Ltd, Taobao China Holding Limited, dan lain-lain dengan kepemilikan kurang dari 5%. 

Dual-class voting ini mengkonsentrasikan hak suara pada pemegang saham seri B yang dapat membatasi kemampuan pemegang saham seri A untuk memengaruhi keputusan aksi korporasi emiten,” jelas Pengamat Pasar Modal Lucky Bayu Purnomo, kepada Alinea.id, Senin (21/3). 

Sampai dengan tanggal diterbitkannya prospektus GoTo, rasio hak suara saham seri B terhadap saham seri A adalah 30 banding satu (30:1). Namun, terkait saham seri A dan B ini, GoTo memastikan bahkan kedua saham tersebut memiliki hak yang sama dan sederajat. 

Perbedaan Struktur Pemegang Saham GoTo Sebelum IPO

Pemegang Saham

Seri Saham (A&B1)

Kepemilikan (%)

Hak Suara (%)

Pemegang SDHSM*

A&B1

6,29

59,17

  1. Andre Soelistyo

A

0,28

0,12

 

B1

0,59

7,77

  1. Kevin Bryan Aluwi

A

0,51

0,22

 

B1

0,29

3,78

  1. Willian Tanuwijaya

A

0,73

0,32

 

B1

1,10

14,52

  1. Melissa Siska Juminto

A

0,35

0,15

 

B1

0,10

1,25

  1. PT Saham Anak Bangsa

B1

2,35

31,02

Pemegang Saham non SDHSM

A

92,81

40,83

  1. Garibaldi Thohir

A

0,09

0,04

  1. Goto Peopleverse Fund

A

9,35

4,11

  1. SVF GT Subco (Singapore) Pte. Ltd.

A

9,02

3,97

  1. Taobao China Holding Limited

A

9,16

4,03

  1. Lain-lain (Kepemilikan saham kurang dari 5%)

A

65,20

28,68

Saham Treasuri

A

0,90

-

Termasuk di dalamnya adalah terkait hak atas pembagian dividen, hak untuk mengeluarkan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), hak atas pembagian saham bonus, dan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD). Pembedanya hanyalah hak suara yang dimiliki oleh para pemegang saham. 

Menurut Lucky, SDHSM merupakan langkah tepat bagi startup. Apalagi selama ini perusahaan rintisan selalu identik dengan investor beragam yang memiliki saham lebih besar ketimbang pendirinya. Belum lagi, sebagai perusahaan teknologi, startup juga memiliki gerak yang dinamis dan cepat. Sehingga keputusan manajemen perusahaan maupun investor akan mudah berganti, tergantung dengan situasi terkini yang tengah terjadi. 

“MVS adalah untuk stabilisasi harga, agar investor diuntungkan dan investor di pasar saham juga memperoleh stabilitas harga pada perusahaannya. Karena perusahaannya itu selalu ada inovasi dan pertumbuhan,” katanya.

Di saat yang sama, SDHSM juga meminimalkan potensi konflik kepentingan yang bisa dialami startup karena saham lebih besar dimiliki investor, ketimbang pendiri. Sebab, dengan aturan ini pemilik hak atas saham, baik investor maupun manajemen perusahaan tidak diperbolehkan untuk melakukan suatu tindakan atau upaya untuk menjual saham dalam waktu singkat. 

“Singkatnya baik itu (investor) asing atau domestik tidak menjual dalam satu waktu secara serta merta, secara sepihak,” imbuh dia.

Langkah ini pun telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 22/POJK.04/2021 tentang Penerapan Klasifikasi Saham Dengan Hak Suara Multipel oleh Emiten dengan Inovasi dan Tingkat Pertumbuhan Tinggi yang melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas Berupa Saham. Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo menjelaskan, POJK ini mengatur mengenai penerapan SDHSM.

SDHSM sendiri merupakan saham yang memberikan lebih dari satu hak suara kepada pemegang saham yang memenuhi persyaratan tertentu. Adapun tujuan dari penerapan ini ialah untuk melindungi visi dan misi perusahaan. 

“Sesuai dengan tujuan para pendiri dalam mengembangkan kegiatan usaha yang dijalankan perusahaan,” ungkap Anto, dalam keterangannya kepada Alinea.id, belum lama ini. 

Namun demikian, SDHSM hanya bisa dilakukan dengan tetap memperhatikan pengaturan tentang perlindungan saham bagi pemegang saham publik. Misalnya, jangka waktu penerapan SDHSM paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang satu kali dengan jangka waktu paling lama 10 tahun dengan persetujuan Pemegang Saham Independen dalam RUPS.

Setiap pemegang Saham Dengan Hak Suara Multipel dilarang untuk mengalihkan sebagian atau seluruh SDHSM yang dimilikinya selama dua tahun setelah Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif. 

Selanjutnya, SDHSM memiliki hak suara yang setara dengan saham biasa pada mata acara tertentu dalam RUPS. Terakhir, dalam setiap penyelenggaraan RUPS, jumlah saham biasa yang hadir dalam RUPS paling rendah mewakili 1/20 (satu per dua puluh) dari jumlah seluruh hak suara dari saham biasa yang dimiliki pemegang saham selain pemegang SDHSM.

“Singkatnya, aturan ini dibuat agar para founder di startup tetap punya hak suara tinggi meskipun cuma mengantongi saham minoritas,” kata Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (22/3).

SDHSM pun pada dasarnya sudah banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan rintisan di berbagai belahan dunia. Seperti misalnya di Amerika Serikat, Singapura, Hong Kong, Jepang, Australia, Shanghai, Kanada, dan sejumlah bursa di Eropa.

Sementara itu, ihwal kepemilikan saham mayoritas oleh investor baik Nyoman maupun Lucky berpendapat, bahwa hal tersebut bukan masalah. Tapi, yang harus diwaspadai adalah motif dari para pemegang saham, apakah nantinya pihak-pihak tertentu akan melakukan motif buruk.

“Seperti untuk melakukan spekulasi. Karena perusahaan teknologi yang bersifat volatile atau dinamis, maka hal tersebut mungkin terjadi,” ujar Lucky. 

Di sisi lain, bagi para pemilik perusahaan rintisan, bila tak ingin terusir dari perusahaan yang dibangunnya, dia harus membuat perjanjian dengan para investor bahwa pihaknya harus tetap berada di perusahaan. 

“Karena dia goodwill misalkan, atau orang yang mendirikan, atau dia yang memang mengembangkan perusahaan dan memiliki hak cipta,” imbuhnya.

Namun, terlepas dari hal tersebut, pendiri perusahaan harus sadar sepenuhnya, bahwa saat dia menerima pendanaan dari investor, maka berkurangnya kepemilikan atas saham perusahaan sudah tentu menjadi konsekuensi yang harus dihadapi. 

“Tapi kami-kami investor biasanya malas untuk ganti manajemen. Soalnya yang paham bisnisnya kan founders bukan investor, kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO) Eddi Danusaputro, kepada Alinea.id, Selasa (22/3).

Bahkan, beberapa pendiri perusahaan rintisan juga sudah membuktikan diri dengan masih menjadi bagian tak terpisahkan dari bisnis yang sudah dibangunnya.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan