Memacu deru industri otomotif nasional di era 4.0
Industri otomotif di Indonesia dimulai tahun 1927, ketika NV General Motors Java Handel Maatschappij (GM) mendirikan pabrik perakitan Chevrolet di Tanjung Priok. Sejak itu, industri otomotif tanah air berkembang dengan kehadiran produsen-produsen asal Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.
“Masuknya Jepang kemudian membuka jalan pabrik-pabrik mobil asal negara itu di Indonesia. Yang pertama masuk adalah Toyota, kemudian Honda, Suzuki, dan Mitsubishi,” kata penulis buku Industri Otomotif untuk Negeri: Menjadi Pemain Utama Era Mobil Listrik Agus Tjahajana Wirakusumah, kepada Alinea.id, Jumat (7/1) lalu.
Meski pendudukan Jepang di Indonesia tak berlangsung lama, namun jenama negeri Sakura itu masih mendominasi industri otomotif nasional. Setelah Soekarno dan Hatta memproklamirkan Indonesia dan dilanjutkan dengan adanya Konferensi Meja Bundar di tahun 1949, pemerintah pun lantas menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, termasuk GM.
Salah satu bentuk nasionalisasi di dunia industri otomotif adalah pendirian PT ISC (Indonesia Service Company) pada tahun 1950 sebagai perusahaan perakit mobil pertama di Indonesia pascakemerdekaan. Pada tahun 1970-an, GM hidup kembali ketika diambil alih Astra untuk merakit truk-truk Chevrolet.
Tak lama berselang, pemerintah mengeluarkan regulasi yang mengharuskan perusahaan untuk mendirikan agen tunggal pemegang merek (ATPM) sebelum memasarkan mobil di Indonesia. Aturan itu langsung disambut Astra dengan mendirikan PT Toyota Astra Motor (TAM) sebagai ATPM Toyota di Indonesia. Pabrik tersebut kemudian berganti nama menjadi Gaya Motor (GM), dan sejak itu mulai memproduksi mobil-mobil lansiran pabrikan berlogo T.
“Setelah itu, Indonesia mencoba untuk membuat mobil nasional (mobnas), beberapa merek mobil yang sempat dibuat ada Timor, Esemka, hingga mobil mikro nasional seperti Ammdes,” imbuhnya.
Sayangnya, lanjut Agus, pengembangan mobnas tak berjalan semudah yang direncanakan. Meski pada 1974 pemerintah telah menerbitkan peraturan yang menyetop impor mobil utuh (completely-built up/CBU), dengan maksud mendorong industri mobnas.
Namun demikian, impor CBU masih bisa dilakukan oleh ATPM yang sudah sanggup memproduksi suku cadang. Pada saat itu, mobil pabrikan Jepang tetap mendominasi.
Setelah reformasi yang berbarengan pula dengan berlangsungnya era pasar bebas global, pemerintah pun menggulirkan Paket Kebijakan Industri Otomotif 1999. Tujuannya, menggenjot ekspor produk-produk otomotif sekaligus juga membangkitkan kembali pasar domestik.
Dengan kebijakan itu, penjualan tahunan naik dari 94.000 unit mobil pada 1999 menjadi 301.000 unit di tahun 2000. Penjualan terus meningkat setiap tahunnya, bahkan sempat mencatatkan rekornya pada 2015, setelah tujuh tahun terjadinya krisis keuangan. Di mana penjualan mobil di tahun 2005 mencapai 532.000 unit.
"Tapi sempat turun penjualannya pada 2006, karena di tahun 2005 pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga minyak (BBM) sampai 120%," ungkap Agus.
Namun, pria yang juga menjabat sebagai Staf Khusus (Stafsus) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini menilai penurunan tidak berlangsung lama. Terbukti penjualan mobil kembali meningkat di tahun selanjutnya.
Bahkan, pada 2008 industri otomotif kembali mencatatkan rekornya, dengan memasarkan 603.774 unit di pasar domestik, mengekspor 100.982 unit dan mengimpor 72.646 unit. Hal ini terjadi bahkan saat krisis keuangan global ikut melanda tanah air.
Kekuatan di ASEAN
Kinerja industri otomotif nasional terus melaju kencang, kendati pemerintah sudah mencabut Paket Kebijakan Industri Otomotif 1999 dan menggantinya dengan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 59/M-IND/PER/5/2010 tentang Industri Kendaraan Bermotor.
Dengan meningkatnya kinerja ekspor dan impor produk otomotif, serta kian ketatnya persaingan mobil domestik, tak heran jika kemudian Indonesia mampu tampil sebagai salah satu kekuatan otomotif ASEAN, selain Thailand dan Malaysia.
Pada tahun 2013, saat era industri otomotif 3.0 usai dan digantikan dengan era industri otomotif 4.0, pemerintah lantas menelurkan kebijakan Program Produksi yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41/2013. Di dalam kebijakan tersebut, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian berfokus pada produksi kendaraan hemat energi dan harga terjangkau.
Selain itu, ada juga program pengembangan kendaraan bermotor dengan emisi rendah karbon yang menggunakan teknologi mesin (engine). Sebut saja, advanced petrol & diesel engine, biofuel engine, dual fuel engine (petrol engine dan gas engine), hybrid engine, serta mesin yang dikhususkan untuk CNG/LGP.
“Sebagai bentuk upaya mendorong industri tumbuh dan berkembang, pemerintah telah meluncurkan peta jalan Making Indonesia 4.0. Salah satu dari 10 agenda program prioritas nasional dalam Making Indonesia 4.0 adalah peningkatan kualitas SDM (sumber daya manusia),” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dalam Musyawarah Nasional (Munas) Forum Lembaga Mahasiswa Perindustrian Indonesia (FLMPI) ke XXVI Politeknik AKA Bogor, Selasa (11/1).
Seperti yang telah diketahui, ada tujuh sektor industri yang menjadi program prioritas nasional dalam Making Indonesia 4.0, yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, kimia, elektronika, farmasi, serta alat kesehatan. Di dalam program ini, Presiden Joko Widodo menargetkan Indonesia untuk menjadi pemain global dan ekspor hub kendaraan bermotor, baik untuk kendaraan berbasis bahan bakar minyak (internal combustion engine/ICE) maupun kendaraan listrik (electical vehicle/EV).
Dari sisi kendaraan konvensional, Indonesia sudah mampu menjadi salah satu produsen mobil terbesar di ASEAN. Berdasarkan data, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), produksi mobil hingga November 2021 telah mencapai 1.003.570 unit. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan produksi mobil di tahun sebelumnya yang hanya mencapai 690.150 unit.
Sementara dari sisi ekspor, pada pada periode Januari-Desember tahun lalu, Indonesia mampu mengapalkan CBU hingga 294.639 unit atau naik sebesar 62.464 unit dari tahun 2020. Sedang ekspor secara terurai (completely knocked down/CKD) tercatat mencapai 91.964 unit, naik 62,5% secara tahunan (year on year/yoy) dari 56.586 unit. Sementara untuk ekspor komponen mobil sepanjang 2021 tercatat sebanyak 85.679.609 pis, naik 40,1% dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 61.177.323 pis.
Digempur pandemi
Namun, meski derunya semakin kencang, industri otomotif nasional masih tetap belum bisa menyaingi Thailand, terutama dari sisi produksi dan ekspor kendaraan bermotor. Pun dengan rasio kepemilikian mobil Indonesia yang masih tertinggal dari negara-negara tetangga.
Data Gaikindo mencatat dengan penduduk sebanyak 270 juta, rasio kepemilikan kendaraan nasional hanya mencapai 99 mobil per 1.000 penduduk. Sedangkan Thailand yang memiliki penduduk tak sampai setengah dari total penduduk Indonesia, rasio kepemilikan mobilnya ialah 275 mobil per 1.000 penduduk.
“Bahkan di awal pandemi, penjualan domestik juga sempat terlempar jauh. Dari yang sebelumnya Indonesia ada di peringkat pertama di ASEAN, menjadi peringkat lima. Di bawah Filipina,” ungkap Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara, kepada Alinea.id, belum lama ini.
Menurut data ASEAN Automotive Federation, pada Mei 2020 Indonesia hanya mampu menjual 3.551 unit. Sementara pada bulan yang sama, produksi mobil Thailand mencapai 40.400 unit, Malaysia 23 ribu unit, Vietnam 19 ribu unit, dan Filipina 4.788 unit. Dalam periode Januari-Juli, catatan total penjualan mobil Indonesia berada di posisi kedua di ASEAN dengan hasil 286 ribu unit. Indonesia kalah dari Thailand di posisi satu yang menjual 387 ribu unit.
Kukuh bilang, telatnya pengendalian virus SARS-CoV-2 di awal pagebluk menjadi musabab anjloknya kinerja penjualan mobil di tahun 2020. Begitu pun dengan penjualan sepeda motor di sepanjang 2020 yang ikut terkontraksi, bahkan menjadi yang terburuk sejak 2017 lalu.
“Penjualan terendah ada di Mei 2020, itu hanya 21.851 unit. setelah itu di bulan Juni sampai September ada peningkatan, sebelum turun lagi Oktober sampai Desember," ungkap Ketua Bidang Komersial Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Sigit Kumala, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (13/1).
Beruntungnya, penjualan sepeda motor di sepanjang tahun lalu kembali meningkat, seiring dengan mulai menggeliatnya ekonomi nasional. Pada 2021, penjualan kendaraan roda dua mencapai 5.057.516 unit, dengan volume ekspor sebanyak 803.931 unit.
Pun dengan penjualan mobil yang juga mengalami lonjakan di tahun sebelumnya. Sepanjang 2021, penjualan mobil nasional secara whole sales (dari pabrik ke dealer) tumbuh 66,6% secara tahunan (yoy) dari 532.407 unit menjadi 887.200 unit. Sedang dari sisi penjualan retail tercatat meningkat 49,2% yoy dari 578.762 unit di tahun 2020 menjadi 863.359 unit.
Peningkatan, kata Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiarto didorong oleh upaya pemerintah untuk menyelamatkan industri otomotif melalui pemberian insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP). Namun, meski meningkat jumlah penjualan di 2021 masih belum bisa menyamai kinerja saat sebelum pandemi. Seperti pada 2019 jumlah penjualan secara whole sales 1.030.126 unit dan penjualan retail 1.042.994 unit.
“Pembebasan PPnBM sangat membantu menaikkan angka penjualan dan produksi. Tapi di 2022 kami proyeksikan penjualan masih di sekitar 900.000 unit karena belum ada kepastian pemerintah akan melanjutkan pemberian stimulus PPnBM,” ujar Jongkie, kepada Alinea.id, Rabu (11/1).
Hemat energi dan ramah lingkungan
Sementara itu, untuk menggeliatkan kembali industri otomotif pada Maret 2021 lalu pemerintah telah mengucurkan insentif PPnBM. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20 Tahun 2021, pajak atas barang mewah ini diberikan untuk mobil penumpang baru berukuran 1.500 cc dengan kandungan lokal mencapai 60% hanya berlaku hingga Mei 2021.
Periode selanjutnya, Juni hingga Agustus 2021, pembelian mobil akan diberikan diskon PPnBM sebesar 50%. Kemudian diskon diberikan sebesar 25% untuk periode Oktober hingga Desember 2021. Dengan pertimbangan untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional, pemerintah juga memutuskan untuk memperpanjang masa diskon PPnBM sebesar 100%.
Di saat yang sama, pemerintah juga terus mengupayakan keberlangsungan program Making Indonesia 4.0 yang digagas Presiden Joko Widodo sejak 2018 lalu. Hal ini dilakukan dengan mengakselerasi transformasi digital dan pemanfaatan teknologi teraktual untuk mengembangkan kendaraan hemat energi dan ramah lingkungan.
Dari sisi otomotif, Indonesia juga sudah siap memasuki era transportasi nol emisi melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Kebijakan ini juga didukung Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2021, yang menyebutkan bahwa kendaraan dengan teknologi nol emisi seperti BEV dan Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV) yang produksi di dalam negeri, akan diberikan tarif PPnBM sebesar 0%.
Dengan berpangku pada program Making Indonesia 4.0, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (Ilmate) Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier yakin, posisi Indonesia sebagai salah satu pemain otomotif terbesar di ASEAN akan semakin mantab. Bahkan, menurutnya Indonesia masih dapat berkembang lagi untuk menjadi ekspor hub kendaraan bermotor, baik konvensional maupun kendaraan elektrik.
“Pertumbuhan kelas menengah yang terus meningkat, kemudian adanya bonus demografi, penetrasi teknologi digital, serta peningkatan tren penggunaan energi baru dan terbarukan, akan menjadi katalisator transformasi industri kendaraan bermotor nasional,” ujarnya saat dihubungi Alinea.id, Jumat (14/1).
Sementara itu, Pakar Otomotif asal Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus mengakui bahwa industri otomotif telah berkembang pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Namun, ihwal implementasi Program Making Indonesia 4.0 di sektor otomotif menurutnya masih jauh dari kata optimal.
Demi mencapai tujuan program Making Indonesia 4.0, yakni meningkatkan keunggulan kompetitif industri dalam negeri untuk pasar lokal, regional, dan global ada lima kunci yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, transformasi menuju platform digital seperti Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), smart human capital, teknologi robotik serta teknologi 3D Printing.
Lalu, ada peta jalan yang jelas penahapannya menuju ke pembangunan organisasi yang lincah, teknologi yang berorientasi pada keberkelanjutan, dan energi bersih, baru dan terbarukan. Ada pula manajemen rantai pasokan yang handal, peningkatan kapasitas manusia, peningkatan produk dan layanan, peningkatan digitalisasi secara agresif, dan pengembangan pabrik yang cerdas.
Menurutnya, hal itu dapat dicapai melalui pembentukan platform dan infrastruktur supply chain yang lebih efisien. "Tujuannya untuk mendorong secara signifikan produktivitas industri otomotif dengan membangun kemampuan inovasi melalui penggenjotan kapasitas Research and Development (R&D) local,” urainya, kepada Alinea.id, Jumat (14/1).
Namun, untuk mencapai tujuan tersebut perlu ada kepastian dan peta jalan peningkatan kesiapan sumber daya manusia (SDM). Dus, dapat mencapai tingkat kompetensi yang tinggi dan sesuai dengan pertumbuhan teknologi produksi yang baru, didukung oleh teknologi robotik.
Kemudian, perlu juga adanya kejelasan roadmap peningkatan produksi bahan baku dan komponen-komponen kendaraan yang diproduksi di dalam negeri. Selanjutnya, perlu ada peta jalan yang berkaitan dengan pengurangan sebanyak mungkin impor bahan mentah, bahan baku hingga komponen tier-4, tier-2 serta tier-2 yang dibutuhkan untuk membangun produk-produk otomotif. Intinya, bergerak menuju circular ecosystem.
Yannes melanjutkan, saat ini pemerintah memang telah berupaya untuk menyiapkan SDM unggul di sektor otomotif hingga meningkatkan produksi bahan baku dan komponen kendaraan. Namun, segala cara tersebut nampaknya masih dilakukan dalam tahap awal saja.
Seperti pengembangan kawasan-kawasan industri terpadu baru dengan jalan yang terkoneksi langsung dengan industri-industri pendukungnya dalam sistem close-loop hingga ke titik kesiapan jalan. Selanjutnya, untuk peningkatan volume dan kecepatan rantai pasok skala masif antar pulau terutama untuk ekspor, pemerintah pun telah membangun pelabuhan-pelabuhan samudera.
Sementara di bidang teknologi, saat ini Indonesia baru akan memulai persiapan migrasi ke teknologi telekomunikasi 5G untuk persiapan migrasi ke teknologi kunci yang berbasis digital.
“Soal energi untuk penggerak mesin-mesin industri juga belum mampu beranjak jauh ke teknologi bersih, baru dan terbarukan. Masih perlu investasi besar dan waktu untuk itu,” ujarnya.
Adapun soal SDM, sejauh ini industri otomotif masih lebih berorientasi pada penggunaan padat karya, baru segelintir pemain otomotif yang bermigrasi ke sistem manufaktur pada teknologi. Selain itu, di saat yang sama Yannes juga menilai bahwa pemerintah perlu menggenjot kolaborasi pethahelix dan menghapus segala regulasi yang mungkin menjadi hambatan.
“Ini tidak bisa dilakukan dengan model kerja antar kementerian yang terpisah-pisah implementasinya. Semua harus saling bersinergi dan benar-benar berorientasi pada satu tujuan besar,” jelas dia.
Terlebih lagi, pemerintah juga harus menumbuhkembangkan potensi-potensi industri lokal untuk pasar lokal dalam sistem close-loop agar daya kompetitif industri otomotif lokal dapat cepat tumbuh dari skala lokal lalu ke internasional. Sebab, sejauh ini industri otomotif, utamanya pabrik-pabrik kendaraan yang siap untuk mengimplementasikan program Making Indonesia 4.0 masih terbatas pada jenama-jenama internasional yang ada di Indonesia saja.
Seperti di antaranya Hyundai dan LG yang berkolaborasi untuk mengembangkan industri baterai dan kendaraan listrik mereka melalui pembangunan pabriknya di Indonesia. "Toyota dari Jepang saat ini sedang bersungguh-sungguh mempersiapkan diri untuk bermigrasi ke industri 4.0. Kemudian ada juga dari Wuling dan DFSK,” kata Yannes.