Memarjinalkan Papua lewat aturan baru rumah subsidi
“Tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi. Seluas tanah sebanyak madu adalah harta harapan.”
Penggalan lirik lagu “Tanah Papua” karya Edo Kondologit secara sempurna menggambarkan betapa kayanya tanah Papua. Tetapi jika menoleh realitanya, betapa tingkat kesejahteraan masyarakat Papua tidaklah pernah sebanding dengan kekayaannya.
Keistimewaan Papua yang selalu digembar-gemborkan pemerintah tidaklah pernah berarti apa-apa bagi tanah mutiara hitam ini. Faktanya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2020, tingkat kemiskinan di Papua masih menjadi yang tertinggi dibandingkan provinsi-provinsi lainnya.
Sebanyak 911 ribu orang lebih atau 26,64% dari total penduduk Papua masih hidup dalam kemiskinan. Angka ini meningkat 0,09% dibandingkan September 2019 yang berada pada level 26,55%.
Tingkat kemiskinan tertinggi juga ditempati Papua Barat, dengan persentase 21,37% dari total penduduk. Angka ini jelas membuktikan bahwa janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada kampanye presiden 2014 untuk membangun Indonesia dari wilayah terpinggir belum memperlihatkan hasil nyata.
Buktinya, sejak September 2014 hingga sekarang, penurunan jumlah orang miskin di tanah Papua tidak bergerak signifikan. Penurunannya hanya 1,16% dari angka 28,40%. Padahal, sudah lebih dari satu periode berlalu sejak Jokowi menjabat sebagai presiden pada Oktober 2014.
Peneliti SMERU Research Institute Harry Seldadyo menyebut, minimnya minat para pemangku kebijakan mengenai isu-isu sosial dan budaya di Papua membuat persoalan kemiskinan di tanah ini sulit untuk diselesaikan. Ada persoalan-persoalan sosial, geografis dan demografis di provinsi Papua yang tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang pusat.
“Harus diakui membangun Papua mahal. Tapi harus dilakukan atas dasar undang-undang dan keadilan,” tutur Harry saat berbincang dengan Alinea.id pekan lalu.
Aturan rumah subsidi
Implikasi dari keengganan pemerintah dalam melakukan pendekatan sosial berbasis data ini terlihat dari lahirnya kebijakan-kebijakan yang kerap tidak memihak kepada Papua. Aturan terbaru yang dianggap telah memarjinalkan masyarakat Papua dan Papua Barat adalah Keputusan Menteri (Kepmen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 242/KPTS/M/2020 tentang rumah subsidi.
Beleid itu menjelaskan batas maksimum penghasilan penerima subsidi yang dipatok Rp8 juta take home pay (penghasilan utuh yang didapat pekerja). Aturan tersebut sekaligus mengganti Kepmen sebelumnya nomor 552/KPTS/M/2016 yang mengatur batas penghasilan penerima subsidi Rp4 juta untuk gaji pokok.
Namun dalam perjalanannya, aturan baru ini menuai banyak protes dari asosiasi properti maupun masyarakat di tanah Papua. Ketua Umum Dewan Perwakilan Pusat (DPP) Real Estate Indonesia (REI) Totok Lusida menilai, aturan baru rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) ini semakin mempersempit ruang bagi rakyat kecil untuk memiliki rumah.
Pasalnya, aturan tersebut mewajibkan calon pembeli rumah untuk melampirkan penghasilan bulanan keluarga atau suami-istri. Artinya, jika suami-istri bekerja maka penghasilan keduanya harus dilampirkan dalam dokumen persyaratan pembelian rumah.
Aturan ini tidak dapat diaplikasikan ke seluruh daerah, sebab tingkat penghasilan di beberapa daerah berbeda-beda. Di Batam contohnya, Upah Minimum Regional (UMR) diatur Rp4,1 juta. Maka jika suami-istri bekerja dengan gaji setara UMR tersebut, penghasilan mereka otomatis akan melebihi batas maksimum yang diatur dalam Kepmen baru tersebut.
Belum lagi jika calon penerima subsidi ini adalah seorang Aparatur Negeri Sipil (ASN) yang punya tunjangan-tunjangan khusus. Mulai dari tunjangan suami-istri dengan besaran 5% dari gaji pokok, tunjangan anak (2% dari gaji pokok), tunjangan makan (Rp35.000-Rp41.000 per hari), dan tunjangan jabatan (Rp350.000-Rp5,5 juta). Begitu juga dengan hak berupa tunjangan kinerja yang besarannya berkisar Rp1,9 juta-Rp99 juta.
Kasus ASN kesulitan membeli rumah ini banyak terjadi di wilayah Papua dan Papua Barat. Di mana ASN di wilayah ini juga punya tunjangan tambahan, yakni tunjangan penghasilan bersyarat (TPB) dan tunjangan kemahalan wilayah dengan besaran Rp2,2 juta-Rp11 juta.
Jadi, walaupun Upah Minimum Provinsi (UMP) Papua berada di angka Rp3,5 juta dan Papua Barat Rp3,1 juta, mereka tetap bakal kesulitan membeli rumah subsidi lantaran adanya tunjangan yang cukup besar tersebut. Apalagi jika istrinya juga bekerja atau setidak-tidaknya berdagang.
Tetapi jangan salah, tunjangan yang cukup besar itu juga dibarengi dengan indeks kemahalan konsumen (IKK) yang cukup tinggi. Hingga Juli 2020, IKK di Papua masih menjadi salah satu yang tertinggi di Indonesia dengan tingkat 105,07. Artinya, harga barang konsumsi di wilayah ini nilainya bisa 100% lebih tinggi dibandingkan harga normal di wilayah lainnya.
“Di Papua mereka menerima gaji Rp8 juta karena memang biaya hidup di sana cukup tinggi sehingga kebutuhan biaya per bulannya juga tinggi,” tutur Totok dalam webinar, Jumat (24/7).
Walhasil, semenjak adanya peraturan baru tersebut, penyerapan rumah subsidi di Papua dan Papua Barat, baik melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Selisih Bunga (SSB), maupun Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) pun turun drastis. Angkanya bahkan tidak sampai 10% dari total keseluruhan rumah subsidi yang ada di sana.
Berdasarkan data terakhir REI, penyerapan rumah subsidi di Papua sampai Agustus 2020 hanya mencapai 532 unit. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan capaian tahun lalu sebanyak 1.719 unit, dan tahun 2018 yang menyentuh angka 4.363 unit.
Ketua REI Papua Maria Nelly Suryani mengatakan, turunnya jumlah penyerapan rumah subsidi di Papua ini terjadi lantaran lahirnya aturan baru yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat di Papua. Plus adanya serentetan kerusuhan di Papua tahun lalu dan hantaman pandemi Covid-19.
“Karena ganti regulasi bukannya bikin kita malah makin banyak serapan, tapi makin memangkas jadi cuma sampai 10%. Masa 16 unit setelah lockdown. Realisasi 16 unit SSB, dibilang semangat. Bagaimana saya bisa semangat. 16 unit untuk 34 anggota saya, itu tidak kebagian 1 anggota 1 unit,” tutur Maria sedikit gemas saat dihubungi Alinea.id pekan lalu.
Bagi Maria, aturan baru rumah subsidi telah menampilkan wajah ketidakadilan yang terang benderang bagi masyarakat Papua. Satu kalimat, katanya, lebih baik peraturan ini dicabut dan dikembalikan lagi kepada Kepmen sebelumnya.
Aturan Kepmen 525 sebelum direvisi menyebutkan penghasilan maksimum penerima subsidi lebih fleksibel karena hanya mengatur besaran gaji pokok. Sehingga, masyarakat dengan penghasilan Rp4 juta lebih sekalipun masih dapat membeli rumah asalkan gaji pokoknya masih di bawah Rp4 juta.
“Karena penghasilannya itu Rp4 juta, namun tidak dibatasi dengan penghasilan akhir. Tapi kalau ini (Kepmen PUPR 242) dibatasi dengan penghasilan akhir. Jadi kalau suami-istri bekerja, sudah pasti tidak akan bisa mengakses, biarpun dia gajinya di bawah Rp4 juta,” terangnya.
Setali tiga uang, Ketua Umum Himpunan Perumahan Rakyat (Himperra) Harry Endang Kawidjaja juga mengkritisi Kepmen PUPR 242 soal batasan penghasilan penerima rumah subsidi ini. Menurutnya, aturan baru ini tidak hanya mempersempit ruang bagi masyarakat Papua dan Papua Barat untuk memiliki rumah, tapi juga masyarakat secara keseluruhan.
Endang mengatakan, batas maksimum Rp8 juta untuk suami-istri ini tidak ideal karena tidak mempertimbangkan basis angka penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang kini diatur Rp4,5 juta per orang. Nilai Rp4,5 juta atau Rp9 juta per keluarga ini, sambung Endang, jauh lebih realistis dibandingkan pemerintah hanya asal meletakkan angka Rp8 juta take home pay.
“Selama bertahun-tahun PTKP itu sesuai dengan kebutuhan fisik minimum, kelayakan hidup dan lain-lain. Nah itu menurut saya lebih realistis, toh yang menetapkan juga badan pemerintah, dalam hal ini Dirjen Pajak," sebutnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR Eko Djoeli Heripurwanto mengatakan, perubahan nomenklatur batas penghasilan rumah subsidi menjadi gaji pokok Rp8 juta tidak dapat dilakukan karena bakal menimbulkan banyak persoalan.
Persoalan yang dimaksud adalah ketidaktepatan sasaran penerima rumah subsidi. Sebab, beberapa waktu lalu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memang sempat menegur Kementerian PUPR soal banyaknya penerima rumah subsidi yang justru merupakan kelompok berada.
“Peraturannya memang tidak bisa lompat ke Rp8 juta untuk gaji pokok. Karena kalau sampai Rp8 juta gaji pokok sebagian teman-teman banyak yang berteriak,” tutur Eko dalam sebuah kesempatan.
Alinea.id mencoba konfirmasi ulang kepada Eko terkait masalah-masalah lain dalam aturan baru rumah subsidi ini, namun tidak kunjung memperoleh jawaban.
Harga tak terjangkau
Persoalan rumah subsidi ini tidak hanya berhenti di situ. Ada persoalan lain yang juga perlu dijelaskan oleh Eko. Sebab, harga rumah subsidi yang cukup tinggi juga rupanya membuat sebagian masyarakat Papua kesulitan menjangkau program bantuan rumah dari pemerintah tersebut.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2019 soal batasan harga minimum rumah umum diatur bahwa harga rumah subsidi di Papua dan Papua Barat ditetapkan Rp219 juta. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan harga rumah subsidi di Jawa yang hanya Rp150,50 juta.
Wakil Ketua Umum DPP REI Moerad menjelaskan harga yang cukup tinggi ini sudah disesuaikan dengan indeks kemahalan konstruksi (IKK) di wilayah tersebut. Diketahui berdasarkan data BPS 2017, IKK di tanah Papua berada pada kisaran 230%. Di beberapa wilayah, angkanya bisa jauh lebih tinggi. Di Puncak Jaya misalnya, IKK bisa mencapai 436,94%.
“Itu memang disesuaikan dengan harga di sana. Karena harga semen, material, memang jauh lebih mahal di sana dibandingkan dengan Kalimantan atau Jabodetabek,” ungkap Moerad.
Problemnya, jika dihitung secara matematis berdasarkan data batas kemiskinan Rp2,01 juta yang dirilis BPS pada Januari lalu, maka harga Rp219 juta ini bakal cukup sulit dijangkau oleh masyarakat Papua. Mengingat lebih dari 911 ribu orang di Papua hidup di ambang garis kemiskinan.
Sebab, rerata perbankan biasanya menentukan batas maksimum cicilan sebesar 30% dari total penghasilan. Sementara 30% dari Rp2,01 juta hanyalah Rp620 ribuan. Sedangkan, cicilan rumah untuk tenor 20 tahun saja, minimalnya Rp930 ribuan. Bahkan beberapa bank menetapkan Rp1,6 juta.
Otomotis, harga Rp219 juta pun tidak dapat terjangkau oleh masyarakat miskin Papua. Apalagi jika mengingat 78,62% angkatan kerja di Papua bekerja di bidang yang rentan kehilangan penghasilan, seperti berdagang, usaha rumahan, dan buruh.
Belum lagi jika sebagian besar rumah subsidi di Papua ini sudah lebih dulu dicatut oleh para cukong yang selalu mencari cuan. Menurut Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Kamar Adat Pengusaha Papua (KAP Papua) Musa Haluk, praktik cukong ini kerap membuat harga rumah subsidi menjadi lebih mahal dari yang sudah ditentukan.
Kerap terjadi lobi-lobi politik antara pemerintah daerah dan investor sebelum rumah subsidi memasuki pasar. Hasilnya, masyarakat dirugikan karena harga semakin tinggi, dan investor diuntungkan karena dapat kelebihan harga.
“Karena mereka langsung kerja sama dengan pemerintah, dan pemerintah tidak kasih ke masyarakat yang membutuhkan rumah subsidi itu,” tutur Musa saat berbincang dengan Alinea.id.