Jasa titip alias jastip membeli barang dari luar negeri disebut membuat negara kehilangan potensi pendapatan hingga Rp1,6 miliar per hari.
Pembatasan barang bawaan penumpang yang dibeli dări luar negeri mulai diberlakukan di Bandara Soekarno-Hatta, Minggu (10/3). Kebijakan itu sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Barang yang dibatasi yaitu hewan dan produk hewan dengan maksimum 5 kilogram (kg) dan nilai tidak melebihi US$1.500 per penumpang. Beras, jagung, gula, bawang putih, dan produk hortikultura juga dibatasi hingga 5 kg dengan nilai di bawah US$1.500 atau sekitar Rp 23,2 juta per penumpang. Barang-barang mutiara dibatasi dengan nilai free on board (FOB) US$1.500. Hasil perikanan dibatasi hingga 25 kg per pengiriman. Telepon seluler, komputer genggam, dan tablet dibatasi hingga dua unit per orang dalam setahun. Mainan dibatasi hingga nilai FOB US$1.500 per orang.
Kemudian untuk tas impor; sepatu dan sandal; elektronik; sepeda roda dua dan roda tiga; minuman beralkohol; serta plastik hilir dibatasi dengan nilai maksimum FOB US$1.500 per orang. Barang tekstil sudah jadi lainnya dibatasi hingga lima bagian per orang, termasuk selimut dan linen, meja, dan peralatan dapur.
Penerapan aturan itu sempat menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menegaskan barang bawaan penumpang dari luar negeri yang dijadikan buah tangan atau oleh-oleh tidak dikenakan pungutan bea cukai. Dia menyebut yang dikenakan biaya merupakan barang yang melewati batas ketentuan.
Lalu, barang baru yang diperuntukkan dijual kembali juga harus membayar bea cukai. Yakni, usaha jasa titip (jastip) barang dari luar negeri yang tengah marak. Jasa ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan ke luar negeri dan sengaja berkunjung ke pusat-pusat perbelanjaan. Biasanya merupakan produk-produk yang sulit didapatkan di Indonesia.
Berbagai produk jastip tersebut dibawa oleh penumpang yang dimasukan ke dalam koper tanpa melewati proses pengiriman barang dan terhindar dari pungutan bea cukai.
"Kalau buat dagang kan harus ada kardusnya, bonnya. Kalau buat oleh-oleh kan enggak pakai kardus," ujar Zulkifli, dikutip Antara, Kamis (14/3).
Selain itu, barang mewah yang dibeli dari luar negeri seperti tas dan jam tangan dengan kemasan lengkap dan bukti pembayaran akan dikenakan pungutan.
"Jadi kalau belanja, masuk sini dikenakan. Kalau saudara beli tas Chanel buat di sini, ya sama bea cukai dikenakan pungutan," katanya.
Merugikan negara
Pengamat perpajakan Ronny Bako menyebut penerapan regulasi baru itu menandai kemajuan dalam kontrol barang yang masuk. Sayangnya, beleid tersebut kurang sosialisasi sehingga banyak masyarakat yang tak paham.
"Langkah pemerintah untuk mengendalikan impor adalah positif. Namun, pemisahan antara barang bawaan pribadi, oleh-oleh, dan barang jastip sangat kurang. Penerapan aturan ini terkesan memberlakukan semua penumpang secara seragam tanpa mempertimbangkan perbedaan jenis barang yang dibawa," ujarnya kepada Alinea.id.
Ronny melanjutkan, kebijakan ini bisa menimbulkan kontradiksi dengan aturan pembawaan uang ke luar negeri. Pasalnya, Bank Indonesia (BI) mengizinkan membawa uang tunai di pesawat hingga Rp100 juta. "Pembatasan barang bawaan menimbulkan ketidaksesuaian," lanjutnya.
Selain itu juga rawan terjadi penyalahgunaan sistem oleh masyarakat. Fenomena belanja barang impor terjadi lantaran harga produk di luar negeri lebih murah ketimbang di tanah air. Dus, barang impor masih berpotensi masuk melalui jastip.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan aturan ini terlalu rumit sehingga dapat merugikan citra Indonesia sebagai tujuan wisata. Alih-alih menerapkan pembatasan, menurutnya, petugas bea cukai bisa melakukan investigasi terhadap penyedia jastip lewat media sosial dan website. Hal itu dilakukan guna memastikan kepatuhan pelaku pada regulasi.
Dia memperkirakan nilai jastip mencapai Rp5 miliar hingga Rp6 miliar per hari di semua pintu kedatangan internasional. Dari total tersebut, sekitar 80% atau Rp4 miliar diantaranya merupakan jastip ilegal yang tak sesuai regulasi dan tidak membayar bea masuk dan cukai. Aksi ini menyebabkan negara kehilangan potensi pendapatan hingga Rp1,6 miliar per hari. "Tarif legal impor bisa mencapai 40% yang berarti negara kehilangan potensi pendapatan Rp1,6 miliar per harinya,” kata Bhima kepada Alinea.id.