Membuka peluang UMKM dalam pasar barang dan jasa pemerintah
Sekira 22 tahun silam, tepatnya pada periode 1997-1998, ekonomi Indonesia mengalami krisis terparah sepanjang sejarah. Rupiah anjlok dari level Rp2.500 ke Rp15.000 per 1 dolar AS. Konglomerasi perusahaan-perusahaan besar yang dibangun dengan landasan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) oleh rezim orde baru (orba) pun bertumbangan.
Namun, ada satu sektor yang kala itu masih mampu bertahan, yaitu Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Ketika banyak perusahaan besar harus gulung tikar, UMKM justru tetap menunjukkan pertumbuhan secara gradual.
Data BPS pada 1998-1999 menunjukkan, jumlah UMKM di Indonesia tumbuh dari 36,8 juta unit menjadi 37,9 unit di tahun berikutnya. Sebanyak 57,34 juta atau 88,66% dari total tenaga kerja Indonesia pun terserap dari sektor ini.
Angka ini membuktikan bahwa salah satu unit usaha yang paling kebal terhadap tekanan krisis adalah UMKM. Para pengusaha kecil ini bahkan digadang-gadang sebagai ‘penyelamat ekonomi nasional’ kala itu.
Menyadari akan pentingnya peran UMKM dalam mempertahankan fundamental ekonomi Tanah Air, pemerintah pun bergegas membentuk satu kebijakan guna menyelamatkan para pengusaha kecil ini. Secara total, pemerintah menggelontorkan dana Rp695,2 triliun untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Penyelamatan UMKM menjadi salah satu sektor yang mendapat porsi alokasi anggaran terbesar yakni Rp123,46 triliun, di bawah dana perlindungan sosial Rp203,9 triliun.
Rinciannya, dana subsidi bunga Rp35,2 triliun, restrukturisasi Rp78,7 triliun, belanja Imbal Jasa Penjaminan (IJP) Kredit Usaha Rakyat (KUR) Rp5 triliun, penjaminan modal kerja Rp1 triliun, Pajak Penghasilan (PPh) final Rp2,4 triliun, serta pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Rp1 triliun.
Namun sayangnya, hingga Selasa (16/6), realisasi stimulus UMKM ternyata masih jauh dari kata memuaskan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, baru 0,06% atau Rp74,07 miliar dana stimulus yang diserap UMKM dari total target anggaran.
Penghambat lambannya serapan stimulus UMKM ditengarai akibat belum disesuaikannya regulasi, serta kurang mendukungnya infrastruktur informasi & teknologi (IT). Menurut Sri, pihaknya sudah meminta agar masalah kesiapan data melalui sistem IT itu bisa segera diselesaikan.
“Saya akan meminta seluruh tim bidang UMKM, apakah melalui pegadaian, PMN (Penyertaan Modal Negara) melalui BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dan PIP (Pusat Investasi Pemerintah) di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bisa diakselerasi agar UMKM segera dapat manfaat,” terang Ani, sapaan akrab Sri Mulyani, dalam konferensi pers APBN Kita, (16/6).
Sementara itu, Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu Andin Hadiyanto menilai, minimnya penyerapan stimulus UMKM lebih disebabkan oleh situasi luar biasa yang dihadapi pemerintah.
Pada dasarnya, lanjut dia, pemerintah ingin secepatnya menyalurkan stimulus ke UMKM. Tapi di sisi lain, pemerintah juga perlu berhati-hati agar stimulus yang disalurkan bisa tepat sasaran dan tidak terjadi moral hazard.
“Kedua hal ini tidak harus dipertentangkan sepanjang seluruh stakeholder bersama-sama. Kebersamaan ini yang selama ini disiapkan,” terang Andin melalui pesan singkat, (24/6).
Maksimalkan belanja pengadaan barang dan jasa
Terlepas dari kekhawatiran pemerintah dari adanya potensi moral hazard, rupanya minimnya penyerapan stimulus UMKM telah membuat Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki sedikit gusar. Ia pun meminta agar sebaiknya anggaran belanja pemerintah yang ada saat ini diprioritaskan untuk membantu UMKM.
Teten berharap agar sisa anggaran pengadaan barang dan jasa (PBJ) Rp724,7 triliun dapat dialokasikan untuk membeli produk-produk UMKM. Angka ini setara dengan 62,4% proyeksi anggaran PBJ di laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 yang senilai Rp1.160,6 triliun.
Jika rencana ini dapat terealisasi, sambungnya, maka UMKM akan kembali menggeliat. “Program ini juga mendukung gerakan Belanja Buatan Indonesia,” ungkap Teten dalam keterangan tertulis, (19/6).
Secara terperinci, wacana itu kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran Kemenkop UKM Victoria Simanungkalit. Kepada Alinea.id, Victoria menerangkan, rencana mendorong UMKM masuk dalam PBJ memang sudah lama dilakukan kementeriannya.
Landasan hukum yang mewadahi rencana itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Ada setidaknya 3 peluang UMKM untuk terlibat dalam PBJ.
Pertama, terang Victoria, melalui pengadaan langsung dengan nilai kurang dari Rp50 juta. Kemudian, melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) atau E-katalog bentukan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) untuk nilai Rp50-200 juta. Terakhir lewat proses tender atau negosiasi untuk angka di bawah Rp2,5 miliar.
“Untuk UMKM yang ingin menjadi penyedia dan produknya tayang di E-katalog wajib mendaftar mengikuti mekanisme pendaftaraan dan pemilihan penyedia yang diatur dalam peraturan Lembaga nomor 11 tahun 2018,” tulis Victoria melalui surel, (24/6).
Akan tetapi Victoria mengakui bahwa untuk melibatkan UMKM dalam proses PBJ memang tidaklah mudah. Masalah paling umum bagi UMKM untuk terlibat dalam PBJ adalah kecukupan modal.
Karenanya, Victoria pun menyebut bahwa kini pihaknya tengah berkoordinasi dengan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk menjamin kecukupan modal tersebut.
“Adapun konsep mekanisme tersebut masih dalam pembahasan,” imbuhnya.
Selain itu, masuknya UMKM dalam PBJ juga kerap tersandung oleh tingginya standar dan spesifikasi produk yang ditetapkan LKPP. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Gati Wibawaningsih saat berbincang dengan Alinea.id beberapa waktu lalu.
Menurut Gati, hingga saat ini masih banyak pelaku Industri Kecil Menengah (IKM) yang kesulitan memasuki pasar PBJ karena mahalnya biaya sertifikasi. Tahap-tahap seperti test report dan sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk mendapatkan Standar Nasional Indonesia atau International Standardization for Organization (ISO) kerap tidak mampu dipenuhi pelaku IKM.
“Nah kalau yang tidak punya standar, enggak bisa masuk E-katalog,” ungkap Gati, (24/6).
Terkait masalah ini, Gati mengaku bahwa kini pihaknya tengah berupaya membantu IKM dalam upaya memenuhi standar tersebut. Melalui program sertifikasi gratis, Kemenperin telah membantu setidaknya 1.155 IKM untuk memiliki sertifikasi dalam kurun waktu 2018-2019.
“Kita bina mereka, kita kasih tahu, kita berikan pelatihan, kita berikan bimbingan, kita sertifikasi produk mereka untuk memperoleh Standar Nasional Indonesia (SNI),” paparnya.
Namun demikian, Gati menyebut ada beberapa sektor UMKM yang siap memasok kebutuhan barang dan jasa pemerintah. Sebut saja UMKM penyedia furnitur, terutama furnitur untuk sekolah, mainan edukasi, alat kebersihan, dan alat olahraga. Ada pula UMKM yang memproduksi souvenir, desain interior, dan peralatan seminar.
Gati juga memaparkan sektor lain yang siap memenuhi pasar barang dan jasa pemerintah semisal industri kerajinan dan aneka, fesyen, serta infrastruktur seperti lampu LED, dan lampu penerangan jalan. Tidak ketinggalan, sektor yang kini tengah booming yakni alat kesehatan seperti tempat tidur, tiang inpus, dan meja obat untuk kebutuhan di rumah sakit.
Ia mengakui ada tantangan besar bagi pemerintah jika keinginan Menkop UKM Teten Masduki benar-benar terealisasi. "Itu tantangan buat pemerintah bina industrinya supaya produknya bisa dipakai masuk di dalam Rp730 triliun itu," tambahnya.
Baginya, jika UMKM bisa menyerap 20% saja dari nilai sisa anggaran pengadaan barang dan jasa (PBJ) Rp724,7 triliun, itu sudah cukup bagi kemajuan IKM.
Persyaratan dipermudah
Di sisi lain, Ketua LKPP Roni Dwi Susanto mengakui bahwa memang tidak sembarang UMKM atau IKM bisa masuk dalam E-katalog. Bahkan sejauh ini, jika merujuk pada laman e-katalog.lkpp.go.id, baru ada 1.197 UMKM yang terlibat dalam PBJ. Angka ini terbagi menjadi 378 UMKM di level nasional, 83 UMKM di level sektoral, dan 580 UMKM untuk tingkat lokal.
Sebab memang, Roni mengakui, tidak semua UMKM bisa memenuhi persyaratan-persyaratan khusus agar dapat masuk dalam E-katalog. Ada setidaknya 4 syarat dan 1 aturan turunan yang berlaku agar UMKM bisa ikut berperan dalam PBJ.
Pertama, produknya harus dibutuhkan kementerian/lembaga. Kedua, produknya memenuhi standar yang dibutuhkan kementerian/lembaga. Selanjutnya, kebutuhan produk tersebut berkelanjutan atau tidak sesaat. Kemudian, berpreferensi harga yang sesuai dengan bujet. Terakhir, sebagai aturan turunannya adalah penyedia barang tidak boleh hanya satu.
“Kalau UMKM gampang seperti kita bikin enggak punya standar, terus nanti enggak ada kementerian/lembaga yang beli atau daerah, ‘kan LKPP kaya jadi lembaga pengadaan,” katanya kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, (25/6).
Meski demikian, LKPP juga bukannya tanpa upaya untuk mempermudah persyaratan bagi UMKM agar bisa masuk ke PBJ. Menurut Roni, pihaknya kini tengah menyiapkan aplikasi baru untuk membantu UMKM agar bisa berperan serta dalam PJB dengan persyaratan yang jauh lebih mudah dibandingkan di E-Katalog.
Aplikasi ini akan diberi nama Abela, akronim dari Aplikasi Belanja Langsung atau bisa juga disebut Bela Pengadaan seperti yang tertuang dalam surat LKPP Nomor 1883/SES/06/2020. Dengan aplikasi ini, terang Roni, UMKM tidak perlu memenuhi standar yang sulit seperti di E-katalog.
Untuk mendaftarnya, para pelaku UMKM hanya perlu melampirkan foto Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Aplikasi ini akan digunakan khusus untuk belanja pemerintah yang bernilai tidak lebih dari Rp50 juta.
“Kita berharap dalam bulan ini sudah bisa kita launching,” katanya.
LKPP pada Jumat (26/6) juga meluncurkan Pencananganan Gerakan Nasional Belanja Pengadaan Pemerintah untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil. Ini merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Jokowi terkait kebijakan stimulus ekonomi untuk memprioritaskan Usaha Mikro dan Kecil dalam kondisi pandemi Covid-19.
LKPP telah memudahkan persyaratan bagi UMKM dengan menyiapkan aplikasi pengadaan langsung secara elektronik hingga Rp 200 juta.
Tahun ini pemerintah telah mengalokasikan belanja pengadaan sebesar Rp1.160 triliun untuk tahun 2020. Dari jumlah tersebut, nilai total rencana paket pengadaan yang telah diumumkan melalui SIRUP sebesar Rp725 triliun dengan alokasi bagi para pelaku usaha mikro dan kecil sebesar Rp318 triliun atau 44%.
Berdasarkan data LKPP per 15 Juni 2020, ada 380.474 pelaku usaha yang berpartisipasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, 44% atau 167.278 diantaranya adalah pelaku usaha kecil. Dari jumlah tersebut, nilai transaksi pengadaan secara elektronik yang dimenangkan oleh pelaku usaha mikro dan kecil baru sebesar Rp36,7 triliun atau 22% dari nilai total transaksi sebesar Rp163 triliun.
Namun, angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan realisasi penyerapan anggaran PBJ oleh UMKM pada 2019 yang hanya Rp63,3 triliun dari Rp939,4 triliun rencana pengadaan yang diproyeksikan.
“Karena banyak angka-angka belanja yang kita sepakati yang nilainya di bawah Rp2,5 miliar,” ungkap Roni.
Modal kerja
Namun di sisi lain, nada pesimistis terkait wacana tersebut datang dari Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal. Menurut Faisal, rencana mendorong UMKM terlibat dalam PBJ sebetulnya cukup baik, tetapi cara itu tidak akan mampu menjangkau seluruh UMKM yang ada.
Perlu diingat, bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, jumlah UMKM di Indonesia saat ini telah mencapai 64,2 juta unit. Sementara, total UMKM yang bakal terlibat dalam PBJ barangkali tidak akan sampai separuhnya.
Selain itu, rerata UMKM juga didominasi oleh pelaku ultra mikro yang notabene merupakan usaha kecil yang tidak akan cukup kompatibel untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan pemerintah. Padahal, mereka juga termasuk yang terdampak oleh Covid-19.
“UMKM Itu ‘kan luas kita juga harus tahu proposional atau disproposional ini. UMKM didominasi oleh ultra mikro. Yang kami tanyakan, apakah compatible untuk melakukan proyek-proyek pengadaan pemerintah?” jelas Fithra saat dihubungi Alinea.id, (25/6).
Bagi Fithra, cara terbaik untuk membantu UMKM lewat dari fase krisis lantaran pandemi Covid-19 adalah dengan mengikuti strategi Jerman dalam memberikan bantuan. Di Jerman, pemerintahnya menyiapkan dana 600 miliar euro untuk menstabilkan ekonomi.
Dengan dana itu, pemerintah Jerman mengalokasikan 160 miliar euro untuk UMKM. Masing-masing UMKM nantinya akan mendapatkan tambahan modal kerja 1 miliar euro yang disalurkan melalui perbankan.
“Daripada repot-repot ke sana mending dikasih model kerja saja. Jadi enggak usah muter-muter,” ungkapnya.
Selain itu, ada baiknya juga jika pemerintah segera menunjuk satu pimpinan lapangan dalam proses realisasi penyerapan anggaran stimulus UMKM. Upaya ini termasuk yang cukup mendesak untuk memastikan bahwa realisasi penyerapan anggaran bisa berjalan lebih efektif.
Menurut Fithra, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan merupakan sosok yang tepat untuk ditunjuk sebagai eksekutor. Pengalaman Luhut bisa menjadi penentu apakah stimulus yang diberikan pemerintah bisa berjalan baik atau sebaliknya.