Menakar fundamental saham lapis kedua di era Corona
Nyaris delapan bulan berlalu sejak pandemi Covid-19 pertama kali hadir di Indonesia pada 2 Maret 2020 silam. Saat itu dua orang, anak dan ibu asal Depok, Jawa Barat terkonfirmasi positif Covid-19. Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengumumkannya langsung di Istana Negara.
Sejak itu, mulailah seluruh indikator ekonomi Indonesia pelan-pelan terkoreksi negatif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) meresponsnya dengan pelemahan 91,45 basis poin dan ditutup pada zona merah di posisi 5.361,24.
Di hari yang sama, saham-saham lapis pertama yang tergabung dalam indeks LQ45 juga turut merespons negatif kabar itu. Saham emiten-emiten dengan kapitalisasi pasar lebih dari Rp40 triliun ini ikut terkoreksi 20 poin ke level 859,32. Pun demikian dengan saham-saham lapis kedua di indeks IDX SMC Liquid alias small-medium cap yang ikut terpangkas 4,41 basis poin ke posisi 248,68.
Perlahan dan pasti, pelemahan terus berlanjut. IHSG bahkan sempat mencapai titik terendahnya sejak 8 tahun terakhir pada 24 Maret 2020. IHSG terperosok ke level 3.937,63. Angka ini terpangkas 37,33% sejak perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) dibuka pada 2 Januari 2020. Waktu itu, IHSG masih kokoh berdiri di posisi 6.283,58.
Setidaknya hingga semester-I 2020, IHSG pun terus berada di bawah angka psikologis 5.800. Berdasarkan catatan BEI pada kuartal-II 2020, IHSG sudah tersungkur 1.394 poin atau -22,85% sejak awal tahun (year to date/ytd).
Pada rentang waktu yang sama saham-saham LQ45 mengalami penurunan 25,42%. Sementara saham-saham berkapitalisasi pasar Rp1 triliun hingga Rp40 triliun di indeks IDX SMC Liquid menderita pelemahan 27,89%.
Usai itu, IHSG perlahan bangkit dari keterpurukan dengan memangkas margin penurunan hingga hanya -16,84% ytd pada akhir Agustus 2020. Begitu pula dengan saham-saham LQ45 dan IDX SMC Liquid dengan pelemahan masing-masing -18,76% dan -19,56% ytd.
Pada masa-masa ini, IHSG pun bergerak fluktuatif hingga pada penutupan perdagangan Kamis (8/10) kemarin ditutup pada zona hijau di level 5.039,14. Saham-saham LQ45 turut menjadi penopang dengan kenaikan 0,83%. Begitu juga dengan saham-saham IDX SMC Liquid yang naik 1,08%.
Gerak-gerik SMC Liquid
Sejak saat inilah, gerak-gerik IHSG pun semakin menarik dicermati. Tampak pergerakan saham-saham lapis kedua dan lapis pertama saling bersaing untuk ‘mejeng’ sebagai yang paling kuat menopang IHSG.
Dalam masa-masa ini, memang saham-saham blue chips seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) dan PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) hampir selalu menjadi langganan di daftar teratas sebagai emiten dengan total valuasi saham terbesar yang diperdagangkan. Tetapi kalau soal top 10 volume saham yang diperdagangkan, emiten-emiten di IDX SMC Liquid lah yang lebih sering tampil.
Nama-nama seperti PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. (ANTM), PT Bank BRISyariah Tbk. (BRIS) dan PT Alam Sutera Realty Tbk. (ASRI) menjadi beberapa emiten yang paling sering muncul di daftar top 10 perdagangan saham berdasarkan volume yang diperdagangkan.
Direktur Perdagangan dan Penilaian Anggota Bursa BEI Laksono Widodo menilai, apa yang terjadi pada pergerakan saham kedua indeks yang berbeda kapitalisasi pasarnya itu merupakan hal wajar. Seluruh penguatan maupun pelemahan pada emiten-emiten keduanya cenderung aman.
Bahkan tidak ada satupun emiten dari kedua indeks ini yang masuk dalam daftar unusual market activity (UMA) selama 9 bulan terakhir.
"Kecil sekali di 2020, silahkan buka website IDX dan lihat pengumuman-pengumuman saham-saham yang kena UMA,” kata Laksono melalui pesan singkat kepada Alinea.id, belum lama ini.
Alinea.id telah mengecek langsung melalui laman BEI, dan memang betul tidak ada satupun saham-saham di IDX SMC Liquid dan LQ45 yang terkena auto reject atas maupun auto reject bawah tahun ini. Secara keseluruhan, pergerakan saham emiten di indeks IDX SMC Liquid masih dalam batas aman.
Yang menjadi menarik justru ketika melihat daftar aksi beli dan jual investor asing di BEI pada emiten-emiten yang berada di dua indeks tersebut. Dalam sebulan terakhir, dua emiten yang ada di indeks LQ45, yakni BBCA dan PT Bank Rakyat Indonesia (persero) Tbk. (BBRI) justru mengisi daftar teratas aksi jual bersih asing (net foreign sell/NFS). Saham keduanya dilego asing masing-masing Rp4,2 triliun dan Rp1,3 triliun.
Sebaliknya, emiten-emiten IDX SMC Liquid justru mengisi daftar teratas aksi beli bersih asing (net foreign buy/NFB). PT Merdeka Copper Gold Tbk. (MDKA) dan PT Bank BTPN Syariah Tbk. (BTPS) masuk dalam daftar 4 teratas dengan aksi beli bersih terbesar. Perolehan beli bersih asing keduanya mencapai Rp40,7 miliar dan Rp19,9 miliar secara berurutan.
Padahal diketahui bahwa MDKA sendiri merupakan salah satu pendatang baru dalam indeks IDX SMC Liquid yang masuk pada Agustus lalu. MDKA bersama delapan emiten lainnya bergelanggang di IDX SMC Liquid lantaran dinilai memiliki fundamental yang cukup kuat.
Prospek pendatang baru
Mereka, delapan emiten di luar MDKA yang mulai berlenggok di IDX SMC Liquid antara lain ASRI, PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk. (SIDO) dan PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN). Lalu PT Elnusa Tbk. (ELSA), PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. (INTP), dan PT Kino Indonesia Tbk.(KINO). Kemudian PT Malindo Feedmill Tbk.(MAIN) dan PT Wijaya Karya Bangunan Gedung Tbk. (WAGE).
Dari sembilan pendatang baru ini, beberapa saham pun dinilai memiliki prospek yang cukup baik. Associate Directore of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menyebut, emiten favoritnya di indeks saham lapis dua ini adalah MDKA.
Menurut dia, secara fundamental MDKA cukup bagus dan volatilitas sahamnya pun masih terjaga. Apalagi saat ini, industri pertambangan yang menjadi bisnis utama MDKA juga terbilang masih dalam keadaan baik.
“MDKA ini ‘kan punya valuasi bisnis bagus. Dia bukan hanya sembarang volatilitasnya tinggi, tapi dia punya bisnis memang bagus,” terang Nico saat dihubungi Alinea.id.
Jika dilihat dalam sebulan terakhir, volatilitas saham MDKA memang masih terjaga di rentang Rp890 hingga Rp2.120 per lembar. Sejak awal tahun, saham MDKA bahkan masih menunjukkan peningkatan 32,5% atau naik 655 poin dari Rp1.090 ke level Rp1.745 pada penutupan perdagangan Kamis (8/10). Kapitalisasi pasarnya pada waktu yang sama senilai Rp38,21 triliun.
Sementara berdasarkan laporan keuangan perseroan pada semester-I 2020, MDKA mencatatkan pendapatan US$198,81 juta. Angka ini naik 3,7% secara tahunan alias year on year (yoy) dari sebelumnya US$191,77 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Di sisi lain, laba bersih perseroan pada saat yang sama malah menderita penurunan 9,4% dari US$42,25 juta menjadi US$38,62 juta. Penurunan laba bersih ini terjadi lantaran beban pokok pendapatan MDKA yang bertambah 14,11% dari US$105,15 juta menjadi US$122,43 juta.
Sedangkan dari sisi likuiditas, keuangan MDKA juga tampak masih cukup sehat dengan ekuitas US$553,9 juta dan liabilitas yang hanya US$387,93 juta. Dengan catatan ini, berarti hal-hal yang patut dicermati dari valuasi MDKA hanyalah dua faktor yaitu laba bersih dan beban pokok penjualannya.
“Berarti sekalipun dia (investor) menaruh dana di MDKA. Terus harga sahamnya turun, investor tidak perlu takut. Kenapa? Secara fundamental dan valuasi (MDKA) baik,” tegas Nico.
Beda Nico, beda pula analis lainnya. Head of Research Praus Capital Alfred Nainggolan misalnya, meski mengaku menaruh hati juga untuk MDKA, tapi dia rupanya cukup menjagokan saham SIDO. Menurut dia, saat ini saham-saham di sektor farmasi sedang diuntungkan. Maka Sido bisa menjadi pilihan.
“Sekarang sektor-sektor yang ada di second layer (lapis kedua) yang ada di farmasi. Walaupun mereka second layer atau third layer, tapi dari sisi bisnis mereka itu otomatis cukup kuat,” kata Alfred kepada Alinea.id, (7/10).
Selain soal sektor, Alfred juga mempertimbangkan volatilitas saham SIDO yang cenderung terjaga. Saham SIDO masih bergerak dalam batas aman, tidak seperti emiten farmasi lainnya yakni PT Indofarma (Persero) Tbk. (INAF) dan PT Kimia Farma (Persero) Tbk. (KAEF) yang sempat terkena auto reject atas beberapa waktu lalu.
Sejak awal tahun saham SIDO bergerak terbatas pada rentang Rp425 hingga Rp830 per lembar. Sementara pada penutupan perdagangan Kamis (8/10), saham SIDO ditutup pada zona hijau dengan kenaikan 5,37% hingga berakhir pada level Rp785 per lembar. Dengan kapitalisasi pasar Rp23,55 triliun.
Ditengok dari laporan keuangan perseroan per 30 Juni 2020, SIDO mencatatkan total penjualan Rp1,45 triliun. Perolehan itu naik 2,75% dari penjualan perseroan pada periode yang sama tahun sebelumnya Rp1,41 triliun.
Dari sisi laba bersih, perseroan mencatatkan laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk Rp413,79 miliar. Nominal tersebut tumbuh 10,6% dari perolehan laba semester-I 2019 yang hanya Rp374,11 miliar.
Sepanjang 6 bulan pertama 2020 itu, likuiditas perseroan pun masih terlihat cukup aman. Ekuitas SIDO masih berada di level Rp3,07 triliun. Sementara liabilitasnya hanya Rp366,52 miliar.
Hanya ada satu hal yang perlu diperhatikan dari saham SIDO, yaitu terkait beban pokok penjualannya. Sebab, beban pokok perseroan pada periode itu tumbuh 3,9% dari Rp651,92 miliar menjadi Rp678,39 miliar.
“Jadi kalau dari sisi prospek saya lebih melihat kepada sektornya ada di Sido Muncul juga di produk-produk kesehatan. Jadi memang pertimbangan dari sisi sektornya,” beber Alfred.
Sementara CEO Finvesol Consulting Indonesia Fendy Susianto lebih menjagokan saham ASRI. Menurut dia, ASRI memiliki prospek jangka panjang yang cukup menarik. Sebab sekarang saham ASRI sedang berada di level terendahnya. Namun, sambung Fendy, ASRI memiliki potensi kenaikan yang tinggi jika ekonomi sudah pulih.
Memang sejak awal tahun, pergerakan saham ASRI belum terus bertahan di bawah angka psikologis valuasinya yakni Rp190 per lembar. Saham ASRI tampak bertahan di rentang Rp87 hingga Rp294 per lembar. Bahkan pada penutupan perdagangan Kamis (8/10), ditutup naik 0,89% di level Rp113 per lembar dengan kapitalisasi pasar Rp2,22 triliun.
“Kalau kita tujuan investasinya untuk jangka panjang, ini justru good timing untuk masuk ke sana,” terang Fendy kepada Alinea.id.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan pada kuartal-II 2020, kinerja ASRI tidak bisa dikatakan cukup baik. Emiten properti ini mencatatkan penurunan pendapatan bersih Rp919,5 miliar. Nilai ini turun dari pendapatan periode yang sama tahun sebelumnya Rp1,28 triliun.
Pada kurun waktu yang sama, ASRI bahkan sampai mengalami kerugian Rp512,5 miliar. Nominal tersebut merosot jauh dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang mencatatkan laba bersih Rp158,8 miliar.
Jika dilihat dari sisi likuiditas, perseroan juga masih tidak bisa dikatakan cukup baik. Ekuitas perseroan tercatat Rp9,9 triliun. Sedangkan liabilitasnya mencapai Rp11,52 triliun.
“Tapi kalau saya perhatikan dari sisi sektoralnya. Properti itu agak pinter. Dia simpan dana dalam bentuk kas yang banyak, untuk melakukan investment di masa-masa sulit seperti ini. Pada saat ekonomi sudah mulai stabil tahun depan, pandemi sudah mulai surut, demand akan jumping up,” pungkas dia.