Menakar keefektifan program 'pengakuan dosa' pajak jilid II
Enam bulan lalu, tepatnya 1 Januari 2022, pemerintah kembali membuka kesempatan kepada seluruh wajib pajak (WP), termasuk yang tidak patuh untuk menyelesaikan tanggung jawab perpajakan mereka. Wajib pajak dapat mengungkapkan harta tidak terlapor yang dimilikinya, baik di dalam maupun luar negeri dengan tarif pajak khusus melalui program bernama Program Pengungkapan Sukarela (PPS) ini.
Seberapa efektif program ini?
Dalam konferensi pers Program Pengungkapan Sukarela, Jumat (1/7) lalu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebut total WP yang mengikuti PPS dari 1 Januari hingga 30 Juni 2022 pukul 23.59 WIB ada sebanyak 247.918 WP. Dari jumlah tersebut, pemerintah menerbitkan 308.059 surat keterangan atas harta yang harus dilaporkannya. Dengan nilai bersih harta yang dideklarasikan atau diungkapkan, di mana meliputi harta atau aset di dalam negeri, luar negeri dan harta direpatriasi ke dalam negeri yakni sebesar Rp594,82 triliun.
“Untuk pembayaran kewajiban dari harta yang diungkapkan adalah terkumpul Rp61,10 triliun,” beber Menteri yang karib disapa Ani itu.
Dia bercerita, sebagaimana karakteristik masyarakat Indonesia pada umumnya, banyak WP yang baru mendaftarkan diri sebagai peserta PPS pada detik-detik terakhir. Berdasar data yang dihimpun Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu), hingga akhir Januari baru ada 6.181 WP yang mengikuti PPS dengan jumlah surat keterangan sebanyak 6.619. Sementara nilai harta bersih yang dilaporkan yakni senilai Rp4,3 triliun dengan pajak penghasilan (PPh) yang disetorkan kepada pemerintah sebesar Rp600 miliar.
“Seperti biasa, masyarakat itu menunggu pada bulan terakhir, hari terakhir. Dari Januari kami sampaikan ada program PPS, tetapi belum ada yang mendaftar. Februari masih sangat kecil, Maret mulai ada yang tertarik, April mulai meningkat dan kemudian waktu itu kita blasting surat elektronik kepada seluruh wajib pajak. Saya juga terima” kisahnya, sambil berseloroh.
Benar saja, peserta PPS melonjak pada Juni, khususnya beberapa hari menjelang tanggal 30, yaitu tenggat yang diberikan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo bagi para WP untuk menjalankan kewajiban hingga ‘menebus dosa-dosa’ perpajakannya.
Masih dari catatan DJP, pada pekan terakhir Juni, sebanyak 42% WP baru mendaftarkan diri sebagai peserta PPS. Sehingga jumlah peserta PPS pada bulan keenam ada sebanyak 204.154 WP dengan surat keterangan yang diterbitkan sebanyak 253.016. Adapun jumlah harta bersih yang dilaporkan adalah sebesar Rp523.511 miliar dan total PPh yang diterima pemerintah mencapai Rp53.436 miliar.
“Artinya, mayoritas masyarakat kita (mendaftar) di bulan terakhir. Mungkin mau menguji nyali dengan Pak Dirjen Pajak. Ikut? Atau enggak? Ikut? Enggak? Akhirya mereka ikut,” imbuhnya.
Adapun secara rinci, pengungkapan harta WP yang ada di dalam negeri dan direpatriasi yaitu senilai Rp512,57 triliun. Kemudian harta yang ada di luar negeri sebesar Rp59,91 triliun.
“Ini adalah komposisi dari total harta yang tidak dibedakan antara kebijakan 1 dan kebijakan 2," jelasnya.
Jika dibedakan, WP dari kebijakan I jumlahnya sebanyak 82.456 surat keterangan. Sementara jika dilihat dari jumlah kewajiban yang dibayarkan mencapai Rp32,91 triliun berasal dari WP yang sebelumnya pernah mengikuti tax amnesty jilid 1 dan sisanya sebanyak Rp28,1 triliun dari WP yang mengikuti kebijakan II.
"Dari 2016 sampai akhir 2020 (WP yang belum mengungkapkan hartanya dalam periode 2016-2020)," imbuh menteri yang kerap disapa Ani ini.
Sementara itu, PPS sendiri memang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kebijakan I dan kebijakan II. Pada kebijakan I, PPS diperuntukkan bagi mereka yang belum mengungkapkan harta yang diperoleh sebelum 2015. Yaitu, dengan tarif PPh Final 11% bagi harta di luar negeri yang tidak direpatriasi, 8% untuk harta di dalam negeri dan harta di luar negeri yang direpatriasi, dan 6% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta dalam negeri yang diivestasikan pada surat berharga negara (SBN), sektor hilirisasi, maupun pengembangan energi terbarukan (renewable energy).
Adapun kebijakan II PPS diperuntukkan bagi WP yang belum mengungkapkan harta yang diperoleh dari 2016 hingga 2020 dalam surat pemberitahuan (SPT) tahunan 2020. Dengan pengenaan tarif PPh Final yaitu 18% bagi harta di luar negeri yang tidak direpatriasi, 14% harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta dalam negeri, serta 12% harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta dalam negeri, serta diinvetasikan dalam SBN, hilirisasi, atau renewable energy.
“Kalau dilihat, 4.067 WP badan ikut PPS. Mayoritas, kalau dari sisi jumlah lebih bayak orang pribadi ada 78.389 WP. Aetinya, WP ini sudah pernah ikut tax amnesty dan sekarang dia mengikuti lagi, berarti waktu itu hartanya masih belum di-disclose semua,” kata Ani.
Sedangkan yang mengikuti Kebijakan II, di mana harta yang diperoleh ialah harta sejak 2016 hingga 2020 ada 225.603 WP, yang kesemuanya merupakan orang pribadi (OP).
Sementara itu, jika dilihat dari lapisan hartanya, untuk total harta sampai dengan Rp10 juta, jumlah wajib pajaknya mencapai 38.870 dengan porsi 15,68%. Kemudian harta Rp10 juta sampai Rp100 juta sebanyak 82.747 wajib pajak atau sebanyak 33,38%, Rp100 juta sampai Rp1 miliar sebanyak 75.110 WP atau 30,30%.
Untuk harta Rp1 miliar sampai Rp10 miliar sebanyak 16,63% atau 41.239 WP, harta Rp10 miliar sampai Rp100 miliar 9.236 atau sebanyak 3,73%. Kemudian harta Rp100 miliar sampai Rp1 triliun sebanyak 705 WP atau 0,28% dan harta lebih dari Rp1 triliun ada 11 WP.
"Jumlah harta yang dideklarasikan dan ikut dalam PPS ini mayoritas harta itu adalah pada Rp100 juta hingga Rp1 miliar," ujar dia.
Jika dilihat dari komposisinya, nilai PPH yang disetor ke pemerintah dari kebijakan I adalah sebesar Rp32,91 triliun (54%) dan Rp28,1 triliun (46%) dari kebijakan II. Sementara dari total harta luar negeri yang berhasil dikumpulkan DJP, harta WP yang direpatriasi ke dalam negeri berjumlah Rp16,05 triliun (21%) dan harta yang masih di luar negeri dan tidak direpatriasi masih sebesar Rp60,1 triliun (79%).
Untuk harta di dalam negeri yang total senilai Rp594,82 triliun, 73% atau sebesar Rp437,46 triliun di antaranya merupakan harta berbentuk kas dan setara kas, misalnya dalam bentuk surat-surat berharga. Sementara harta berupa tanah, rumah, dan lain sebagainya yang merupakan nonkas ada sebanyak Rp159,83 triliun atau 27% dari total harta deklarasi di dalam negeri.
“Artinya selama ini harta mereka di perbankan atau dalam bentuk surat-surat berharga yang setara cash. Ini menjadi tambahan informasi ke DJP, karena kami sekarang juga melakukan akses informasi ke seluruh lembaga keuangan. Oleh karena itu, tracking terhadap cash dan noncash lebih akurat,” ucap Ani.
Tak spektakuler
Ani yang juga mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengaku, penerimaan negara yang diperoleh dari kebijakan PPS memang tidak sespektakuler pendahulunya, yakni Program Amnesti Pajak alias Tax Amnesty (TA) 2017 lalu. Perlu diketahui, dalam kebijakan yang dilangsungkan pada Juli 2016 hingga Maret 2017 ini, pemerintah berhasil mengumpulkan uang tebusan sebesar Rp130 triliun, meliputi WP pribadi non-UMKM Rp90,36 triliun, WP pribadi UMKM Rp7,56 triliun, WP badan non-UMKM Rp4,31 triliun, dan WP badan UMKM Rp620 miliar.
Di mana jumlah WP ada sebanyak 921.744 WP, dengan surat pernyataan harta (SPH) yang diterbitkan DJP mencapai 974.058 pelaporan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, salah satunya karena jangka waktu TA yang lebih panjang, yakni 9 bulan. Sementara PPS hanya berlangsung selama 6 bulan. Dengan jangka waktu tersebut, jelas peserta TA lebih banyak ketimbang PPS.
Kemudian, persentase keringanan pembayaran pajak yang dibuat pun berbeda, berikut dengan sanksi program PPS yang lebih tinggi dari TA. Di mana tarif TA dalam periode 1 untuk harta repatriasi atau deklarasi dalam negeri 2% dan harta deklarasi luar negeri 4%. Kemudian, pada periode 2, tarif harta deklarasi dalam negeri 2% dan deklarasi luar negeri 6%. Selanjutnya, tarif pada periode 3 untuk harta deklarasi dalam negeri yakni sebesar 5% dan deklarasi luar negeri 10%.
“Jumlah peserta WP badan maupun orang pribadi, kami sudah menjaringnya dan menyapunya dengan Tax Amnesty I,” lanjut Ani.
Dari berbagai perbedaan tersebut, realisasi PPS yang sebesar Rp61,02 triliun sudah termasuk baik. Mengingat pemerintah tidak mematok target khusus dalam program ini. “Sebenarnya DJP tidak memiliki target resmi ya. Untuk angka Rp70 triliun atau Rp71,5 triliun sebenarnya nilai estimasi terhadap potensi penerimaan dari program PPS,” jelas Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, saat dihubungi Alinea.id, Senin (4/6).
Belum lagi, banyak pula WP yang menempatkan hartanya di luar negeri bahkan di negara suaka pajak (tax haven) yang memiliki tarif pajak rendah. Seperti yang telah diketahui, dari kebijakan PPS, pemerintah mengungkapkan harta luar negeri WP sebanyak Rp76,13 triliun. Dari jumlah tersebut, hanya Rp16,05 triliun yang direpatriasi dan Rp61,01 lainnya tetap berada di luar negeri.
“Repatriasi membutuhkan proses. Berdasarkan pengalaman TA, proses repatriasi ini tidak semudah dan secepat yang dibayangkan. Dengan waktu PPS 6 bulan, tidak banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah agar repatriasi bertambah banyak,” imbuh Fajry.
Dengan berakhirnya PPS Kamis (30/6) lalu, kewajiban peserta PPS pun tidak lantas berakhir. Setelah 6 bulan periode PPS, DJP bakal meningkatkan kembali intensitas pengawasan terhadap peserta PPS berdasarkan data dan informasi yang diperoleh melalui program pengungkapan sukarela ini, setelah sebelumnya sempat mengendurkannya.
Hal ini utamanya dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan para WP, sesuai dengan tujuan utama PPS yang juga untuk meningkatkan rasio perpajakan nasional. Perlu diketahui, tax ratio Indonesia pada tahun 2021 adalah sebesar 9,11%. Meningkat dari tahun sebelumnya yang berada di level 8,3%, namun lebih rendah daripada tahun 2019 (9,8%).
Selain itu, DJP juga bakal menindaklanjuti surat imbauan yang sebelumnya telah disampaikan melalui surat elektronik selama periode palkasanaan PPS. Dirjen Pajak Kemenkeu Suryo Utomo bilang, kepada WP yang tidak merespons surat berisi daftar harta ini, akan diawasi atau bahkan dilakukan pemeriksaan terhadapnya. Kemudian, ada pula pemberlakuan sanksi sebesar 200% kepada WP atas harta yang kurang atau belum diungkap yang ditemukan oleh DJP.
“Kami konsolidasi lagi mana yang sudah direspons dan yang belum. Kami cocokkan lagi. Pengawasan, pemeriksaan, dan bahkan mungkin penegakan hukum akan kami lakukan,” ujarnya.
Terlepas dari itu, untuk meningkatkan kepatuhan sekaligus rasio pajak nasional, Pengamat Pajak dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako menilai, pemerintah perlu lebih meningkatkan lagi pengawasan terhadap orang pribadi sebagai penerima manfaat utama (ultimate beneficial owner/UBO). Pasalnya, banyak UBO yang identik dengan pemilik usaha ini tidak melaporkan nama atau menyamarkan kepemilikan atas jenis usaha yang dimilikinya.
“Dalam Surat Keterangan Usaha banyak yang tidak jelas nama atau siapa pemilik sebenarnya dari usaha itu. Ini yang menyebabkan pajak tidak terjaring optimal,” kata dia, kepada Alinea.id, Minggu (3/7).
Di saat yang sama, Ronny yakin jika integrasi antara nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) yang akan diterapkan pemerintah di tahun depan dapat efektif meningkatkan basis perpajakan nasional. Sebab, saat ini banyak pula masyarakat yang mengakali pemerintah agar tidak membayar pajak dengan ‘menitipkan’ hartanya pada rekening anak atau sanak saudara mereka yang masih di bawah umur atau yang tidak memiliki NPWP.
Namun, agar kebijakan ini berjalan optimal, pemerintah perlu meningkatkan lagi sosialisasi kebijakan ini. Apalagi, cukup banyak masyarakat yang salah mengira bahwa dengan diintegrasikannya NIK dengan NPWP, maka masyarakat dari seluruh lapisan umur diharuskan untuk membayar pajak.
“Padahal kan enggak. Kan enggak mungkin juga bayi baru lahir disuruh bayar pajak,” tutur Ronny.