Saat banyak negara berlomba-lomba memperketat proteksi perdagangan, Indonesia justru mengambil langkah strategis yang berbeda. Melalui pendekatan diplomasi ekonomi yang dinilai cerdas dan terukur, pemerintah berupaya menjaga stabilitas perdagangan nasional sekaligus memperkuat posisi Indonesia di tengah ketegangan dagang global.
Ketua Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Anggia Erma Rini, menyampaikan bahwa keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus sejumlah hambatan impor merupakan bagian dari strategi besar yang tidak hanya mencerminkan keterbukaan, tetapi juga keberanian Indonesia dalam merespons tekanan global, khususnya kebijakan tarif agresif Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump.
“Ini bukan semata membuka keran impor tanpa kendali. Ini adalah strategi negosiasi yang cerdas. Indonesia ingin menegaskan kita bukan sekadar pasar, tapi mitra dagang yang penting dan bernilai,” ujarnya melalui keterangan resmi, Rabu (9/4).
Anggia menilai kebijakan penghapusan kuota impor sebagai langkah untuk memperkuat akses bahan baku industri dalam negeri sekaligus menunjukkan Indonesia terbuka untuk kerja sama yang saling menguntungkan. Dengan pendekatan ini, Indonesia menegaskan posisinya sebagai pemain global yang rasional, stabil, dan siap berkolaborasi.
Alih-alih membalas kebijakan tarif tinggi dari AS dengan kebijakan serupa seperti yang dilakukan banyak negara lain, Indonesia memilih jalur diplomasi dan negosiasi. “Balas-membalas tarif hanya akan memicu reaksi berantai yang bisa merugikan banyak pihak, termasuk industri nasional dan tenaga kerja kita,” jelasnya.
Untuk menjaga daya tahan ekonomi dalam jangka pendek, Anggia mendorong pemerintah untuk memperkuat konsumsi domestik, memperbaiki regulasi investasi, serta membuka pasar ekspor baru ke kawasan seperti BRICS (Brazil, Russia, India, China, and South Africa), RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), dan Eropa. Ia juga menilai perjanjian bilateral dengan negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan Australia dapat menjadi batu loncatan penting dalam menghadapi dinamika perdagangan global yang terus berubah.
“Ketegangan ini bukan hanya tantangan, tapi juga peluang. Di tengah proteksionisme, Indonesia bisa naik kelas menjadi negara yang dipercaya sebagai mitra dagang multilateral yang stabil dan kredibel,” tegas politisi Fraksi PKB tersebut.
Namun, suara kehati-hatian juga datang dari Anggota Komisi VI DPR, Rieke Diah Pitaloka, yang menyoroti potensi dampak negatif kebijakan tarif timbal balik AS terhadap Indonesia. Ia memperingatkan tentang risiko gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan anomali deflasi akibat penurunan permintaan ekspor ke AS — yang kini memberlakukan tarif masuk hingga 32% terhadap barang dari Indonesia.
“Perang dagang ini bisa menciptakan efek domino: harga naik, daya beli turun, produksi menurun, dan akhirnya berimbas pada tenaga kerja,” ujarnya dalam keterangan, Rabu (9/4).
Ia meminta pemerintah segera menyusun kebijakan inovatif yang mampu melindungi industri nasional serta menyiapkan sistem mitigasi risiko sosial dan fiskal.
Rieke juga menyinggung soal kebijakan pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Timur Tengah, mengingat masih banyak isu perlindungan yang belum terselesaikan. “Jangan tergesa-gesa membuka kembali pengiriman PMI ke wilayah yang belum siap dari sisi perlindungan. Ini soal keselamatan dan martabat warga negara kita,” tegasnya.
Dengan kombinasi antara strategi negosiasi yang cermat dan kesadaran akan risiko yang mungkin timbul, Indonesia menunjukkan kematangan dalam menghadapi tantangan perdagangan global. Langkah diplomatik yang diambil tidak hanya memperkuat posisi negara dalam percaturan dagang internasional, tetapi juga menjaga keberlanjutan ekonomi nasional dari dalam.
Di tengah guncangan global, Indonesia hadir sebagai kekuatan stabil — negara yang tak hanya bertahan, tapi juga mencari peluang di tengah tekanan. Inilah momentum untuk menata ulang strategi dagang nasional demi masa depan yang berdaulat dan berdaya saing tinggi.