Menanti ganti rugi atas suap Airbus terhadap Garuda Indonesia
Skandal suap internasional yang membelit Airbus memasuki babak baru. Itu terjadi setelah produsen pembuat pesawat terbang asal Eropa itu dikenai hukuman denda €991 juta awal tahun ini.
Denda itu akan dibayarkan kepada otoritas Inggris setelah ditandatanganinya perjanjian Deferred Prosecution Agreement (DPA). DPA merupakan kesepakatan antara jaksa dan Airbus serta dilakukan di bawah pengawasan hakim.
Kesepakatan DPA menyebutkan hasil penyidikan yang dilakukan Badan Penanganan Kasus Penipuan Berat Inggris (UK Serious Fraud Office) atau SFO terhadap Airbus.
SFO menyelidiki Airbus atas pelanggaran UK Bribery Act 2010 terhadap anak perusahaan Airbus di Inggris. Hasil investigasi menyatakan Airbus juga menyuap sejumlah petinggi maskapai di Ghana, Taiwan, Sri Lanka, Malaysia, termasuk maskapai Garuda Indonesia asal Indonesia.
Namun, kesepakatan DPA ini belum memperhitungkan kompensasi kepada negara korban penyuapan, termasuk Indonesia Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengakui pihaknya sedang dalam proses menuntut ganti rugi itu.
"Karena mereka (Airbus) sudah melakukan DPA yang mengakui perbuatan suap serta harus membayar ganti rugi. Berarti Garuda dan Pemerintah Indonesia menuntut ganti rugi juga. Karena di dokumen (Approved Judgement dan Statement of Facts) disebutkan dugaan pemberian suap terhadap Garuda dan Citilink," ujar Irfan kepada Alinea.id, Selasa (8/12).
Proses menuntut ganti rugi itu, menurut dia, telah melalui diskusi dengan lembaga legislatif di Indonesia. Adapun pelaksanaan prosesnya dipimpin oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
"Kemenkumham ini melakukan korespondensi dengan pihak SFO di Inggris. Bahwa seharusnya Indonesia juga memperoleh bagian dari ganti rugi tersebut," lanjut Irfan.
Kendati demikian, Irfan enggan menyebutkan angka pasti total tuntutan kerugian Garuda Indonesia. Dia bilang, proses penghitungan total kerugian itu sedang dilakukan dan diestimasikan secara lebih tepat.
"Garuda tidak bisa menyampaikan. Ini sudah jadi isu negara, karena bukan Garuda yang maju," kata dia.
Berdasarkan sumber Alinea.id, perjanjian pembelian pesawat Airbus oleh Garuda Indonesia kala itu setidaknya dilakukan lebih dari sekali. Di antaranya, pada 6 Juli 2011 maskapai Garuda membeli pesawat A330 sebanyak empat buah. Kemudian, pada 2 Agustus 2011, maskapai Garuda juga membeli pesawat A330 sebanyak 15 buah.
Sementara, pada 19 Desember 2011 Garuda diketahui membeli pesawat A330 sebanyak 11 buah. Hingga, pada 20 Desember 2012 maskapai Citilink (grup Garuda), membeli Aircraft A320 sebanyak 25 buah.
Meskipun proses kasus Airbus dan Garuda saat ini berjalan, Irfan mengatakan, persoalan bisnis keduanya ke depan tidak akan terpengaruh. Sebab, ia mengklaim, proses legal dan komersial adalah dua urusan yang berbeda.
Hingga saat ini, bos Garuda itu mengaku belum ada rencana bisnis khusus yang dirundingkan satu sama lain. "Artinya, kami meneruskan hubungan yang ada dengan Airbus," ujarnya.
Pada dokumen Approved Judgement dan Statement of Facts yang merupakan bagian dari DPA, terdapat uraian hak kelima negara korban untuk mendapatkan ganti rugi atas kejahatan suap.
Isu pentingnya pemenuhan hak negara korban dalam kasus penyuapan juga telah diangkat dalam pertemuan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 17 November 2020. Penyuapan dinilai merugikan perekonomian negara secara signifikan.
“Solusi yang ditempuh untuk menyelesaikan kasus penyuapan melalui mekanisme DPA harus memperhatikan kepentingan dan hak masyarakat negara korban,” demikian disampaikan delegasi Indonesia pada pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seperti tertulis dalam dokumen yang diterima Alinea.id.
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Cahyo Rahadian Muzhar menegaskan, Indonesia mendukung proses investigasi oleh SFO dengan memberikan data-data kunci.
Ini untuk memuluskan jalan SFO hingga berhasil mengungkap skandal suap Airbus yang melibatkan sejumlah petinggi Garuda. "Kasus skandal suap tersebut sangat merugikan Garuda sebagai maskapai nasional Indonesia. Paling tidak, skandal suap telah mendorong pengambilan keputusan yang tidak tepat dan merugikan dalam proses pengadaan pesawat," ujar Cahyo, Rabu (9/12).
Dia menekankan Indonesia berhak mendapat kompensasi mengingat UNCAC mewajibkan pihak yang menyuap memberikan kompensasi kepada negara korban kejahatan korupsi, termasuk penyuapan. Upaya ini juga sejalan dengan prinsip umum SFO untuk memberikan kompensasi kepada negara korban dalam kasus penyuapan.
"Code of Practice DPA Inggris juga memperhitungkan kompensasi kepada korban sebagai salah satu pertimbangan penentuan nilai DPA," tambah Cahyo.
Untuk memastikan kompensasi itu, Indonesia meyakini komitmen Inggris sebagai sesama negara pihak pada UNCAC dalam memberantas tindak pidana korupsi, termasuk penyuapan. Semangat kerja sama internasional dalam kerangka UNCAC diyakini menjadi fondasi yang kuat bagi kedua negara untuk mencari solusi terbaik atas isu ini.
"Indonesia akan terus melakukan pendekatan persuasif dan dialog intensif pada berbagai tingkatan pemerintahan kedua negara. Kami berharap penyelesaian isu kompensasi DPA ini tidak berlarut-larut sehingga mengirimkan sinyal yang tidak baik terhadap komitmen serta semangat kerja sama yang telah dibangun selama ini," ujar Cahyo.
Jalan panjang suap Airbus
Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana mengatakan, buntut suap Airbus ini memang memiliki dua konteks. Pertama, soal adanya hak ganti rugi yang masuk dalam aspek perdata terkait dengan hak dan kewajiban.
Secara umum, ganti rugi dalam hukum perdata ini dapat timbul dikarenakan wanprestasi akibat suatu perjanjian atau dapat timbul dikarenakan oleh perbuatan melawan hukum.
Sementara, proses hukum yang menyeret para tersangka dari pejabat tinggi Garuda merupakan konteks hukum pidana. Hukum ini mengatur tindakan pengajuan perkara ke dalam tingkat pengadilan hingga pemberian sanksi.
"Ini pidana enggak boleh disamakan dengan perdata. Kalau pidana, itu terhadap orang yang punya niat dan perbuatan jahat," ujar Hikmahanto saat dihubungi Alinea.id, Senin (7/12).
Dihubungi di waktu berbeda, pakar hukum pidana Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita mengatakan kasus suap Airbus terhadap Garuda Indonesia saat ini boleh saja telah menetapkan beberapa tersangka. Namun, penetapannya tersangka itu berbeda dengan di perusahaan pabrikan yang melakukan suap.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan sejumlah tersangka. Bahkan sudah ada yang divonis. Mereka adalah mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar. Emirsyah telah divonis 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar melalui Putusan Nomor 19/Pid.Sus-TPK/2020/PT.DKI tanggal 17 Juli 2020.
Lalu, bos PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo divonis 6 tahun penjara melalui putusan Nomor 22/Pid.Sus-TPK/2020/PT.DKI tanggal 23 Juli 2020 oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Terakhir, KPK resmi menahan Hadinoto Soedigno pekan lalu.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, Hadinoto bakal ditahan di Rumah Tahanan KPK cabang Pomdam Jaya Guntur. "Untuk 20 hari pertama sejak 4 Desember hingga 23 Desember," ujar Ali melalui keterangan tertulis, Jumat (4/12).
Bersama Emirsyah Satar, eks Direktur Teknik dan Pengelolaan Armada PT Garuda Indonesia itu diduga menerima sejumlah uang dari perusahaan manufaktur terkemuka asal Inggris, Rolls Royce, atas pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS pada periode 2005-2014 oleh PT Garuda Indonesia. Uang tersebut diberikan melalui Soetikno Soedardjo, beneficial owner dari Connaught International Pte. Ltd, saat itu.
Pabrikan Airbus yang melakukan suap, menurut Romli Atmasasmita, tidak ditetapkan sebagai tersangka pidana. Pasalnya, perusahaan itu sudah diberikan DPA oleh lembaga penuntut di negara asal pabrikan tersebut.
Untuk bisa mendapatkan ganti kerugian dari pabrikan itu, ia menyebut, Garuda Indonesia mesti mengajukan gugatan arbitrase ke Mahkamah Arbitrase di Inggris sesuai dengan kontrak Garuda dan pabrikan terkait.
Lalu, gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Jakpus terhadap pabrikan Airbus dilakukan dengan catatan pabrikan-pabrikan tersebut harus sudah ditetapkan sebagai tersangka. "Lebih lengkap lagi, jika pabrikan sebagai pemberi suap ditetapkan sebagai tersangka dulu," ujarnya kepada Alinea.id, Selasa (8/12).