close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Manajemen dan pekerja PT. Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) menyambut kunjungan anggota Komisi VII DPR di pabrik Sritex, Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (7/11/2024)./Foto Instagram @sritexindonesia
icon caption
Manajemen dan pekerja PT. Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) menyambut kunjungan anggota Komisi VII DPR di pabrik Sritex, Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (7/11/2024)./Foto Instagram @sritexindonesia
Bisnis - Industri
Selasa, 26 November 2024 06:24

Menanti payung hukum "penyelamat" industri tekstil

DPR menyiapkan RUU Pertekstilan untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025.
swipe

Menyusul status pailit perusahaan tekstil PT. Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Sukoharjo, Jawa Tengah, DPR bakal menyiapkan undang-undang khusus tekstil. Tak tanggung-tanggung, menurut anggota Komisi VII DPR Muhammad Hatta, ada dua undang-undang yang disiapkan, yakni Undang-Undang Perindustrian dan Undang-Undang Sandang.

“Jadi, kami atur industrinya. Lebih spesifik lagi, kami membuat satu lagi Undang-Undang Sandang, jadi dua undang-undang. Sudah kami setujui di Komisi VII (DPR), sudah masuk Baleg (Badan Legislatif), sudah masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional),” ujar Hatta di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (15/11), seperti dikutip dari Antara.

Pada Senin (18/11), Baleg DPR bersama pemerintah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertekstilan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025, bersama 40 RUU lainnya. Beleid tersebut bakal fokus pada industri tekstil supaya masalah seperti yang dialami PT. Sritex tak terulang lagi. Industri tekstil dalam negeri memang memerlukan payung hukum agar terlindung dari gempuran tekstil impor.

Apalagi, menurut Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, selama dua tahun terakhir, sudah ada 30 pabrik tekstil yang tutup. Hal itu menyebabkan banyak karyawan kehilangan pekerjaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK).

Dia menilai, perlu ada Undang-Undang Pertekstilan untuk melindungi industri tekstil dalam negeri. Selain itu, Redma mengusulkan agar UU Pertekstilan mengatur soal jaminan pasar domestik bagi produk lokal, serta mengatur insentif untuk mendorong integrasi industri dan industri hijau.

“Kepastian suplai energi hijau dengna harga bersaing, produktivitas tenaga kerja, hingga akses permodalan,” kata Redma kepada Alinea.id, belum lama ini.

Redma menyebut, komoditas tekstil dan produk tekstil (TPT) selalu digaungkan sebagai sektor strategis oleh pemerintah. Akan tetapi, belum ada keberpihakan pemerintah untuk sektor industri tekstil. Pangkalnya, selalu ada tarik ulur antarkementerian dan lembaga dalam melindungi industri tekstil.

“Diharapkan dengan adanya UU, bisa menjadi payung hukum agar koordinasi antarkementerian dan lembaga tidak ada hambatan. Saat ini, utilisasi nasional rata-rata 45%,” tutur Redma.

Senada, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja menilai, UU Pertekstilan sangat dinanti pelaku usaha tekstil, yang saat ini sudah babak belur menahan impor produk tekstil. Dia menilai, dalam RUU Pertekstilan, perlu banyak poin utama yang diorientasikan menjaga pasar tekstil dalam negeri semaksimal mungkin.

“Untuk menjaga industri TPT dan IKM (industri kecil menengah) TPT Indonesia (agar) tidak berguguran,” kata Jemmy, beberapa waktu lalu.

Jemmy mengatakan, saat ini pasar domestik banyak dikuasai produk tekstil impor. Bahkan, utilitas industri atau unit pendukung proses dan sarana penunjang yang membantu kelancaran operasional pabrik, kondisinya sudah banyak yang di bawah 50%.

“Selain Sritex yang sedang berjuang, terakhir Asia Pacific Fibers yang berlokasi di Karawang juga memutuskan tutup. Kalau ini dibiarkan berlanjut, akan ada pabrik lainnya (yang tutup),” ujar Jemmy.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan