Menanti tuah anggaran pemilu serentak bagi gerak perekonomian
Tepat setahun lagi, persisnya 14 Februari 2024, Pemilihan Umum (Pemilu) akan kembali digelar. Untuk kedua kalinya setelah Pemilu 2019, pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Presiden serta Wakil Presiden akan dilaksanakan serentak.
Pemilu yang disepakati bakal menggunakan sistem terbuka ini menelan anggaran tiga kali lipat lebih besar dibandingkan Pemilu Serentak 2019 dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) serta Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014. Padahal, sejatinya Pemilu Serentak 2024 ini digadang-gadang dapat menghemat ongkos logistik pesta demokrasi.
Pada Pemilu 2024 ini, pemerintah menyepakati anggaran sebesar Rp76,6 triliun. Anggaran akan digelontorkan tiga tahap. Pertama, pada 2022 sebesar Rp8,06 triliun, di 2023 senilai Rp23,8 triliun, kemudian di tahun 2024 Rp44,7 triliun. Anggaran terbagi dua jenis, yakni dana tahapan pemilu sebesar Rp63,40 triliun dan anggaran dukungan tahapan pemilu Rp13,25 triliun.
Sementara pada Pemilu 2019, pemerintah hanya menganggarkan sebesar Rp25,59 triliun, yang juga diberikan secara bertahap. Pada tahun 2017 sekitar Rp465,71 miliar, 2018 senilai Rp9,33 triliun, dan pada tahun penyelenggaran Pemilu 2019 Rp15,79 triliun. Pada Pemilu 2014, tercatat pemerintah menganggarkan dana senilai Rp15,62 triliun.
“Kenaikan ini wajar, karena ada peningkatan inflasi setiap tahunnya,” kata Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet, kepada Alinea.id, Senin (6/2).
Ongkos pesta rakyat masih mungkin membengkak, mengingat setelah pemilu usai bakal disusul langsung dengan gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada November 2024. Dari hitung-hitungan penyelenggara, momen Pemilu dan Pilkada 2024 setidaknya membutuhkan anggaran hingga Rp110,4 triliun.
Karena biayanya yang tidak sedikit, Pemilu Serentak 2024 ini diharapkan bisa memberikan dampak penting bagi perekonomian domestik. Dengan catatan, kalau kampanye dilakukan secara langsung dan tidak terlalu banyak menggunakan media sosial.
“Kalau melihat tren sebelumnya, kebanyakan kampanye pemilu dilakukan melalui media sosial. Kalau berlanjut, tambahan uang beredar untuk belanja pemilu tidak akan terlalu signifikan dampaknya ke perekonomian,” jelas Yusuf Rendy.
Sebaliknya, jika kampanye digelar secara luring, seperti menggelar konser rakyat untuk mempromosikan calon presiden dan wakil presiden, calon anggota DPR, DPRD, dan DPD, serta calon pemimpin daerah akan lain ceritanya. Sebab, dengan mengadakan gelaran konser hingga pengajian akbar akan ada banyak sektor bisnis yang dilibatkan.
Mulai dari penyelenggara acara (event organizer), sewa tempat, penyewaan sound system, makanan dan minuman, pembuatan kaos dan sablon kaos, hingga merembet kepada pedagang-pedagang kecil yang menjajakan dagangannya di sekitar lokasi kampanye.
Yusuf bilang, jika melihat tahun-tahun sebelumnya kampanye yang digelar langsung dapat mendongkrak konsumsi rumah tangga 2%-3%. Sebaliknya, jika kampanye dilakukan lebih banyak menggunakan media sosial, konsumsi rumah tangga diperkirakan hanya akan tumbuh di sekitar 1%-1,5%.
“Untuk inflasi, mungkin efek uang beredar selama tahun pemilu tidak akan berdampak besar. Secara historis, cuma menyumbang 0,50%. Tapi yang besar dampaknya ke sektor produk atau jasa yang diproduksi untuk keperluan kampanye,” imbuhnya.
Perbandingan Anggaran Pemilu 2014, 2019, dan 2024
Peruntukan |
Pagu Anggaran 2014 |
Pagu Anggaran 2019 |
Pagu Anggaran 2024* |
Penyelenggaraan |
Rp15,62 triliun |
Rp25,59 triliun |
Rp25,01 triliun |
Pengawasan |
Rp3,67 triliun |
Rp4,85 triliun |
|
Pendukung (Keamanan) |
Rp1,7 triliun |
Rp3,29 triliun |
Sumber: Kementerian Keuangan.
Dampak perputaran uang
Hal ini diamini CEO & Presiden Direktur PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Afifa. Dia bilang, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, pemilu kali ini juga dapat berdampak positif terhadap perekonomian nasional. Bahkan, secara historis perputaran uang di masa-masa pemilu cenderung meningkat. Pun penjualan ritel yang biasanya naik dua kuartal menjelang hari Pemilu.
“Di tahun 2024 pemilu presiden dan legislatif dilakukan serentak, membuat belanja pemilu dapat lebih tinggi dari biasanya, dan pada akhirnya diharapkan dapat menopang komponen konsumsi bagi pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) 2023,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (3/2).
Bank Indonesia (BI) mencatat terjadi kenaikan uang beredar menjelang Pemilu 2014. Hingga Maret 2014, jumlah uang beredar mencapai Rp448 triliun, naik 0,1% dibandingkan Februari yang sebanyak Rp442 triliun. Dengan jumlah uang kartal yang mendominasi merupakan pecahan Rp100 ribu dan Rp50.000.
Sementara di 2019, tepatnya pada Maret atau sebulan menjelang masa pemungutan suara, Bank Sentral juga mencatat ada peningkatan jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) hingga 6,5% secara tahunan (year on year) menjadi Rp5.744,2 triliun. Pun dari bulan sebelumnya, uang beredar hanya mencapai Rp5.671,2 triliun.
“Sesuai dengan pola musiman, tahun ini kemungkinan uang kartal yang beredar di masyarakat juga akan mengalami kenaikan menjelang pemilu. Terutama saat masa kampanye,” ungkap Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual kepada Alinea.id, Kamis (2/2).
Sebagai informasi, sebelumnya DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyepakati, masa kampanye akan dilaksanakan selama sekitar tiga bulan, mulai dari 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024.
Meski sudah dapat dipastikan uang beredar di masyarakat bakal naik, David belum dapat mengukur seberapa besar perputaran uang selama masa kampanye. Sebab, hal ini akan sangat dipengaruhi oleh banyaknya uang yang dibelanjakan baik oleh pemerintah maupun oleh partai politik atau calon-calon presiden dan wakil presiden serta para calon anggota legislatif.
“Tapi, mengingat besarnya dana pemilu dan setelah pemilu juga akan langsung diadakan pilkada serentak, jumlah perputaran uangnya bisa jadi akan lebih besar dari tahun lalu,” lanjutnya.
Karena helatan pemilu diadakan pada Februari 2024, belanja terkait pemilu ini akan banyak dilakukan di paruh kedua tahun 2023. Sehingga, dampak ekonomi pesta demokrasi terhadap perekonomian domestik akan lebih terlihat di penghujung tahun ini ketimbang tahun 2024.
“Tapi tergantung juga, kalau ada pemilu putaran kedua, baik perputaran uang di masyarakat, konsumsi rumah tangga, sampai peningkatan UMKM masih dapat dirasakan di 2024. Apalagi Pilkada juga dilaksanakannya di semester-II 2024,” kata David.
Chief Economist Mandiri Sekuritas Leo Putera Rinaldy pun sepakat, Pemilu 2024 yang kemudian dilanjutkan dengan Pilkada bakal menyumbang sekitar 0,6% hingga 1,3% terhadap PDB Indonesia. Dengan perkiraan perputaran dana yang masuk ke masyarakat mencapai Rp118,9 triliun-Rp270,3 triliun.
“Sekitar 90% suntikan dana itu akan terjadi pada paruh kedua tahun 2023. Sehingga itu bisa sekaligus menjadi penyokong pertumbuhan ekonomi di tahun ini,” jelasnya saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (4/2).
Multiplier effect
Salah satu yang menjadi pendorong terjadinya suntikan dana itu ialah meningkatnya konsumsi rumah tangga, terutama yang berasal dari konsumsi partai politik dan calon anggota legislatif. Konsumsi ini, kata ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, paling besar akan berpengaruh pada masyarakat menengah ke bawah.
“Dari pemilu ini bisa mendorong berbagai jenis lapangan usaha musiman, seperti panitia pemungutan suara (PPS) yang ada di daerah-daerah. Dari situ dia mendapatkan pemasukan baru yang akhirnya akan meningkatkan konsumsinya,” katanya, kepada Alinea.id, Rabu (8/2).
Dari sisi lapangan usaha, yang mendapat cipratan cuan dari pesta demokrasi lima tahunan ini tak lain adalah sektor perhotelan, restoran, cetak sablon, garmen, lembaga survei, digital marketing, hingga periklanan elektronik maupun cetak. Hal ini karena di lapangan-lapangan usaha inilah partai politik biasanya menghabiskan banyak anggaran kampanye.
“Terutama untuk iklan di televisi dan sewa hotel atau ruang pertemuan,” imbuh Bhima.
PT Sigi Kaca Pariwara mencatat, pada Pemilu Serentak 2019 belanja iklan untuk kampanye di 13 stasiun televisi mencapai Rp608,98 miliar. Dengan total penayangan sebanyak 14.234 iklan televisi dalam periode 24 maret-13 April 2019. Sedangkan pada Pileg 2014, biaya iklan dalam periode 16 Maret-5 April 2014 tercatat mencapai Rp340 miliar.
Sementara saat Pilpres 2014, biaya iklan mencapai Rp186,6 miliar, pada periode 4 Juni – 5 Juli 2014 dengan 5.775 spot iklan calon presiden (capres) dan wakil presiden (wapres) di 13 stasiun TV nasional.
Industri perhotelan, di saat yang sama juga mencatatkan peningkatan hunian hingga 10% pada periode Januari-Februari, atau menjelang pemilu 2014. Dari catatan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), peningkatan okupansi ini terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia.
Sayangnya, kegiatan kampanye pada Pemilu 2019 yang tidak terlalu banyak di tahun 2018 akhir hingga kuartal-I 2019 tidak cukup mampu menggairahkan industri perhotelan. Di Jakarta misalnya, wilayah dengan pergerakan partai politik terbanyak, tingkat hunian hotel hanya 55% di kuartal-I 2019, lebih rendah dari periode yang sama di tahun 2014 yang masih sebesar 60%.
Pada Pemilu 2024 mendatang, Head of Research Colliers Indonesia Ferry Salanto memperkirakan momen kampanye pemilu bakal memberi keuntungan besar pada bisnis perhotelan, khususnya di tahun 2023. Hal ini tercermin dari kegiatan MICE (Meetings, Incentives, Conventions, Exhibitions) yang telah ramai digelar di hotel-hotel.
“Keuntungan yang akan diraih industri perhotelan ini berasal dari kegiatan-kegiatan partai politik yang mengadakan konsolidasi internal atau kegiatan yang berhubungan dengan persiapan menuju Pemilu 2024,” katanya, dalam keterangannya kepada Alinea.id belum lama ini.
Optimisme investor
Selain perhotelan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno dalam keterangan tertulisnya, Kamis (19/1) lalu, juga memperkirakan Pemilu 2024 akan memberikan angin segar pada industri restoran dan kafe-kafe. Sebab, menurutnya ke depan bakal banyak diskusi politik yang bakal digelar.
Untuk menangkap peluang ini, para pebisnis di sektor hotel, restoran, dan kafe pun diharapkan dapat meningkatkan investasinya mulai dari tahun ini. “Jadi kalau ditanya gimana tahun politik? Don’t worry. Justru di tahun politik ini bukan tahun wait and see, tapi tahun yang penuh peluang bagi investor,” jelasnya.
Ihwal investasi, Direktur Strategi dan Kepala Makro Ekonomi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat memiliki pendapat berbeda. Menurutnya, mendekati pemilu, para investor terutama asing cenderung akan menunggu dan melihat bagaimana suasana pascapemilihan dan juga siapa yang menjadi pemenang dalam pemilu hingga siapa saja yang menduduki kabinet di pemerintahan terpilih tersebut. Hal inilah yang kemudian membuat investasi melambat.
“Investor akan menunggu pelaksanaan pemilu, apakah aman? Dan pemenang pemilu apakah nanti akan yang progresif?” tuturnya, kepada Alinea.id, Kamis (2/2).
Kalau jawabannya ya, bisa dipastikan pertumbuhan investasi akan cukup tinggi. Pada Pemilu 2019 misalnya, dengan agenda lima tahunan yang berjalan lancar dan tanpa ada penolakan berarti terhadap kemenangan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin kala itu membuat pasar saham positif. Tidak hanya itu, terpilihnya pasangan Presiden dan Wakil Presiden ini nampaknya juga sudah sesuai dengan ekspektasi pasar.
Sehingga tak heran jika Pemilu 2019 disusul dengan kinerja pasar saham yang memuaskan. Seperti pada perdagangan Kamis, 18 April 2019 atau sehari pascapemilu, indeks harga saham gabungan (IHSG) dibuka menguat di level 6.568,845. Angka ini lebih tinggi dibanding penutupan perdagangan di hari sebelumnya yang hanya di level 6.481,542.
Kinerja IHSG bulanan pada tahun pemilu 2009, 2014 dan 2019 (persentase)
Sumber: Bareksa dan IDX
Pada periode ini, investor asing juga gencar melakukan beli bersih senilai Rp1,43.triliun, yang kemudian membuat IHSG pada perdagangan hari itu menguat. Aksi beli bersih ini terbilang agresif, lantaran tiga hari sebelumnya asing tercatat melakukan jual bersih sebesar Rp1,95 triliun.
Pun dengan tahun Pemilu 2014, di mana kala itu IHSG menunjukkan penguatan rata-rata hingga 22,29%. Dengan indeks harga saham di level 5.226,95 di akhir 2014, sementara di akhir tahun 2013 IHSG menutup tahun dengan bertahan di level 4.274,18.
“Namun jika yang terjadi sebaliknya, saya khawatir kinerja investasi justru akan melemah. Untuk pemilu kali ini, suasana bisa hangat tapi harapan saya tidak membakar,” harapnya.
Sementara jika dilihat dari sektornya, bidang usaha maupun emiten yang diperkirakan bakal terciprat berkah tahun politik antara lain, sektor telekomunikasi, media, serta makanan dan minuman. Hal ini tak lain karena belanja pemilu secara langsung bakal digelontorkan untuk sektor-sektor tersebut.
Jika pada Pemilu 2019 tercatat terjadi peningkatan pengeluaran konsumsi bulanan masyarakat hingga 8,51% di akhir tahun 2018, tahun ini konsumsi diperkirakan akan naik lebih tinggi karena Pilpres dan Pileg dilakukan serentak. Tidak hanya itu, pada November 2024 juga bakal disusul dengan Pilkada serentak.
"Sentimen itu memperkuat revenue growth potential secara keseluruhan ke emiten terkait di sektor consumer non-cyclicals," ujar Equity Research Analyst Phintraco Sekuritas Alrich Paskalis Tambolang, kepada Alinea.id, Jumat (8/2).