Menarik minat milenial terjun ke pertanian
Setelah lulus dari Fakultas Pertanian di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2018, Shofi (25 tahun) memilih untuk pulang ke Jakarta dan melanjutkan hobinya sebagai pengajar privat. Sesekali, Shofi menengok lowongan pekerjaan dari berbagai institusi pemerintahan maupun swasta yang dapat mengakomodir keahliannya di bidang agronomi.
Tetapi, selang setahun setelah kelulusan, lowongan yang diidam-idamkan tidak kunjung datang. Shofi mengeluh, kebanyakan lowongan di industri agrikultura hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Terpaksa, katanya, ia pun mengambil lowongan yang tersedia untuk dirinya.
“Gue ditawarin kerja jadi asisten konsultan pajak dari bokapnya anak didik gue. Mau enggak mau gue ambil, daripada enggak ada kerjaan,” tutur Shofi saat berbincang dengan Alinea.id belum lama ini.
Shofi mengaku, sebetulnya dia ingin juga mengaplikasikan keahliannya untuk mengelola sawah atau kebun. Tetapi, impian itu terhalang oleh sulitnya permodalan dan lahan. “Gue pikirnya realistis saja. Jadi petani ‘kan enggak gampang, butuh modal dan lahan. Penghasilannya juga belum tentu bisa sesejahtera pekerjaan gue sekarang,” tambahnya.
Shofi barangkali hanya satu dari sekian banyak alumnus IPB yang memilih berkarier di luar jurusan kuliahnya. Masalah kesejahteraan dan stigma negatif kepada petani—yang kotor dan miskin—merupakan persoalan utama yang membuat orang ogah terjun ke industri pertanian.
Hal ini diakui oleh Duta Petani Muda (2016-2018), Apni Olivia Naibaho. Menurut Apni, sebagian besar kalangan muda masih menganggap petani sebagai pekerjaan rendah dan tidak bonafid. Stigma ini muncul lantaran problem struktural di Indonesia yang terus melanggengkan opini bahwa petani hanyalah warga kelas tiga. Sehingga wajar, banyak kalangan terdidik yang enggan ‘turun derajat’ menjadi petani.
“Bahkan dari 10 orang Duta Petani Muda zaman saya dulu. Cuma 3 orang saja yang dari lulusan pertanian,” terang wanita yang merupakan pemilik lokapasar Siantar Sehat (SiSe) tersebut kepada Alinea.id.
Di ambang senja
Melihat kenyataan itu, wajar jika kini banyak kalangan yang menilai bahwa industri pertanian Indonesia sudah sampai di ambang senja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menunjukkan, dari 33,4 juta petani Indonesia, sekitar 75% nya didominasi kalangan tua. Sementara yang berusia 20-34 tahun tidak lebih dari 15% atau 4,8 juta orang.
Banyak faktor yang menyebabkan krisis regenerasi petani ini. Hasil studi Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) pada 2015 lalu menunjukkan, ada beberapa variabel utama yang menjadi alasan mengapa banyak kalangan muda ogah terjun ke industri pertanian.
Survei ini mengambil populasi sampel di empat lokasi, yakni Tegal, Kediri, Karawang, dan Bogor. Mereka yang menjadi respondennya merupakan anak-anak petani padi dan hortikultura.
Hasilnya, 70% anak petani padi mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi petani. Angka ini berbanding terbalik dengan anak petani hortikultura yang 60% di antaranya mengaku sempat bercita-cita sebagai petani.
Meski ada sebagian kecil anak petani yang ingin melanjutkan pekerjaan orang tuanya, tetapi KRKP menemukan masih ada sejumlah kendala bagi mereka. Salah satunya adalah keterbatasan informasi dan pengetahuan.
Sebanyak 64% anak petani padi mengaku tidak pernah diajarkan soal pertanian oleh orang tuanya. Demikian juga dengan 86,7% anak petani hortikultura mengaku tidak pernah diajarkan orang tuanya soal pertanian.
Selain itu, keprihatinan terhadap industri pertanian juga menjadi faktor yang turut berperan dalam menyusutkan keinginan anak muda untuk terjun di industri pertanian. Riset KRKP menunjukkan bahwa 42% anak petani padi mengira bahwa kondisi pertanian kini masih memprihatinkan, sisanya 30% menyatakan biasa saja dan membanggakan (28%).
Adapun pada anak petani hortikultura, 66,7% mengaku bidang pertanian memprihatinkan. Sisanya menyatakan biasa saja (26,7%) dan hanya 6,7% yang menganggap industri pertanian sudah membanggakan.
Hasil riset ini menjadi amat wajar jika mengingat realitas kelompok miskin Indonesia yang kini masih didominasi oleh keluarga petani. Data BPS 2019 memperlihatkan bahwa dari 29,7 juta orang miskin di Indonesia, sekitar 49,41% didominasi oleh pekerja di sektor pertanian, 30,06% dari sektor lain-lain, dan 6,51% dari sektor industri.
Data ini selaras dengan tingkat penghasilan buruh tani Indonesia yang hingga Juli 2020 masih berada pada angka Rp55.613 per hari. Nilainya hanya naik 0,32% dibandingkan Juli 2019 yang berada pada level Rp52.184.
Pun demikian dengan Nilai Tukar Petani (NTP) yang angkanya masih sangat fluktuatif pada kisaran 99,60 sampai 104,16 per tahun. NTP menunjukkan perbandingan modal dan pendapatan petani. Jika angkanya berada di bawah 100, maka petani merugi. Sebaliknya, jika lebih dari 100 maka untung.
Kesejahteraan dan permodalan
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, tingkat kesejahteraan petani ini juga yang menjadi salah satu faktor mengapa kalangan muda emoh terjun di industri pertanian. Beberapa masalah lawas, seperti permodalan, sempitnya lahan, rantai distribusi yang berbelit, konflik agraria masih menjadi momok yang terus menghantui industri pertanian.
“Generasi muda, mereka tidak mau terjun di agrikultur karena sulit, mereka tidak punya tanah dan banyak masalah-masalah lain (yang jadi penghalang),” tutur Henry dalam webinar bertajuk “Land without farmers: Invest in agriculture”, Selasa (1/9).
Dalam diskusi yang sama, Co-Founder TaniHub Group Pamitra Wineka turut menyampaikan pendapat senada. Menurut Eka, begitu ia akrab disapa, faktor-faktor permasalahan tadi menjadi penyebab mengapa kesejahteraan petani Indonesia masih sangat memprihatinkan sampai sekarang.
Misalnya dalam permodalan. Sebagian besar petani masih bergantung pada rentenir yang notabene selalu mematok bunga besar. Ini menyebabkan penghasilan petani turut tergerus ketika panen raya tiba sebab mereka harus membayar utang dengan bunga yang berkali-kali lipat lebih besar.
Pernyataan Eka ini selaras dengan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016 yang menunjukkan, sekitar 52% petani masih mengandalkan koperasi, kerabat dan lembaga keuangan nonbank untuk akses permodalan. Hanya 15% petani yang bisa mengakses permodalan dari perbankan.
“Waktu kami bicara dengan mereka (perbankan), mereka bilang, terlalu berisiko memberikan pinjaman kepada petani,” ungkap Eka.
Masalah lain yang juga cukup berpengaruh terhadap kesejahteraan petani adalah panjangnya rantai distrubisi. Eka menyebut, ada setidaknya 8 tempat perhentian sebelum akhirnya produk pertanian sampai ke tangan konsumen.
Faktor ini menyebabkan disparitas harga yang cukup tinggi antara harga jual petani dengan harga yang diterima konsumen, yakni 100-200%. Misal saja harga cabai dari petani hanya Rp1.000 per kilogram maka konsumen bisa membelinya dengan harga Rp2.000-3.000 per kilogram.
Selain itu, rantai pasok yang cukup panjang juga menimbulkan potensi kemubaziran hingga 50%. Dalam kata lain, banyak hasil pertanian yang akhirnya terbuang sia-sia dalam perjalanan menuju ke konsumen.
“Inilah yang sekarang kami lakukan di Tanihub. Melalui TaniFund, TaniSupply, dan Tanihub, kami mencoba agar proses (distribusi dan permodalan) ini lebih efisien dan optimal,” beber Eka.
TaniSupply didesain untuk memotong rantai pasok produk pertanian agar menjadi semakin ringkas. Produk-produk yang masuk ke TaniSupply akan disortir dan dipilah kualitasnya untuk dapat ditentukan harga yang pas.
Setelah semua proses ini selesai, produk tersebut akan disalurkan ke seluruh jaringan pasar TaniHub Group, baik toko buah dan sayuran, pabrik makanan, perhotelan, restoran, serta pasar swalayan. Sebagian produk juga bisa disalurkan langsung melalui aplikasi TaniHub untuk dibeli secara retail.
Di masa pandemi Covid-19 yang menuntut pembatasan interaksi manusia, aplikasi seperti TaniHub mutlak dibutuhkan untuk mengurangi risiko penularan. Dengan TaniHub, konsumen bisa membeli produk pertanian secara daring tanpa harus berdesak-desakan di pasar.
Sedangkan TaniFund didesain menjadi jembatan untuk menemukan antara pemodal dan peminjam dari sektor pertanian. Aplikasi ini menerapkan sistem teknologi finansial (fintek) peer to peer (p2p) lending. TaniFund membantu petani untuk mendapatkan permodalan melalui investor yang berminat menempatkan investasinya di industri agrikultur.
“Ini upaya kami mereduksi disparitas harga di sektor pertanian dan memberikan benefit kepada petani, sekaligus juga mengurangi ongkos yang dikeluarkan konsumen untuk membeli produk pertanian,” tutur Eka.
Diharapkan dengan hadirnya aplikasi semacam TaniHub ini, kesenjangan penghasilan dan kesejahteraan yang menjadi masalah utama regenerasi petani pun dapat terselesaikan. Inklusi permodalan dan digitalisasi pasar yang ditawarkan bisa menjadi modal besar untuk menggaet kalangan milenial agar mau terjun ke industri pertanian.
Seperti yang disampaikan Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian (Kementan) Dedi Nursyamsi, industri pertanian harus inovatif dan menguntungkan agar bisa membujuk anak muda turun ke sawah dan ladang.
“Kalau menguntungkan, itu semut-semut akan berdatangan dengan sendirinya. Termasuk bank itu dia akan mencari-cari untuk memberikan kredit,” ungkap Dedi saat dihubungi Alinea.id, (3/9).
Menurut Dedi, aplikasi seperti TaniHub ini perlu mendapat dukungan penuh agar bisa memekarkan kesejahteraan petani, sekaligus juga meningkatkan efisiensi di industri pertanian.
“Jadi, aplikasi-aplikasi yang dikembangkan oleh TaniHub, anak-anak muda kita, harus terus didorong, harus terus dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi di industri pertanian itu,” tegas Dedi.
Upaya Kementan
Di luar itu, Kementan juga telah melakukan sejumlah upaya untuk dapat mempercepat regenerasi petani muda. Salah satunya dengan membangun 7 Politeknik Pembangunan Pertanian di beberapa wilayah di Indonesia yang alumnusnya dijamin bakal menjadi calon petani milenial berkualitas.
Kementan, sambung Dedi, juga telah menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah, kabupaten kota dan provinsi untuk memberangkatkan petani-petani milenial magang di negara-negara dengan sistem pertanian yang maju. Beberapa negara yang ditunjuk, antara lain Jepang, Australia, dan Taiwan.
“Sehinga nanti dia pulang bisa mempraktikannya. Selain budidaya, juga dia bisa mengelola hasil panennya seperti apa, pengemasannya seperti apa, hingga pemasaran,” beber Dedi.
Adapula program Penumbuhan Wirausaha Muda Pertanian (PWMP) yang kini tengah digalakkan Kementan. Program ini menitikberatkan pada upaya pendampingan dan pemberian insentif bagi kalangan muda yang ingin terjun sebagai petani. Bagi mereka yang mau menjadi petani akan diberikan dana Rp15 juta-Rp34 juta sebagai modal awal.
“Bisa digunakan untuk modal beli sarana produksi pertanian, dan lain sebagainya sehingga dana itu bisa bergulir, bisa berputar, sehingga mereka juga bisa lebih PD (percaya diri) dalam memulai bisnisnya,” kata dia.
Namun demikian, Dekan Fakultas Pertanian Universita Gajah Mada (UGM) Jamhari mengingatkan, dalam menjalankan program-program ini, Kementan mesti melakukan kajian akademis terlebih dahulu terkait seberapa banyak petani muda yang dibutuhkan. Jangan sampai, katanya, alih-alih memperkuat ketahanan pangan, regenerasi petani justru menjadi bumerang yang menambah jumlah orang miskin baru.
Perlu juga dilakukan kajian terkait jumlah lahan yang tersedia dan yang akan ditinggalkan oleh petani dalam beberapa tahun mendatang. Sehingga ketika anak-anak muda Indonesia siap terjun ke industri pertanian, lahan yang dibutuhkan pun sudah tersedia.
“Jadi tidak semua anak muda tiba-tiba didorong untuk ikut ke dalam sektor pertanian saja,” pungkas Jamhari kepada Alinea.id.