Mencari untung dari 'roller coaster' Bitcoin
Wildan (25) menjajal peruntungannya berinvestasi perdana ke Bitcoin. Terdorong rasa penasaran, ia akhirnya memilih mata uang digital ini untuk mendulang cuan. Keinginan itu timbul setelah dia aktif membaca berita, utamanya dari luar negeri yang gencar menyorot Bitcoin.
Termasuk soal pamor Bitcoin yang kian populer hingga prospeknya yang dinilai bakal menjanjikan. Memang, Bitcoin kini termasuk salah satu jenis aset kripto atau cryptocurrency yang menggunakan teknologi blockchain.
"Awal tertariknya iseng-iseng. Aku baru Desember 2020 kemarin, aku pelajari pelan-pelan," ujar Wildan saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (14/2).
Berbekal pengetahuan dari selancar internet itulah, karyawan swasta di Jakarta ini mulai menyisihkan uang ratusan ribu rupiah untuk membeli Bitcoin. Untuk bisa memulai trading, Wildan mesti mengakses marketplace yang menjual aset kripto seperti Bitcoin. Dia memilih PT Crypto Indonesia Berkat (Tokocrypto).
Nomor | Nama perusahaan |
1. | PT Crypto Indonesia Berkat (Tokocrypto). |
2. | PT Upbit Exchange Indonesia. |
3. | PT Indodax Nasional Indonesia. |
4. | PT Pintu Kemana Saja. |
5. | PT Tiga Inti Utama. |
6. | PT Zipmex Exchange Indonesia. |
7. | PT Bursa Kripto Prima. |
8. | PT Luna Indonesia Ltd. |
9. | PT Rekeningku Dotcom Indonesia. |
10. | PT Indonesia Digital Exchange. |
11. | PT Cipta Koin Digital. |
12. | PT Triniti Investama Berkat (Bitocto). |
13. | PT Plutonext Digital Aset. |
"Aku coba masih sedikit sih, sekitar Rp500.000-an. Enggak berani banyak, karena geraknya ngeri," imbuh Wildan.
Lelaki asal Malang, Jawa Timur ini juga tak mau gegabah mengingat pergerakan Bitcoin relatif fluktuatif. Alih-alih melakukan spekulasi perdagangan, dia memilih untuk menyimpan aset kriptonya itu sebagai investasi.
Di lain sisi, Wildan mengaku dirinya juga masih mempelajari pola investasi di Bitcoin. Menurutnya, menanam modal di Bitcoin ini relatif berbeda dengan berinvestasi saham yang bisa dianalisis secara fundamental dan teknikal.
"Kalau di saham kan ada ARA (Auto Reject Atas) dan ARB (Auto Reject Bawah), kalau Bitcoin kan lepas saja. Enggak ada yang ngatur, yang mengatur kan algoritma," imbuhnya.
Selama berinvestasi, Wildan sudah merasakan dinamika pergerakan nilai Bitcoin yang naik-turun bak 'roller coaster'. Bahkan dirinya pernah mengalami minus puluhan persen. Namun, selang sehari investasinya itu bisa berbalik surplus hingga 100%.
Berbeda dengan Wildan yang tergolong baru di dunia Bitcoin, Kurniawan (49) sudah berinvestasi Bitcoin sekitar lima tahun. Perkenalannya dengan aset kripto ini bermula dari aktivitasnya sebagai blogger.
"Kalau soal fluktuasi memang semua investor Bitcoin sangat sadar pasti grafiknya naik turun. Berdebar-debar kalau diikuti, tapi aku kan bukan pemain jangka pendek," ujar Kurniawan kepada Alinea.id, Minggu (14/2).
Ia mengaku hanya menjual Bitcoin ketika benar-benar sudah untung. Kurniawan juga mengaku cukup beruntung karena pernah mendapatkan Bitcoin secara cuma-cuma. Caranya, dengan menulis di platform yang imbalannya adalah 'like' pembaca berupa token Bitcoin. Ia juga sesekali mengikuti give away Bitcoin.
Lelaki yang berdomisili di Jakarta itu menghitung bisa mengantongi uang hingga Rp4 jutaan dalam aksi sekali jual aset kripto Bitcoin. Dalam setahun, Kurniawan setidaknya bisa satu atau dua kali menjual aset kriptonya.
"Aku bisa dibilang enggak pernah rugi, karena modalnya kan dari reward yang dapat dari nge-blog. Jadi sebenarnya, tidak ada modal finansial tertentu yang aku investasikan," jelasnya.
Selain mengikuti perkembangan informasi Bitcoin dari internet, Kurniawan juga telah mempunyai komunitas sesama investor Bitcoin. Dia bilang, ada pula kawannya yang bisa sampai mengeruk keuntungan bersih sampai Rp2 juta per bulan.
Mengenal Bitcoin
Financial Times menyebut Bitcoin sebagai serangkaian kode komputer. Dus, sebetulnya mata uang kripto ini bukan mata uang sama sekali. Bitcoin ini baru bisa diciptakan oleh komputer dengan memecahkan teka-teki rumit yang berlaku sampai batas waktu yang disepakati. Adapun transaksinya dicatat dalam sebuah basis data yang dikenal dengan blockchain.
Layaknya aset-aset lainnya seperti emas, Bitcoin ini tidak secara langsung bisa mewujud sebagai pendapatan. Bitcoin harus dijual untuk mewujudkan nilai. Selain itu, Bitcoin juga bisa ditransfer secara peer to peer.
Bitcoin sebagai aset kripto mulai dikenal secara global sejak satu dekade lalu. Paper akademis berjudul: “Bitcoin: A Peer to Peer Electronic Cash System” karya Satoshi Nakamoto dianggap sebagai sumber awal terciptanya cryptocurrency.
Melansir Techfor, perjalanan Bitcoin secara perlahan mulai menarik perhatian pada sekitar 2013. Ini berkaitan dengan banyaknya inflasi besar dalam mata uang. Aset kripto itu, bahkan melonjak dari nilai US$100 per koin menjadi US$1.000 per koin dalam kurun waktu sebulan.
Lonjakan Bitcoin itu, bahkan sempat menarik perhatian media seperti Business Insider melalui tulisan berjudul: “I’m Changing My Mind About Bitcoin”. Padahal, beberapa minggu sebelumnya media ini menyebut Bitcoin hanya sebagai lelucon.
Tiga tahun berikutnya, Bitcoin bertahan per koin di kisaran US$400. Pergerakkannya tidak pernah sampai di atas US$650 atau di bawah US$250. Hingga kemudian, pada tahun 2017, nilai cryptocurrency mulai meningkat dari sekitar US$1.000 per koin hingga hampir senilai US$20.000 per koin dalam hitungan bulan.
Namun demikian, di tahun yang sama, terjadilah bubble (gelembung) Bitcoin. Harganya sempat melonjak tinggi hingga kemudian pamornya memudar. Pada akhir Januari 2018, Bitcoin mengalami penurunan dari level US$20.000 per koin ke level US$10.000.
Geliat Bitcoin
Belakangan ini, Bitcoin kembali mengalami perkembangan yang signifikan. Berdasarkan data Morningstar dan Coinbase, Minggu (14/2/2021) kemarin, Bitcoin mencetak rekor tertinggi pertama sepanjang masa yaitu US$49.756,44/BTC atau setara Rp695 juta dengan kurs Rp13.970/US$.
Perusahaan startup Bitcoin dan aset kripto exchanges, Indodax, menjadi salah satu yang ketiban untung dalam kondisi ini. Peminat investasi Bitcoin terus mengalami peningkatan. Selama masa pandemi ini, pihak Indodax mencatat setidaknya volume transaksi Bitcoin sudah mencapai kenaikan di atas Rp1 triliun. Jumlah ini melejit dibanding sebelumnya yang hanya sekitar Rp 100 miliar.
"Peminat bertambah karena investasi lain pada turun, dan orang beralih ke Indodax, pemahaman orang tentang Bitcoin juga meningkat dan jumlah kripto yang dilisting juga bertambah," ujar PR Indodax, Gemal Panggabean melalui pesan tertulis kepada Alinea.id, Senin (15/2).
Hingga saat ini, Indodax memiliki sebanyak 114 kripto dengan nilai tukar IDR dan 7 kripto dengan nilai tukar USDT (US$ crypto). Jadi, ada 121 total kripto listing di Indodax.
"Di Indodax saja yang 114. Total kripto itu sekitar seratus ribuan di seluruh dunia," kata dia.
CEO Indodax Oscar Darmawan menambahkan, saat ini, Indodax merupakan perusahaan crypto asset exchange yang memiliki anggota paling banyak di Indonesia, yaitu 2,5 juta member.
Merujuk pada proyeksi Bloomberg, Oscar menyebut, kenaikan fantastis Bitcoin dan aset kripto lainnya kemungkinan akan berlanjut tahun ini.
“Tahun ini, masih menjadi tahun bullish Bitcoin, Ethereum dan lain-lain. Diharapkan dengan itu trading contest jadi lebih menarik tahun ini," ujar Oscar kepada Alinea.id, Senin (15/2).
Dia pun meyakini prospek Bitcoin masih akan menarik. Meskipun, dari segi aturan di Indonesia saat ini Bank Indonesia (BI) melarang penggunaan Bitcoin sebagai mata uang karena memang alat tukar yang legal adalah rupiah.
Namun di sisi lain, Kementerian Perdagangan melalui Bappebti telah resmi mengizinkan perdagangan mata uang digital atau cryptocurrency di bursa berjangka. Tercatat, ada 229 cryptocurrency yang diakui di Indonesia.
Pengakuan ini dituangkan dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 7 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto. Peraturan ini sudah berlaku pada 17 Desember 2020.
"Dengan terbitnya peraturan Bappebti (Perba) tersebut, diharapkan perdagangan fisik aset kripto di Indonesia mampu memberikan kepastian hukum sekaligus perlindungan bagi masyarakat yang bertransaksi fisik aset kripto di Indonesia," kata Kepala Bappebti Sidharta Utama dalam keterangan resminya, Jumat (22/1).
Penetapan jenis aset cryptocurrency ini berdasarkan dua pendekatan. Pertama, pendekatan secara yuridis (melihat peringkat 500 coin market cap/CMC) sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf c Perba Nomor 5 Tahun 2019.
Kedua, pendekatan penilaian analisis hierarki proses (AHP) Bappebti. Caranya dengan tetap memperhatikan aspek keamanan, profil tim dan anggota tim yang mengembangkan, tata kelola sistem blockchain, dan skalabilitas sistem blockchain. Aspek lainnya adalah roadmap yang menjelaskan rencana pengembangan sistem blockchain yang dapat diverifikasi pencapaiannya, dan nilai standar 6,5.
"Dengan demikian, wajib dilakukan delisting jenis aset kripto di luar dari jumlah tersebut (229 kripto yang diakui), yang diikuti dengan kepastian langkah penyelesaian bagi pelanggan," ujar Sidharta.
Oscar dari Indodax menyatakan pihaknya menyambut baik kebijakan tersebut. "Karena tujuan pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif, khususnya di bidang blockchain dan investasi aset kripto," ujar Oscar.
Selanjutnya, kebijakan pemerintah yang menciptakan iklim usaha yang kondusif ini, juga akan berdampak pada bertambahnya investor dalam negeri.
Dia mengungkapkan, salah satu tantangan Indodax adalah tidak mudahnya melakukan sosialisasi. Pasalnya, kata dia, masyarakat Indonesia sulit menerima teknologi baru. Sementara Bitcoin dan kripto lain merupakan adopsi dari teknologi baru yaitu blockchain yang belum terlalu familiar di masyarakat awam.
Maka dari itu, Oscar mengatakan bakal terus meningkatkan pelayanan seperti fitur-fitur transaksi trading dan keamanan agar para member bisa berinvestasi/trading aset kripto lebih baik lagi.
"Tujuan menghadirkan aset kripto juga sebagai instrumen investasi yang sejalan dalam meningkatkan literasi keuangan digital dan meningkatkan perekonomian serta kesejahteraan masyarakat," ujarnya.
Cermat berinvestasi bagi pemula
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira tak menafikan Bitcoin termasuk sebagai kategori aset investasi yang resikonya tinggi dibandingkan saham. Ini berkaca dengan kejadian 2017 lalu yang sempat menunjukkan fluktuasi ekstrem pada Bitcoin. Namun kini Bitcoin kembali terbang tinggi.
"Kalau investor pemula tidak memiliki modal yang cukup, sekali anjlok bisa merugi besar," kata Bhima kepada Alinea.id, Senin (15/2).
Menurut Bhima, sekarang harga Bitcoin naik salah satunya karena Tesla mengakui Bitcoin sebagai instrumen pembayaran untuk membeli mobil listrik. Sementara itu, tidak tertutup kemungkinan jika ke depan ada bank sentral yang melarang Bitcoin maka harganya pun akan jatuh.
"Jadi banyak faktor pembentuk harga Bitcoin yang sulit diperkirakan, bahkan lebih sulit dari memperkirakan komoditas lain seperti harga minyak dan kelapa sawit," katanya.
Di sisi lain, Pengamat Ekonomi dan Perbankan Senior, Ryan Kiryanto berpendapat, maraknya investasi Bitcoin atau aset kripto lainnya juga tidak bisa dilepaskan dari upaya diversifikasi di kalangan investor. Di samping itu, ada pula faktor keingintahuan menjajal instrumen baru seperti aset kripto Bitcoin.
“Tipikalnya, kalau pemilik modal ini, ada barang (instrumen investasi) baru, ah dicoba,” kata Kiryanto saat dihubungi Alinea.id, Senin (15/2).
Meski pergerakan Bitcoin tampak kian menarik, Kiryanto tetap mewanti-wanti para investor pemula agar cermat dalam mengambil keputusan investasi. Termasuk soal pembentukan harga dan sentimen pendukung yang relatif lebih fluktuatif dibandingkan dengan obligasi perbankan maupun saham.
Sebagai informasi, sejak awal tahun 2020, lonjakan harga Bitcoin telah menguat lebih dari 220%. Harga Bitcoin ini, dapat mencapai Rp375 juta sampai dengan Rp450 juta. Pada awal 2021, harga Bitcoin bahkan menembus Rp520 juta dan masih ada kecenderungan untuk terus naik.
"Tapi, Bitcoin dan crypto kan enggak tahu underlyingnya apa. Legalitasnya memang diatur oleh Bappebti, tapi kan untuk pembentukan harganya kita enggak tahu siapa, terjadinya trading yang di populasi ini (trader Bitcoin)," kata dia.
Di sisi lain, Ryan pun mengingatkan, investor Bitcoin juga harus terus mengikuti perkembangan informasi global yang mempengaruhi sentimen pergerakan Bitcoin. Begitu juga dengan sikap dari otoritas.
"Bagaimana sikap otoritas itu penting. Kalau ada apa-apa, ya harus siap menanggung resikonya," ujarnya.
Selain waspada dengan risiko, Bhima dari INDEF pun menyarankan agar investor pemula tidak menempatkan porsi investasi bitcoin langsung dalam porsi besar. Terlebih, sampai berhutang untuk melakukan trading bitcoin demi iming-iming untung besar.
"Sampai pinjam ke fintech untuk biayai investasi Bitcoin itu berbahaya," pungkasnya.