Mencari solusi penurunan harga tiket pesawat
Harga tiket pesawat yang melonjak sejak awal 2018 mulai memukul perekonomian Indonesia. Bukan hanya konsumen yang harus merogoh kocek mereka lebih dalam, industri pariwisata dan perhotelan pun terkena imbasnya.
Untuk mencari jalan keluar, jajaran Kabinet Kerja, pada Senin (6/5), membahas secara khusus masalah harga tiket pesawat itu di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian. Selain Menko Darmin Nasution, pertemuan diikuti oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno.
Pertemuan belum membuahkan hasil konkrit. Berbicara kepada media setelah pertemuan itu, Menteri Budi Karya menjanjikan harga tiket pesawat bakal turun dalam pekan ini. Ia diminta Menteri Darmin untuk meninjau tarif batas atas.
Dilema harga tiket
Maskapai yang selama ini tutup mulut mulai mau buka suara. Mereka mengaku bakal terbebani jika harga tiket diturunkan. Bagi ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal, penurunan tarif batas atas merupakan dilema terbesar dalam kondisi ekonomi saat ini.
Fithra menilai, kenaikan tarif pesawat merupakan cara maskapai menutupi kerugian yang mereka dialami. Ia memperkirakan, pemerintah akan kesulitan untuk menekan tarif batas atas pesawat. “Pemerintah akan menghadapi dilema, karena ketika tarif batas atas diturunkan, kerugian maskapai akan lebih besar lagi," kata Fithra.
Fithra mencontohkan maskapai Garuda Indonesia yang baru bisa mencapai titik impas (break even point/BEP) apabila tingkat keterisian kursi (load factor) mencapai 120%. Artinya, jika seluruh kapasitas angkut Garuda Indonesia sudah terpenuhi, maskapai ini pun masih rugi secara operasional.
Di sisi lain, Fithra menilai, persaingan usaha penerbangan di Indonesia saat ini memang jauh dari sehat. Hanya ada dua perusahaan besar yang menguasai pasar, yakni Garuda Indonesia dan Lion Air Group. "Karena hanya ada dua pemain yang sangat terbatas, ini akhirnya mekanisme harganya pun kemudian ditentukan oleh mereka," kata Fithra.
Ia juga melihat, ada hal yang janggal dalam penarikan maskapai Sriwijawa Group oleh manajeme Garuda Indonesia di tengah kerugian yang sedang melanda maskapai plat merah itu. "Karena mereka kan lagi tekor, uangnya dari mana? Meski belakangan kita tahu uangnya digunakan untuk financial engineering," ujar Fithra.
Bukan hal mudah
Sebagai maskapai pelat merah, manajemen Garuda Indonesia mengaku siap mematuhi apa pun keputusan pemerintah terkait harga tiket pesawat. Namun, diakui oleh Direktur Niaga Garuda Indonesia Pikri Ilham Kurniansyah, menurunkan tarif batas atas bukan hal yang mudah.
Sebelum langkah itu diambil, ada beberapa hal yang harus diperhitungkan, seperti biaya operasional maskapai yang terdiri atas bahan bakar pesawat, perawatan, dan harga sewa pesawat. “Itu biayanya sudah 70%, dalam dolar semua. Sementara pendapatan kita dalam rupiah,” ujar Pikri.
Bahkan, kata Pikri, pendapatan dari tiket pesawat hanya mampu menutupi 20% beban biaya perusahaan. Jika membaca Peraturan Menteri Perhubungan 20/2019 tentang Tata Cara dan Formulasi Perhitungan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, kata Pikri, penurunan tarif batas tersebut rumit. Sebab, hal itu harus diikuti dengan penurunan biaya operasional.
“Jadi, kalau ada penurunan tarif, struktur cost (of operational) juga harus turun, agar tidak bermasalah bagi maskapai,” kata Pikri. Menurut Pikri, yang seharusnya dilakukan pemerintah saat ini adalah mengevaluasi struktur biaya operasional maskapai, bukannya mengevaluasi struktur tarif batas atas.
Diversifikasi bisnis
Direktur Kargo dan Pengembangan Usaha Garuda Indonesia Mohammad Iqbal mengatakan, untuk mengantisipasi menurunnya pendapatan dari tiket pesawat, perseroan akan memperkuat lini bisnis lain seperti angkutan barang (kargo).
Garuda pun telah menyiapkan beberapa ekspansi untuk pengembangan layanan kargo, yakni produk Go-Freighter yang akan meningkatkan pengiriman kargo dari Indonesia ke seluruh dunia, Go-Logistic dengan terminal di Jakarta dan Denpasar, dan Go-Excellent yang akan beroperasi di pulau-pulau Sulawesi, pulau-pulau Maluku, dan Jawa.
“Terkait dengan beberapa pengembangan usaha Garuda, kami berupaya untuk tidak terlalu bergantung dengan revenue dari penumpang. Kita merambah usaha logistik karena saat ini permintaannya luar biasa. Pertumbuhan industri kargo ini 11% per tahun,” kata dia.
Masalahnya, kata Iqbal, Garuda sampai saat ini masih mengandalkan pesawat penumpang sebagai angkutan kargo. Garuda menargetkan pada September mendatang akan memulai rencana penggunaan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau drone untuk bisnis kargo mereka.
Selain ikut ambil bagian di bisnis kargo, Garuda juga akan mengubah konsep bisnisnya, dari hanya menjual tiket menjadi brand. “Ini penting, sebab Garuda selama ini kalau kerjasama harus bayar. Kalau sekarang, Garuda dibayar,” tutur Pikri.
Harga tiket pesawat yang melonjak sejak awal 2018 mulai memukul perekonomian Indonesia. Bukan hanya konsumen yang harus merogoh kocek mereka lebih dalam, industri pariwisata dan perhotelan pun terkena imbasnya.
Untuk mencari jalan keluar, jajaran Kabinet Kerja, pada Senin (6/5), membahas secara khusus masalah harga tiket pesawat itu di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian. Selain Menko Darmin Nasution, pertemuan diikuti oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno.
Pertemuan belum membuahkan hasil konkrit. Berbicara kepada media setelah pertemuan itu, Menteri Budi Karya menjanjikan harga tiket pesawat bakal turun dalam pekan ini. Ia diminta Menteri Darmin untuk meninjau tarif batas atas.
Dilema harga tiket
Maskapai yang selama ini tutup mulut mulai mau buka suara. Mereka mengaku bakal terbebani jika harga tiket diturunkan. Bagi ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal, penurunan tarif batas atas merupakan dilema terbesar dalam kondisi ekonomi saat ini.
Fithra menilai, kenaikan tarif pesawat merupakan cara maskapai menutupi kerugian yang mereka dialami. Ia memperkirakan, pemerintah akan kesulitan untuk menekan tarif batas atas pesawat. “Pemerintah akan menghadapi dilema, karena ketika tarif batas atas diturunkan, kerugian maskapai akan lebih besar lagi," kata Fithra.
Fithra mencontohkan maskapai Garuda Indonesia yang baru bisa mencapai titik impas (break even point/BEP) apabila tingkat keterisian kursi (load factor) mencapai 120%. Artinya, jika seluruh kapasitas angkut Garuda Indonesia sudah terpenuhi, maskapai ini pun masih rugi secara operasional.
Di sisi lain, Fithra menilai, persaingan usaha penerbangan di Indonesia saat ini memang jauh dari sehat. Hanya ada dua perusahaan besar yang menguasai pasar, yakni Garuda Indonesia dan Lion Air Group. "Karena hanya ada dua pemain yang sangat terbatas, ini akhirnya mekanisme harganya pun kemudian ditentukan oleh mereka," kata Fithra.
Ia juga melihat, ada hal yang janggal dalam penarikan maskapai Sriwijawa Group oleh manajeme Garuda Indonesia di tengah kerugian yang sedang melanda maskapai plat merah itu. "Karena mereka kan lagi tekor, uangnya dari mana? Meski belakangan kita tahu uangnya digunakan untuk financial engineering," ujar Fithra.
Bukan hal mudah
Sebagai maskapai pelat merah, manajemen Garuda Indonesia mengaku siap mematuhi apa pun keputusan pemerintah terkait harga tiket pesawat. Namun, diakui oleh Direktur Niaga Garuda Indonesia Pikri Ilham Kurniansyah, menurunkan tarif batas atas bukan hal yang mudah.
Sebelum langkah itu diambil, ada beberapa hal yang harus diperhitungkan, seperti biaya operasional maskapai yang terdiri atas bahan bakar pesawat, perawatan, dan harga sewa pesawat. “Itu biayanya sudah 70%, dalam dolar semua. Sementara pendapatan kita dalam rupiah,” ujar Pikri.
Bahkan, kata Pikri, pendapatan dari tiket pesawat hanya mampu menutupi 20% beban biaya perusahaan. Jika membaca Peraturan Menteri Perhubungan 20/2019 tentang Tata Cara dan Formulasi Perhitungan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, kata Pikri, penurunan tarif batas tersebut rumit. Sebab, hal itu harus diikuti dengan penurunan biaya operasional.
“Jadi, kalau ada penurunan tarif, struktur cost (of operational) juga harus turun, agar tidak bermasalah bagi maskapai,” kata Pikri. Menurut Pikri, yang seharusnya dilakukan pemerintah saat ini adalah mengevaluasi struktur biaya operasional maskapai, bukannya mengevaluasi struktur tarif batas atas.
Diversifikasi bisnis
Direktur Kargo dan Pengembangan Usaha Garuda Indonesia Mohammad Iqbal mengatakan, untuk mengantisipasi menurunnya pendapatan dari tiket pesawat, perseroan akan memperkuat lini bisnis lain seperti angkutan barang (kargo).
Garuda pun telah menyiapkan beberapa ekspansi untuk pengembangan layanan kargo, yakni produk Go-Freighter yang akan meningkatkan pengiriman kargo dari Indonesia ke seluruh dunia, Go-Logistic dengan terminal di Jakarta dan Denpasar, dan Go-Excellent yang akan beroperasi di pulau-pulau Sulawesi, pulau-pulau Maluku, dan Jawa.
“Terkait dengan beberapa pengembangan usaha Garuda, kami berupaya untuk tidak terlalu bergantung dengan revenue dari penumpang. Kita merambah usaha logistik karena saat ini permintaannya luar biasa. Pertumbuhan industri kargo ini 11% per tahun,” kata dia.
Masalahnya, kata Iqbal, Garuda sampai saat ini masih mengandalkan pesawat penumpang sebagai angkutan kargo. Garuda menargetkan pada September mendatang akan memulai rencana penggunaan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau drone untuk bisnis kargo mereka.
Selain ikut ambil bagian di bisnis kargo, Garuda juga akan mengubah konsep bisnisnya, dari hanya menjual tiket menjadi brand. “Ini penting, sebab Garuda selama ini kalau kerjasama harus bayar. Kalau sekarang, Garuda dibayar,” tutur Pikri.
Inflasi dan penurunan wisatawan
Dampak lonjakan harga tiket pesawat terekam dari data-data Badan Pusat Statistik (BPS). BPS mencatat, harga tiket yang mahal membuat jumlah penumpang angkutan udara domestik Maret 2019 menurun sebesar 6,03 juta atau turun 21,94% dari Maret 2018 sebanyak 7,73 penumpang.
Kepala BPS Suhariyanto menyatakan penurunan jumlah penumpang ini dipicu oleh kenaikan harga tiket pesawat yang terjadi sejak 2018. "Penyebab penurunan jumlah penumpang angkutan udara domestik adalah harga tiket yang masih tinggi," ujad dia saat konferensi pers di kantornya di Jakarta, Senin (6/5).
Sejalan dengan penurunan penumpang, kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia per Maret 2019 mengalami penurunan sebesar 1,82% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. BPS mencatat kunjungan wisman per Maret 2018 mencapai 1,36 juta, sedangkan Maret 2019 hanya mencapai 1,34 kunjungan.
Selain itu, kenaikan tarif pesawat juga menyebabkan tingkat hunian kamar hotel yang merosot sepanjang Januari hingga Maret 2019. BPS mencatat tingkat hunian (okupansi) kamar hotel berbintang pada Maret 2019 hanya mencapai rata-rata 52,89% atau turun 4,21 poin dibandingkan Maret 2018 yang mencapai 57,1%.
"Penurunan tingkat hunian kamar hotel ini tidak hanya berasal dari wisatawan mancanegara tetapi juga dari turis domestik," ucap Suhariyanto.
Sementara itu, BPS juga mencatat kenaikan tarif angkutan udara yang terus terjadi hingga bulan lalu menyebabkan inflasi April 2019 yang mencapai 0,44%.
Mengutip data BPS, andil kenaikan tingkat pesawat terhadap inflasi April 2019 ialah sebesar 0,03% dari total inflasi tahunan sebesar 2,83%. Sementara harga tiket pesawat menyumbangkan pengaruh sebesar 0,31%. "Kenaikan harga tiket pesawat hampir 11%. Untuk itu, perlu mendapat perhatian karena berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi," kata dia.
Penumpang pesawat global menurun
Sebetulnya, bisnis penerbangan yang lesu tidak hanya terjadi di dalam negeri. Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) menyatakan permintaan penumpang angkutan udara global hanya naik 3,1% pada Maret 2019 dibandingkan bulan yang sama pada 2018.
“Pertumbuhan tersebut merupakan laju paling lambat untuk setiap bulan dalam sembilan tahun,” kata Direktur Jenderal dan CEO IATA Alexandre de Juniac, dikutip dari Antara, Kamis (9/5).
Dia memperingatkan, kondisi ekonomi dunia sedang tidak menguntungkan. Di pasar penumpang internasional, lalu lintas maskapai penerbangan Asia-Pasifik naik 2,0% pada Maret dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, turun dari pertumbuhan bulan lalu yang mencapai empat persen.
Sementara, permintaan di pasar Eropa pada Maret 2019 hanya naik 4,7% dibandingkan Maret 2018, turun dari pertumbuhan tahunan 7,5% pada Februari 2019. IATA mengatakan kondisi itu s mencerminkan jatuhnya kepercayaan bisnis di zona euro dan ketidakpastian yang berkelanjutan tentang Brexit.
Maskapai Amerika Utara membukukan kenaikan lalu lintas 3,0% pada Maret dibandingkan periode yang sama tahun lalu, namun turun sedikit dari pertumbuhan tahun ke tahun 4,2% pada Februari 2019.
Industri penerbangan merupakan sektor bisnis yang membutuhkan investasi besar. Di sisi lain, pelayanan kepada konsumen dan keselamatan penumpang tetap harus diutamakan. Upaya memangkas tarif pesawat bisa membunuh maskapai perlahan-lahan. Namun, membiarkan konsumen menjerit pun bukan hal yang bijak. Perlu solusi segera.