Neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit selama beberapa tahun terakhir. Namun, pada 2020, neraca perdagangan RI surplus US$21,74 miliar akibat melemahnya impor.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi merinci, struktur impor Indonesia pada 2020 sebesar 72,9% merupakan bahan baku dan penolong. Kemudian, 16% datang dari bahan modal dan 10% impor berurusan langsung dengan konsumsi.
Hal tersebut mengindikasikan pelemahan struktur ekonomi Indonesia yang mesti diperbaiki. Menurutnya, salah satu solusi memperbaiki neraca perdagangan ini adalah dengan menjaga daya beli masyarakat.
"Kalau dibilang masalah meningkatkan ekspor dan mencegah impor, itu tidak sesuai dengan adab perdagangan dunia yang baru, yaitu kolaborasi. Kita ini bagian dari value chain dunia," kata Luthfi dalam webinar virtual, Kamis (18/3).
Dia menuturkan, hal ini mengharuskan Indonesia mempunyai terobosan-terobosan baru. Salah satu terobosan tersebut menurutnya adalah dengan menjual barang jadi dan berteknologi tinggi. Pasalnya, sebelumnya Indonesia hanya dikenal sebagai pengekspor barang mentah dan setengah jadi.
Hal ini, mulai terlihat dari nilai komoditas ekspor besi dan baja Indonesia yang sebesar US$10,8 miliar atau naik 48% pada 2020.
Dia juga melihat Indonesia memiliki kesempatan untuk melakukan ekspor barang berteknologi tinggi, seperti mobil, ke Australia. Menurutnya, saat ini Australia membeli 1,2 juta unit mobil per tahunnya.
Apabila Indonesia bisa mengambil 10% dari pasar Australia ini, maka akan ada nilai ekspor tambahan sebesar US$6 miliar.
"Tetapi itu kan negara maju (mature). Banyak juga negara yang belum mature seperti di Afrika Utara, ini jadi negara penting karena kelas menengahnya besar, mereka butuh mobil MPV," tuturnya.
Menurutnya, pembukaan pasar ekspor nontradisional di kawasan Afrika Utara ini adalah salah satu cara Indonesia agar bisa bertahan di masa yang akan datang.