Mendorong potensi industri kreatif subsektor film
Saat ini, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf)—lembaga pemerintah non-kementerian di bawah Kementerian Pariwisata—menaungi 16 subsektor ekonomi kreatif. Masing-masing subsektor memiliki ekosistem bisnis yang berbeda-beda. Salah satu subsektor yang tengah berkembang adalah film, animasi, dan video.
Bekraf belum maksimal
Salah seorang pelaku industri kreatif di subsektor film, animasi, dan video, Maulana Faris mengatakan, banyak kreator Indonesia yang sudah punya kemampuan level internasional di bidang film, komik, maupun gim.
Maulana bergerak di bidang komik daring. Menurut dia, sebagian dari pelaku industri kreatif bekerja untuk perusahaan besar di luar negeri, dengan penghasilan melimpah.
"Untuk dunia komik Indonesia sedang menjadi ladang yang amat menggiurkan. Komikus Indonesia bisa menghasilkan Rp5 juta hingga Rp10 juta per bulan untuk komik webtoon (daring), meski tidak punya ijazah SD sekalipun," ujarnya saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (30/1).
Komikus webtoon berjudul Cipid+ ini menilai, tren industri komik di Indonesia meningkat usai ada komik webtoon masuk ke Indonesia. Namun, gejala ini sudah mulai terlihat sejak kemunculan media sosial.
Maulana mengaku belum pernah memanfaatkan keberadaan Bekraf secara langsung. Namun, dia mengatakan, Bekraf penting ada di Indonesia, meski masih banyak yang harus dievaluasi.
Maulana berharap, industri kreatif di masa depan lebih terintegrasi, dan ada kerja sama antarbidang. ”Misalnya, industri komik dan film semakin masif bekerja sama,” kata Maulana.
Pelaku industri kreatif lainnya, Sofyana Ali Bindiar yang menjadi anggota Bandung Film Council mengaku, industri kreatif memang sedang berkembang, seiring perkembangan digital. Menurutnya, secara produksi, film nasional memang berkembang. Namun, efeknya banyak antrean masuk bioskop.
Meski begitu, hal tadi tak menghalangi para sineas berkarya. Produser saat ini punya alternatif kanal untuk menonton, seperti Youtube, Iflix, atau Viu. Beberapa karya sineas dalam negeri pun sudah memperoleh pengakuan nasional maupun internasional.
“Pemerintah, lewat Bekraf mendukung karya-karya kami,” kata Sofyana, yang akrab disapa Ale, ketika dihubungi, Rabu (30/1).
Akan tetapi, dia mengakui, keberadaan Bekraf untuk membantu para pelaku industri kreatif belum maksimal.
"Inisiatifnya baik, tujuannya baik, tapi implementasi di lapangannya masih perlu dicarikan solusi. Diharapkan, dengan pembentukan Komisi Film Daerah, Bekraf sudah hadir dengan solusinya. Saat ini masih dalam tahap pembentukan dan mencari celah value yang bisa didagangkan kepada investor," ujarnya.
Ale optimis, konten lokal selalu punya ruang tersendiri bagi penontonnya. Tantangannya, menurut dia, dalam hal meningkatkan kualitas produksi, cerita, dan promosi. Sineas alumnus Universitas Padjadjaran itu mengatakan, sudah meraup pendapatan dari lima film pendek, satu series di Youtube, dan dua dokumenter.
Saat ini, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf)—lembaga pemerintah non-kementerian di bawah Kementerian Pariwisata—menaungi 16 subsektor ekonomi kreatif. Masing-masing subsektor memiliki ekosistem bisnis yang berbeda-beda. Salah satu subsektor yang tengah berkembang adalah film, animasi, dan video.
Bekraf belum maksimal
Salah seorang pelaku industri kreatif di subsektor film, animasi, dan video, Maulana Faris mengatakan, banyak kreator Indonesia yang sudah punya kemampuan level internasional di bidang film, komik, maupun gim.
Maulana bergerak di bidang komik daring. Menurut dia, sebagian dari pelaku industri kreatif bekerja untuk perusahaan besar di luar negeri, dengan penghasilan melimpah.
"Untuk dunia komik Indonesia sedang menjadi ladang yang amat menggiurkan. Komikus Indonesia bisa menghasilkan Rp5 juta hingga Rp10 juta per bulan untuk komik webtoon (daring), meski tidak punya ijazah SD sekalipun," ujarnya saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (30/1).
Komikus webtoon berjudul Cipid+ ini menilai, tren industri komik di Indonesia meningkat usai ada komik webtoon masuk ke Indonesia. Namun, gejala ini sudah mulai terlihat sejak kemunculan media sosial.
Maulana mengaku belum pernah memanfaatkan keberadaan Bekraf secara langsung. Namun, dia mengatakan, Bekraf penting ada di Indonesia, meski masih banyak yang harus dievaluasi.
Maulana berharap, industri kreatif di masa depan lebih terintegrasi, dan ada kerja sama antarbidang. ”Misalnya, industri komik dan film semakin masif bekerja sama,” kata Maulana.
Pelaku industri kreatif lainnya, Sofyana Ali Bindiar yang menjadi anggota Bandung Film Council mengaku, industri kreatif memang sedang berkembang, seiring perkembangan digital. Menurutnya, secara produksi, film nasional memang berkembang. Namun, efeknya banyak antrean masuk bioskop.
Meski begitu, hal tadi tak menghalangi para sineas berkarya. Produser saat ini punya alternatif kanal untuk menonton, seperti Youtube, Iflix, atau Viu. Beberapa karya sineas dalam negeri pun sudah memperoleh pengakuan nasional maupun internasional.
“Pemerintah, lewat Bekraf mendukung karya-karya kami,” kata Sofyana, yang akrab disapa Ale, ketika dihubungi, Rabu (30/1).
Akan tetapi, dia mengakui, keberadaan Bekraf untuk membantu para pelaku industri kreatif belum maksimal.
"Inisiatifnya baik, tujuannya baik, tapi implementasi di lapangannya masih perlu dicarikan solusi. Diharapkan, dengan pembentukan Komisi Film Daerah, Bekraf sudah hadir dengan solusinya. Saat ini masih dalam tahap pembentukan dan mencari celah value yang bisa didagangkan kepada investor," ujarnya.
Ale optimis, konten lokal selalu punya ruang tersendiri bagi penontonnya. Tantangannya, menurut dia, dalam hal meningkatkan kualitas produksi, cerita, dan promosi. Sineas alumnus Universitas Padjadjaran itu mengatakan, sudah meraup pendapatan dari lima film pendek, satu series di Youtube, dan dua dokumenter.
Potensi industri film
Sementara itu, Wakil Kepala Bekraf Ricky Joseph Pesik mengatakan, pihaknya optimistis di masa depan ekonomi kreatif menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Indikatornya sudah terbukti dari total produk domestik bruto (PDB) yang kian naik, dalam kurun tiga tahun terakhir.
"Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, 16 subsektor ekonomi kreatif sudah menyumbang Rp922 triliun terhadap perekonomian nasional, setara 7,4% PDB nasional. Jadi, ekonomi kreatif masuk dalam lima sektor yang menyumbang terbesar perekonomian nasional," ujar Ricky dalam acara Alinea Live bertema “Mengembangkan Bisnis Ekonomi Kreatif” di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta Pusat, Selasa (29/1).
Bekraf sendiri membidik pertumbuhan PDB ekonomi kreatif sebesar 6,75%, atau setara Rp1.200 triliun.
Subsektor fesyen, kuliner, dan kriya kerap menjadi penyumbang terbesar PDB ekonomi kreatif. Disusul empat subsektor lainnya, yakni televisi dan radio sebesar 10,33%; film, animasi, dan video 10,09%; seni pertunjukan 9,54%, dan desain komunikasi visual 8,98%.
Selain itu, Bekraf membidik penjualan produk kreatif ke luar negeri bisa mencapai US$21,50 miliar. Program pemasaran ke luar negeri yang dilakukan Bekraf, misalnya keterlibatan Indonesia sebagai fokus pasar dalam London Book Fair 2019.
Dalam hal mendongkrak industri kreatif subsektor film, menurut Ricky, Bekraf memproyeksikan jumlah layar bioskop, mencapai 4.000 pada tahun 2019 ini. Kota-kota besar, kata Ricky, tetap menjadi sasaran. Tapi, pebisnis sinema juga memperluas jaringan ke daerah-daerah.
"Banyak upaya hadirkan bioskop di daerah yang belum ada layar. Pemerintah daerah kami ajak agar lebih terlibat dalam investasi baru yang masuk (ke daerahnya)," kata Ricky.
Menurutnya, bisnis bioskop di Indonesia berpeluang terus tumbuh, mengingat perbandingan jumlah layar dengan penduduk belum ideal. Per akhir tahun 2018, diketahui jumlah layar bioskop sekitar 1.681 unit, sedangkan penduduk sekitar 250 juta jiwa.
Proporsi ini memang masih jauh dibandingkan negara lain, seperti China yang berpenduduk 1,5 miliar dan memiliki sekitar 15.000 layar bioskop. Sementara, Korea Selatan berpenduduk sekitar 60 juta jiwa, memiliki setidaknya 3.000 layar bioskop.
Tak hanya jumlah layar, populasi film nasional juga diharapkan meningkat, diimbangi dengan kualitas yang juga lebih baik.
"Jadi, pertumbuhan industri film nasional itu potensial, seiring dengan akan terus bertambah layar bioskop," kata Ricky.
Meski belum keluar angka pasti, tapi target penonton sebanyak 50 juta orang pada 2018 diyakini tercapai, dan menembus 60 juta pada 2019.
Perlu terobosan
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menilai, ekonomi kreatif punya potensi yang sangat besar di Indonesia. Namun, dia melihat, dalam empat tahun belakangan, perkembangan ekonomi kreatif belum sesuai harapan.
"Bekraf sudah berkontribusi untuk pertumbuhan ekonomi nasional, tapi belum signifikan dan masih di bawah potensinya," kata Piter saat dihubungi, Rabu (30/1).
Meski demikian, Piter memprediksi, tren ekonomi kreatif akan membaik. Piter mengatakan, tantangannya adalah melakukan terobosan-terobosan, agar perkembangan ekonomi kreatif tak lagi sekadar tumbuh.
"Tapi benar-benar mengalami quantum leaf, pertumbuhan yang eksponensial di seluruh bidang ekonomi kreatif," ujar Piter.
Terobosan yang dimaksud Piter itu adalah pekerjaan rumah bagi Bekraf. Misalnya, terobosan untuk memacu produksi film nasional. Mengingat, saat ini produksi film indie di beberapa provinsi sudah cukup tinggi.
“Bagaimana Bekraf menyediakan pasar untuk produksi film indie ini, agar momentum kebangkitan film nasional yang didukung sineas-sineas muda di daerah-daerah bisa dimanfaatkan sepenuhnya. Tidak layu sebelum berkembang," kata Piter.
Lalu, Piter pun melihat, hal penting yang perlu diperhatikan pelaku usaha kreatif, yakni memasarkan produk atau hasil karya kreatifnya. Saat ini, menurut dia, banyak produksi film di daerah yang dipasarkan dalam bentuk CD.
"Ini terjadi karena kita kekurangan bioskop. Bioskop hanya ada di kota besar dan dikuasai segelintir konglomerat. Tidak ada bioskop untuk film nasional," kata Piter.
Dihubungi secara terpisah, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, ada beberapa tantangan bagi ekonomi kreatif. Pertama, terkait infrastruktur digital.
"Akses internet harus merata di seluruh wilayah Indonesia," ujarnya ketika dihubungi, Rabu (30/1).
Kedua, mendorong sekolah vokasi sebagai pendukung tenaga kerja di sektor ekonomi kreatif. Terakhir, memperbanyak insentif baik fiskal maupun nonfiskal untuk pemain ekonomi kreatif, terutama di daerah.
"Pasti ada banyak kemajuan yang sudah dilakukan, tapi ke depannya Bekraf diminta untuk lebih fokus. Selama ini terlalu banyak sektor ekonomi kreatif yg diurus. Fokus 3 atau 4 sektor sudah cukup," katanya.