close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/MT. Fadillah.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/MT. Fadillah.
Bisnis
Sabtu, 02 April 2022 16:20

Mendulang cuan dari sampah timbulan

Pengelolaan sampah harus dimulai dari sumbernya untuk menciptakan ekonomi sirkular.
swipe

Sungai Ciliwung dan Sungai Cisarua telah menjadi 'tempat sampah' raksasa bagi warga di sekitarnya. Sampah plastik, sisa makanan, bangkai ayam, hingga sampah rumah tangga seperti tempat tidur, diapers, dan lain sebagainya memenuhi aliran sungai. 

Sejak dulu, sungai yang penuh dengan sampah masih menjadi momok tersendiri di Indonesia. Padahal, pemerintah sudah jelas melarang warga untuk membuang limbah mereka ke sungai, salah satunya melalui Pasal 60 dan 104 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
 
Studi Zero Waste Cities menyebut penyebab pembuangan sampah ilegal di badan sungai, antara lain karena 61% sampah tak terlayani jasa pengumpulan yang disediakan pemerintah. Sejauh ini, dari total sampah masyarakat, hanya 32% saja yang mendapat layanan. Dampaknya, masyarakat mengelola sendiri 47% sampah dengan cara dibakar terbuka, bocor ke laut dan danau 9% dan sampah buang ke tanah kosong 5% per tahun. 

Sementara itu, Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bertajuk ‘Statistik Potensi Desa Indonesia’ menunjukkan bahwa sebanyak 70,50% desa/kelurahan di tanah air membuang sampah ke dalam lubang atau dibakar. Selanjutnya, sebanyak 19,40% desa/kelurahan membuang sampah ke tempat sampah, kemudian diangkut oleh fasilitas pengangkut dari pemerintah. 

Lalu, sebanyak 5,82% desa/kelurahan membuang sampah ke sungai atau saluran irigasi, danau dan laut. Berikutnya, 3,90% desa/ kelurahan membuang sampah ke tempat lainnya dan 0,38% membuang sampah ke drainase.

Associate Professor di School of Engineering and Built Environment di Griffith University Sunil Herat bilang, sampai saat ini manajemen limbah memang masih menjadi tantangan tersendiri di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Berbagai faktor seperti pertumbuhan populasi dan konsumsi bahan-bahan pokoklah yang menyebabkan limbah padat domestik dan industri kian banyak. 

“Sudah seharusnya pengelolaan sampah mendapatkan prioritas yang sama dengan sektor lainnya,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, beberapa waktu lalu. 

Ilustrasi kontaminasi sampah. Unsplash.com.

Karenanya, agar pengelolaan limbah yang baik dapat dicapai, seluruh pihak, mulai dari individu hingga pemerintah pusat diharuskan untuk melaksanakan manajemen limbah yang baik pula. Salah satunya dapat dilakukan dengan menerapkan ekonomi sirkular. Konsep ekonomi yang menekankan penggunaan produk atau sumber daya selama mungkin, serta melakukan pemulihan (renew) di akhir masa penggunaannya. 

Herat mengakui, untuk mencapai zero waste atau nol limbah, bukan hal yang mudah, bahkan dengan menerapkan ekonomi sirkular sekalipun. Namun setidaknya, dengan ekonomi sirkular limbah yang dihasilkan dari aktivitas sehari-hari dapat dikurangi sebanyak mungkin. 

“Limbah tidak dapat diperlakukan sebagai layanan gratis. Jika kita membuatnya, kita juga harus membayarnya,” tegas dia. 

Sementara itu, saat limbah dikelola menggunakan konsep sirkular atau melingkar, bukan timbulan sampah saja yang dapat tereduksi, namun juga berpotensi menghasilkan pundi-pundi cuan. Biaya yang terkumpul, nantinya dapat dialokasikan kembali untuk meningkatkan manajemen limbah agar lebih efektif dan efisien.

Berdasarkan Ringkasan Eksekutif Manfaat Ekonomi Sosial dan Lingkungan dari Ekonomi Sirkular di Indonesia yang dirilis Kementerian PPN/Bappenas awal 2021 lalu, ada lima sektor yang memiliki potensi besar untuk menjalankan ekonomi melingkar. Beberapa di antaranya adalah makanan dan minuman, dengan sampah berupa pemborosan dan sisa makanan.

Lalu, tekstil berupa sampah tekstil, konstruksi yang berasal dari limbah konstruksi dan sisa pembongkaran, perdagangan grosir dan eceran yang menghasilkan banyak sampah plastik, serta peralatan elektrik dan elektronik berupa limbah elektronik alias e-waste

Ilustrasi Alinea.id/M.T. Fadillah.

Saat kelima sektor tersebut dikelola menggunakan ekonomi sirkular, diperkirakan akan ada tambahan pada produk domestik bruto (PDB) nasional hingga Rp593-638 triliun di 2030.

"Itu karena sampah diolah kembali ke sumbernya atau menjadi produk lainnya," kata Dosen Fakultas Teknik sipil dan Lingkungan Universitas Indonesia Astryd Viandila Dahlan, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (21/3). 

Langsung diolah

Oleh karena itu, paradigma masyarakat terhadap tata kelola sampah sudah mulai harus berubah, yakni memilah sampah langsung dari sumbernya. Langkah ini dapat meningkatkan jumlah sampah yang bisa didaur ulang sehingga potensi daur ulang pun akan semakin tumbuh dan pengelolaan sampah lebih mudah dilakukan. 

"Dengan melakukan hal tersebut, akan menumbuhkan orientasi ekonomi sirkuler di sektor pengelolaan sampah," imbuhnya. 

Salah satu yang telah melaksanakan praktik sirkular ekonomi adalah Bank Sampah Gajah Putih yang ada di bawah Yayasan Gita Pertiwi. Sri Basuki Rachmat, salah seorang pengelola bank sampah yang terletak di Karangasem, Kecamatan Laweyan, Surakarta mengatakan, tujuan didirikannya bank sampah adalah untuk mengoptimalkan nilai ekonomi sampah.

Terutama sampah organik dari sisa makanan. Selain juga membuat lingkungan tempat tinggalnya, terutama kali  di Kelurahan Gajah Putih menjadi bersih. 

Laki-laki yang akrab disapa Basuki itu bilang, pada awal berdirinya bank sampah di 2017, anggotanya hanya 15 orang saja dengan jumlah sampah 508 kg. Lalu pada 2018, jumlah sampah dan nasabah melonjak yakni 30 orang dan sampah terkumpul 2.575 kg. 

Angkanya kembali naik, di tahun 2019 yang mencapai 3.229 kg dan jumlah anggota menjadi 51 nasabah. Sayangnya, saat pandemi melanda Indonesia, sejak awal 2020, jumlah sampah yang berhasil dikumpulkan mengalami penurunan, seiring dengan diterapkannya pembatasan wilayah di setiap daerah. Di tahun itu, jumlah sampah hanya sebanyak 2.739 kg, dengan jumlah anggota tetap.

"Ini juga saat yang sulit bagi kami, karena yang ngumpulin sampah juga pada kena Covid. Terus juga konsumsi sampah makanan anggota kita juga turun. Kan enggak ada pertemuan-pertemuan," katanya, kepada Alinea.id, Jumat (1/4).

Basuki menambahkan, nasabahnya terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari rumah tangga biasa, kantin sekolah, restoran dan rumah makan, pasar dan pedagang kaki lima, hingga gedung-gedung pertemuan yang kerap digunakan untuk mengadakan acara seperti pernikahan. 

Sektor

Limbah saat ini 

Perkiraan limbah di 2030 

Makanan dan Minuman (Pemborosan dan Limbah Sisa Makanan)

57,4 juta ton

54%

Tekstil (limbah tekstil)

2,3 juta ton

70%

Konstruksi (limbah konstruksi dan pembongkaran)

29 juta ton

82%

Perdagangan Grosir dan Eceran (limbah kemasan plastik)

5,4 juta ton

40%

Peralatan Elektrik dan Elektronik (limbah elektronik/e-waste)

1,8 juta ton

39%

Sampah makanan yang sudah dipilah oleh para nasabah lantas diolah sesuai jenis sampahnya. Sampah anorganik yang didominasi plastik didaur ulang menjadi berbagai kerajinan tangan, mulai dari vas bunga, piala dari botol plastik, hingga rangka lampu akrilik. 

Sementara sampah organik yang didominasi oleh sampah sisa makanan diolah dengan membudidaya larva lalat BSF alias maggot. Sedikitnya 50 kg maggot segar dihasilkan dalam satu minggu.

Sejak Desember 2021, produksi maggot ini bisa dijual seharga Rp9.000-Rp10.000 per kg. "Sebagian kita buat kasih makan lele sama unggas yang Gajah Putih pelihara juga. Itu nantinya kalau sudah besar juga akan dijual," jelasnya. 

Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

Yayasan Gita Pertiwi selanjutnya membantu pemasaran maggot segar serta ikan hasil ternak bank sampah itu. Di saat yang sama, Gita Pertiwi juga mendorong pembentukan urban farming yang menggunakan pupuk olahan dari sampah sisa makanan. 

Menurut Direktur Program Gita Pertiwi Titiek Eka Sasanti, saat ini sudah ada sekitar 60 lahan pertanian yang menggunakan pupuk organik olahan komunitas-komunitas pengelola sampah dan bank sampah. Pengelolaan lahan ini pun tidak dikelola oleh yayasan sendiri, melainkan dengan dukungan Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan Kota Surakarta. 

Selain itu, baru-baru ini yayasan yang memiliki tujuan untuk mendorong pemerataan pangan di Kota Solo ini juga membentuk 3 bank sampah yang fokus menjadi bank sampah pangan, yang mana salah satunya adalah Bank Sampah Gajah Putih.

Bank sampah pangan, kata Titiek, ialah bank sampah yang dibentuk tidak hanya untuk melakukan pemilahan sampah dan pengelolaan sampah, baik organik maupun non-organik. Namun juga dapat bertani dan beternak, dengan makanan atau pupuk yang digunakan dari produksi bank sampah itu sendiri. 

"Di situlah sirkular ekonominya. Pasar, rumah tangga, atau kantin sekolah mendonasikan makanan sisa mereka ke bank sampah. Kemudian bank sampah mengolah sampah yang didapat, seperti untuk maggot, terus maggotnya dijual kepada peternak lele dan unggas. Hasil ternak lele dan unggas kemudian dijual lagi ke kantin sekolah, pasar dan rumah makan," urai Titiek, kepada Alinea.id, Kamis (31/3).

Menurutnya, ekonomi sirkular tidak hanya memberikan nilai tambah pada sampah dan membersihkan lingkungan, tetapi juga membuka kesempatan pekerjaan baru kepada warga sekitar. 

Titiek mencontohkan, di Bank Sampah Gajah Putih, kini tidak hanya sebatas melakukan pemilahan sampah, budidaya maggot, dan beternak lele dan unggas saja. Sekarang, bank sampah tersebut juga mengolah lele dan unggas menjadi makanan olahan seperti keripik, hingga membuka katering atau pesanan makanan. 

Hal ini jelas membutuhkan tenaga ekstra. Ketika para pemuda pengelola bank sampah sudah tidak sanggup lagi mengolah hasil panen lele dan unggas mereka, para pemuda tersebut lantas menawarkan pekerjaan untuk membuat produk olahan makanan kepada orang tua atau sanak saudara mereka. 

"Yang sudah bekerja pun juga bisa ikut membantu di sini. Karena untuk mengolah sampah sampai makanannya kan waktunya fleksibel," imbuhnya. 

Dorong ekonomi

Terlepas dari hal tersebut, Titiek mengungkapkan pengelolaan sampah dari sumbernya adalah langkah paling efektif untuk menangani permasalahan sampah di tanah air. Apalagi, berdasarkan hasil riset yang dilakukannya, rumah tangga sebagai salah satu sumber sampah, selain pasar dan rumah makan, dapat menyumbang hingga 60% timbulan sampah di kota Solo. 

"Karena itu penting sekali untuk mengajarkan kepada orang-orang dan juga anak-anak untuk mulai memilah dan mengolah sampah. Kalau tidak bisa melakukan sendiri di rumah, bisa sampah yang sudah dipilah disetor ke bank sampah," tegas dia.

Terpisah, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti  menilai, penerapan ekonomi melingkar dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional 2,3%-2,5%. Di saat yang sama, konsep ekonomi ini juga diduga mampu membuka 4,4 juta lapangan pekerjaan. 

“Ekonomi (hijau) di Indonesia akan menjadi salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi di masa depan,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (1/4).

Penerapan ekonomi hijau juga menjadi upaya mencegah perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya bencana hidrologi. Bencana ini berperan hingga 80% terhadap keseluruhan bencana alam di Indonesia.

“Dari bencana yang terjadi dapat memberikan dampak pengurangan pertumbuhan ekonomi di kisaran 0,66% hingga 3,45% sampai tahun 2030,” lanjutnya.

Oleh karena itu, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) terus berupaya untuk mengurangi risiko dari perubahan iklim salah satunya melalui penerapan ekonomi sirkular. 

Ilustrasi Unsplash.com.

Dalam lain kesempatan, Perencana dari Direktorat Kementerian PPN/ Bappenas Anggi Putri Pertiwi menjelaskan, ada lima arah kebijakan yang saat ini tengah dijalankan pemerintah. Pertama, perubahan perilaku dengan fokus pada pengembangan Lembaga Penyuluhan di daerah, peningkatan kapasitas pekerja pangan serta edukasi kepada konsumen untuk meningkatkan perubahan perilaku.

Kedua, pembenahan Penunjang Sistem Pangan dengan mengembangkan korporasi petani serta menyediakan infrastruktur dan sarana prasarana yang mendukung efisiensi proses pangan. 

Ketiga, penguatan Regulasi dan Optimalisasi Pendanaan dengan mengoptimalkan pendanaan tepat guna untuk perbaikan infrastruktur pangan, mengembangkan regulasi food loss and waste (FLW) di tingkat nasional dan regional, serta menguatkan koordinasi antar lembaga.

Kemudian, pemanfaatan FLW dengan mendorong pengembangan platform penyaluran makanan, penanganan FLW yang mendukung ekonomi sirkular seperti composting, dan pengembangan percontohan pemanfaatan FLW skala kota/kabupaten. 

"Terakhir, pengembangan Kajian dan Pendataan FLW yang terintegrasi baik pada level nasional maupun daerah," katanya, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (1/4).

Sementara itu, menurut Anggi, saat ini fokus pemerintah memang adalah untuk mengurangi sampah sisa makanan. Pasalnya, sampai saat ini sampah sisa makanan dan juga sampah yang bocor dari proses produksi adalah penyumbang sampah tertinggi di Indonesia. 

Berdasarkan proyeksi business-as-usual (BAU), total timbulan FLW tahun 2021 diestimasikan sebesar 45 juta ton atau setara dengan 165 kg/kapita/tahun. Dengan timbulan FLW terbesar terdapat pada tahapan konsumsi yaitu sebesar 18 juta ton atau setara dengan 65 kg/kapita/tahun. 

Dari proyeksi 25 tahun ke depan, tanpa adanya pengendalian, diestimasikan timbulan FLW Indonesia pada tahun 2045 dapat mencapai 112 juta ton/tahun atau 344 kg/kapita/tahun. Sementara dengan skenario strategi, diestimasikan timbulan FLW pada tahun 2045 dapat ditahan di 49 juta ton/tahun atau 166 kg/kapita/tahun. 

"Sehingga timbulan FLW harus dapat dikurangi minimal 55 persen dari BAU untuk mendukung target Indonesia menjadi negara nol emisi pada tahun 2060," tandasnya.
 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan