Menekan harga bawang putih yang melambung
Sejak awal 2019, harga bawang putih merangkak naik hingga melambung tinggi di pasaran. Berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) per 9 Mei 2019, harga bawang putih paling tinggi ada di Kalimantan Timur Rp83.750 per kilogram. Harga terendah ada di Kepulauan Riau Rp30.200 per kilogram.
Di DKI Jakarta, bawang putih dijual rata-rata Rp80.000 per kilogram. Di Pasar Jatinegara, harganya Rp72.500 per kilogram, di Pasar Kramatjati Rp80.000 per kilogram, dan di Pasar Minggu Rp87.500 per kilogram. Padahal, harga bawang putih normalnya Rp30.000 per kilogram.
Sumini, salah seorang pedagang bawang putih di Pasar Mampang Prapatan, Jakarta Selatan mengatakan, sebelumnya harga bawang putih kating (impor dari China) sempat menembus Rp100.000 per kilogram. Sementara harga bawang putih biasa Rp80.000 per kilogram.
Sumini mengaku, hari ini harga bawang putih turun. “Saat ini, bawang putih kating dibandrol seharga Rp80.000 per kilogram, sedangkan bawang putih biasa harganya Rp70.000 per kilogram,” ujar Sumini kepada reporter Alinea.id di Pasar Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Kamis (9/5).
Menurut Sumini, harga normal bawang putih kating di Pasar Mampang Prapatan sekitar Rp50.000. Sedangkan bawang putih biasa sekitar Rp40.000.
Seorang pembeli bernama Khumairoh mengeluhkan harga bawang putih yang tinggi. "Sebelum puasa memang sudah naik kok bawang merah dan bawang putih," ujarnya.
Penyebab
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengaku pernah memperingatkan Kementerian Pertanian terkait rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) yang tiga bulan belum diturunkan.
"Dari bulan Januari, Februari, Maret, dan baru akhir Maret diturunkan. Pertengahan Maret sudah pernah saya peringatkan, ini akan ada masalah besar untuk bawang putih," kata Dwi saat dihubungi, Rabu (8/5).
Dwi menyayangkan Kementerian Pertanian yang disibukkan mengurus program kebijakan, yang seolah-olah berhasil, sehingga mengabaikan peringatan darinya. Akibat harga yang tinggi, bawang putih pun menjadi penyumbang inflasi.
Menurut data Badan Pusat Statistik, sejak Februari 2019 lalu bawang putih menjadi salah satu komoditas penyumbang inflasi. Pada Februari 2019, saaf terjadi deflasi sebesar 0,08% bawang putih menyumbang inflasi 0,01%. Kemudian, saat inflasi Maret sebesar 0,11% dan April sebesar 0,44% bawang putih masing-masing menyumbang 0,04% dan 0,09%.
Menurut Dwi, kenaikan harga bawang putih murni terjadi karena kesalahan kebijakan. Dwi menuturkan, bawang putih yang nyaris 100% impor itu, seharusnya sangat mudah dikelola. Perkiraan konsumsi bawang putih per bulan pun, kata dia, sudah jelas. Maka, seharusnya tidak terjadi fluktuasi harga.
"Komoditas-komoditas lain yang volume impornya besar, yang hampir 100%, misalnya gandum dan kedelai, itu harganya stabil dan tidak pernah mengalami gejolak," tutur Dwi.
Menurut Dwi, prediksi gejolak harga bawang putih terbukti terjadi lantaran jumlah impor pada Desember 2018 sekitar 136 ribu ton. Sedangkan kebutuhan bawang putih dalam negeri per bulan sekitar 49 ribu ton. Maka, akhir Maret 2019, stok bawang putih pun kosong, sementara mengimpor bawang putih memerlukan waktu sekitar setengah bulan untuk sampai ke konsumen.
"Kebutuhan bawang putih 49 ribu ton perbulannya, berarti kalau tiga bulan kan sekitar 140 ribu sekian. Padahal, impor terakhir impor hanya 136 ribu ton, meskipun mungkin masih ada impor sisa bulan-bulan sebelumnya," ujar Dwi.
Sementara itu, peneliti dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti Soeryaningrum Agustin menuturkan, gagal panen dan pengaruh musim ikut menyebabkan melambungnya harga bawang putih.
Hal ini terjadi di daerah Temanggung, Jawa Tengah. Di sana, kata dia, panen bawang putih menurun sekitar 40% hingga 50%.
Selain itu, Esther menjelaskan, kenaikan harga bawang putih memang berpola. Berdasarkan penelitiannya, antara 2015 hingga 2018, harga bawang putih setiap tahun selalu naik pada bulan puasa, Lebaran, akhir tahun, dan awal tahun.
Setelah mengalami kenaikan, kata Esther, biasanya terjadi penyesuaian harga. "Naiknya tidak begitu banyak, tetapi lumayan signifikan, kalau dilihat dari standar deviasinya," kata Esther.
Standar deviasi atau ukuran penyimpangan antara Januari hingga April sebesar 1,45 ℅. Akibatnya, harga bahan makanan, termasuk bawang putih, menjadi relatif bervariasi.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih punya pandangan lain. Menurut dia, perjanjian Indonesia dengan World Trade Organization (WTO) pada 1995, dinilai sebagai akar penyebab gejolak harga bawang putih. Sejak perjanjian itu, Indonesia diharuskan membuka pasar dalam negeri, dan impor bawang putih pun mulai masuk.
Menurut Henry, Indonesia perlu membatasi impor bawang putih. Sebab, sebelum tanda tangan perjanjian WTO, produksi bawang putih Indonesia mampu memenuhi 90% kebutuhan dalam negeri.
Selain itu, harga bawang putih bisa melambung tinggi karena impor diambil alih pihak swasta, sehingga pemerintah tak bisa mengontrolnya.
"Makanya, gampang menaikkan harga. Padahal, harga belinya di pelabuhan cuma Rp10.000," tutur Henry.
Solusi
Dwi Andreas Santosa menuturkan, sangat mudah mengantisipasi gejolak harga bawang putih. Ia menyarankan, agar stok bawang putih dihitung dengan cermat, serta RIPH diterbitkan secara tepat demi memastikan stok memadai dan harga stabil.
Sedangkan Esther Sri Astuti Soeryaningrum Agustin menanggapi strategi pemerintah yang menampung panen petani agar stabilitas harga bawang putih terjaga.
Esther menilai, strategi ini tak efektif lantaran petani harus mengeluarkan uang untuk biaya menyetor hasil panennya. Selain itu, hasil panen yang disetorkan ke gudang usai keluar malah kualitasnya kurang baik dan harganya juga jatuh.
"Petani lebih senang dijual langsung daripada repot menyetorkannya. Bahkan, terkadang tengkulak memborong hasil panen. Petani tinggal terima beres saja," ujar Esther.
Di sisi lain, Henry Saragih meminta pemerintah menugaskan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk mengontrol batas minimum impor. Ia menyarankan, impor bawang putih sebanyak 50% saja.
"Agar pemerintah bisa mengendalikan harganya," kata Henry.
Henry juga menyarankan agar pemerintah mendukung budidaya bawang putih dalam negeri untuk mengurangi persentase impor.
Sementara itu, Esther memberikan saran, bila bawang putih harganya mahal, seharusnya pemerintah memperbanyak produksi.
"Tetapi tidak mungkin. Karena pemerintah lebih memilih banyakin impor. Instant policy yang tidak long term, populis, dan tidak sustainable. Itu masalah klasik yang belum tuntas hingga kini," kata Esther.
Sementara itu, Kepala Bagian Informasi dan Humas Badan Urusan Logistik (Bulog) Teguh Firmansyah menjelaskan, berdasarkan keputusan rapat koordinasi terbatas, Bulog hanya mendapatkan penugasan untuk impor 100.000 ton bawang putih.
“Kuota bawang putih sebanyak 100.000 ton yang ditugaskan kepada Bulog biasanya digunakan untuk meredam tingginya harga di pasaran,” kata Teguh saat dihubungi, Kamis (9/5).
Ia melanjutkan, selain keputusan rakornas, Bulog tidak diberikan penugasan untuk menangani harga bawang putih yang melambung. Bahkan, kata Teguh, hingga kini masih belum ada wacana Bulog ikut mencampuri masalah harga bawang putih.