Menerka efek kebijakan AS di era kedua Presiden Trump
Kepemimpinan Donald Trump di Amerika Serikat (AS) pada periode kedua memunculkan kekhawatiran pasar. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan Negeri Paman Sam akan berimbas pada pasar saham dan obligasi.
Director dan Chief Investment Officer, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Ezra Nazula mengatakan di periode pertama kepemimpinan Trump, yakni dari 2017 hingga 2021 sebelumnya diwarnai dengan beragam kebijakan yang tidak terduga, drastis, hingga dianggap emosional. Situasi tersebut menyebabkan guncangan di pasar finansial, stabilitas nilai tukar, serta hubungan dagang internasional.
Di era tersebut, beberapa kebijakan seperti penurunan pajak dan kebijakan proteksionisme tidak mampu meningkatkan pertumbuhan serta tak terlalu memicu inflasi. "Siklus ekonomi yang justru memengaruhi angka inflasi dan arah suku bunga," ujar Ezra, Selasa (17/12)
Pasar global
Ezra mengatakan, di tengah kekhawatiran pasar terhadap potensi kebijakan-kebijakan AS ke depan, potensi pemangkasan suku bunga di 2025 tidak berubah. Diperkirakan perekonomian global akan memasuki siklus moderasi pertumbuhan dan pelandaian inflasi, sehingga penurunan suku bunga dapat berlanjut.
"Dampak kebijakan Trump terhadap inflasi dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) AS sepertinya belum akan terjadi di tahun depan sehingga The Fed masih punya peluang untuk melanjutkan pemangkasan Fed Funds Rate (FFR)," ujarnya.
Saat ini, tuturnya, besaran pemangkasan FFR memang lebih konservatif. Namun ekspektasi pasar selalu dinamis mengikuti data dan sentimen terbaru yang muncul.
Kawasan Asia sendiri menurut Ezra punya beberapa peluang yang dapat dioptimalkan di tengah outlook kondisi yang menantang seperti pada era perang dagang AS dan China 2018 di mana banyak perusahaan multinasional menerapkan strategi China +1 dan Friendshoring. Solusi ini dinilai cukup berhasil menghadapi ketatnya kebijakan AS saat itu dan kebijakan serupa sangat terbuka diterapkan di 2025.
Sekadar informasi, konsep China plus one alias China +1 digunakan oleh perusahaan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar domestik dan memperluas operasi mereka ke negara-negara lain sebagai alternatif atau tambahan produktivitas dalam berbagai kegiatan ekonomi. Adapun friendshoring adalah saat sejumlah negara mulai mengurangi ketergantungan terhadap negara lain yang dianggap sebagai ancaman atau kompetitor.
"ASEAN dan India diuntungkan dari kondisi tersebut, seiring biaya produksi yang kompetitif dan keterbukaan pemerintah terhadap investasi asing," katanya.
Pasar domestik
Indonesia tak luput dari tantangan global tersebut. Oleh karena itu, katanya, perlu dukungan dari sisi fiskal untuk mengawal pertumbuhan ekonomi di 2025 dalam upayanya menjaga stabilitas rupiah dan potensi pelemahan ekspor imbas dari kebijakan tarif AS. Di tahun depan, BI diperkirakan akan berhati-hati melanjutkan pemangkasan suku bunga dengan tetap berfokus pada upaya stabilisasi nilai tukar.
Namun di sisi yang lain, perang tarif ini berpotensi memicu peningkatan investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) ke Indonesia. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, terjadi peningkatan kontribusi FDI China dan Hong Kong dari 17% dari total FDI Indonesia di 2016 menjadi 28% di 2023.
Menilik data terkini, komitmen investasi di sektor teknologi, yakni kecerdasan buatan (AI), baterai kendaraan listrik (EV), dan carbon capture juga menggembirakan. Kucuran dana itu diramal mampu mendukung pengembangan industri domestik dan memberi nilai tambah lebih.
Sementara, upaya perbaikan konsumsi dan daya beli menjadi fokus utama. Ekonomi Indonesia yang berorientasi domestik disebut mampu menjadi tameng terhadap risiko perlambatan ekonomi global. Kebijakan pemerintah untuk mendorong konsumsi dapat menjadi penopang pertumbuhan ekonomi 2025.
"Selanjutnya jika angka inflasi domestik masih rendah potensi pemangkasan BI Rate sangat terbuka, peluang ini diperkirakan mampu membawa efek positif bagi aset finansial salah satunya instrumen obligasi," tuturnya.
Pasar modal
Di tengah ketidakpastian kondisi global saat ini, memilih strategi defensif menjadi salah satu opsi menarik sehingga berinvestasi di pasar obligasi menjadi sangat ideal untuk tujuan tersebut. Kelas aset
obligasi menawarkan stabilitas lebih dari pembayaran kupon berkala. Secara historis, kelas aset obligasi juga mampu bekerja optimal di era pemangkasan suku bunga sehingga menawarkan potensi capital gain.
"Investor bisa berinvestasi pada beberapa obligasi sekaligus untuk tujuan diversifikasi risiko," katanya.
Ezra mengatakan Indonesia masih menjadi salah satu negara berkembang yang menawarkan imbal hasil menarik. Namun dalam jangka pendek volatilitas rupiah masih menjadi tantangan terbesar. Meski demikian, dalam jangka panjang kebijakan fiskal AS akan membuat defisit fiskal melebar, menciptakan iklim negatif bagi mata uang dolar AS, bertolak belakang dengan Indonesia yang diperkirakan tetap mempertahankan kebijakan disiplin fiskal.
BI Rate tahun depan diramal akan berada di kisaran 5% hingga 5,25%, kemudian imbal hasil Surat
Berharga Negara (SBN) bertenor 10 tahun di sekitar 6% hingga 6,25%.
Sementara itu di pasar saham, peluang jangka panjangnya sangat menarik jika melihat rasio price-to-earnings (PE) forward 12 bulan di kisaran 12,1 kali yang berada di bawah rata-rata lima tahunnya di 14,8 kali. Namun dalam jangka pendek potensi volatilitasnya sangat tinggi imbas dari kebijakan-kebijakan Amerika-sentris yang memengaruhi banyak faktor, mulai dari perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global hingga nilai tukar mata uang dolar AS.
Melihat tantangan makroekonomi yang tangguh, menurutnya, investor saham bisa melirik sektor-sektor domestik-sentris, terutama sektor yang berpeluang diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan Presiden Prabowo untuk menopang daya beli masyarakat.
"Strategi reksadana saham MAMI sendiri pun akan fokus pada emiten-emiten yang menurut analisis
masih memiliki potensi pertumbuhan earnings di kondisi seperti saat ini," katanya.