Meneropong nasib bisnis online di Tahun Anjing Tanah
Satu persatu peritel domestik mulai berguguran. Lagi, di awal tahun 2018, pembuat sepatu asal Inggris, Clark tutup lapak di Indonesia menyusul PT Matahari Putra Prima Tbk yang memangkas empat gerainya di tahun lalu. PT Mitra Adi Perkasa Tbk juga menutup gerai Debenhams dan Lotus. Peritel lainnya, PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk juga menata ulang bisnisnya dengan menutup delapan outlet pada tahun 2017. Mengikuti jejak Clarks, peritel lainnya seperti Dorothy Perkins, New Look, Banana Republic dan GAP dikabarkan juga bakal menutup toko di Indonesia.
Selain disebabkan oleh melemahnya daya beli dan tingginya biaya operasional, maraknya pembelian melalui online dituding menjadi biang keladi tumbangnya para peritel ini. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Roy Mandey memprediksi sekitar 50 toko akan tutup lantaran perusahaan bakal mengubah konsep bisnis. Bahkan Roy tak berani muluk-muluk memasang target penjualan ritel offline. Tahun lalu, pertumbuhan ritel offline hanya 7,5% atau lebih rendah ketimbang pertumbuhan tahun 2015 dan 2016 sebesar 15% dan 9%.
Beberapa peritel mulai melirik strategi pemasaran melalui online. Sebut saja Sarinah. Tak tanggung-tanggung, peritel yang baru saja meluncurkan versi online di Agustus 2017 itu berani mematok penjualan Rp 1 miliar di 2018. Ramayana juga menggandeng Lazada, penyedia belanja daring di Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2017. Bahkan, Matahari sudah mencuri start dengan meluncurkan Matahari mall pada tahun 2015 lalu.
Lalu, bagaimanakah dengan potensi bisnis ritel online di tahun ini?
Dari catatan Euromonitor International, bisnis ritel online diprediksi mencapai Rp 59,61 triliun di tahun Anjing Tanah atau tumbuh 28% dibandingkan dengan tahun 2017 sebesar Rp 46, 57 triliun. Omset paling besar diprediksi berasal dari kategori elektronik sekitar 17% serta pakaian jadi dan alas kaki sebesar 11%. Rata-rata pertumbuhan bisnis ritel online bakal tumbuh 40% per tahunnya.
Boomingnya belanja online tak lepas dari peran e-Commerce. Layanan itu menjadi solusi bagi masyarakat yang ingin belanja hemat biaya dan waktu. Kemacetan menjadi alasan penduduk di wilayah padat seperti di Jakarta, Bandung dan Surabaya memilih berbelanja di toko online ketimbang menyambangi gerai offline. Alasannnya, berbelanja di satu lokasi outlet membutuhkan waktu berjam-jam. Apalagi jika produk yang diinginkan ternyata sudah habis terjual. Mau tak mau, konsumen harus berlari ke outlet lain untuk mencari produk tersebut. Tentu saja, hal ini membuang waktu bagi yang mereka yang cukup aktif.
Potensi inilah yang kemudian dilihat oleh Fajar Budi Prasetyo, salah satu Co-Founder dan CTO HappyFresh. Menurutnya, kemacetan lalu lintas malah menjadi kesempatan HappyFresh untuk tumbuh. Malah, Fajar akan mencari peluang bisnis di wilayah yang terkenal dengan kemacetannya.
Sementara itu, bagi mereka yang tinggal di kota kecil membeli secara online lantaran produk tersebut tak tersedia di tempat tinggal mereka. Contoh saja IKEA. Perusahaan ritel perabot rumah tangga itu menyediakan platform online untuk pelanggan yang tinggal di luar wilayah tempat outlet IKEA berdiri. Jangkauan pelanggan IKEA makin lebar. Di sisi lain, perusahaan tak harus merogoh kocek yang cukup dalam demi investasi outlet.
Melalui platform digital, konsumen dapat dengan mudah melihat keseluruhan rentang harga yang tersedia untuk merek tertentu tanpa harus bersusah payah mengunjungi beberapa toko guna membandingkan harga. Keuntungan lainnya dari berbelanja online adalah konsumen berkesempatan memperoleh harga lebih miring ketimbang membeli di toko. Beberapa promosi yang digelar seperti bebas ongkos kirim juga membentuk kebiasan berbelanja di toko online.
Faktor pendorong lainnya yang menjadikan belanja online semakin berkibar adalah kenaikan jumlah masyarakat berpendapatan menengah dan penggunaan internet.
Menurut laporan World Bank di akhir tahun 2017, setidaknya 52 juta orang masuk dalam kategori kelas menengah. Total belanja kelompok tersebut berkontribusi sekitar 43% dari seluruh total konsumsi rumah tangga. Kelompok ini diprediksi bakal menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia di masa depan. Usaha pemerintah menarik investasi demi menghidupkan ekonomi mampu mengerek pendapatan masyarakat Indonesia. Ditambah lagi tingkat literasi dan pendidikan yang semakin tinggi diharapkan mampu membawa perubahan ekonomi keluarga.
Meningkatnya penetrasi internet di Indonesia juga menjadi berkah bagi pedagang online. Pertumbuhan penduduk dan struktur demografi penduduk Indonesia yang masih di dominasi generasi milenial membuat pasar internet semakin melaju. Menjamurnya ponsel yang dibanderol dengan harga murah di pasar turut mendongkrak penggunaan internet di Indonesia. Bisnis online pun kian moncer. Lembaga riset Statista memprediksi total pengguna internet yang berasal dari mobile phone lompat 9,30% dari 76,11 juta di 2017 menjadi 83,19 juta orang.
Hambatan dan tantangan bisnis online
Meski bisnis online terlihat manis, industri ini juga tak lepas dari beberapa kendala seperti kebijakan, logistik dan kompetisi yang ketat antar pemain terutama dengan asing.
Baru-baru ini, pemerintah menggodok aturan untuk mengutip pajak dari pelaku e-Commerce. Sebelum merumuskan kerangka kebijakan, pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) menghimpun data e-Commerce, seperti jumlah merchant dan omset. Proses pengumpulan data ini masih berlangsung. Namun, pada prinsipnya pajak yang akan dikenakan oleh pelaku e-Commerce sama dengan toko offline. Hanya saja, pemerintah memberikan keringanan bagi pelaku yang termasuk dalam kelas usaha kecil dan menengah (UKM).
Tentu saja, rencana kebijakan baru ini disambut dengan senyum kecut oleh pelaku bisnis online. Mereka yang tadinya tak harus mengeluarkan ongkos untuk pajak, kini harus menyisihkan sebagian pendapatannya masuk ke kas negara. Sebagian berdalih, omset mereka masih mini dibandingkan dengan peritel jumbo yang memiliki toko. Makanya, perekaman transaksi dan omset oleh pelaku bisnis online menjadi dasar bagi pemerintah dalam menetapkan besaran pajak.
Kendala berikutnya yang harus dihadapi oleh pelaku e-Commerce adalah logistik. Hasil riset Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menunjukkan biaya logistik di Indonesia mencapai 23,5% di 2017, turun dari 2016 yang sebesar 25,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dibandingkan dengan negara tetangga, biaya logistik di Indonesia lebih tinggi. Di Malaysia dan Singapura, biaya logistik pada kedua negara tersebut masing-masing 13% dan 8,1%.
Selain persoalan infrastruktur, aspek lain seperti pengiriman barang dan rekam jejak atau tracking harus lebih ditingkatkan. Mahalnya biaya logistik di Indonesia disebabkan oleh arus kirim dan balik kontainer yang tidak merata. Ketika proses pengiriman barang, kontainer membawa muatan penuh. Namun, ketika arus balik, kontainer terutama dari luar Pulau Jawa tidak membawa barang.
Seiring dengan pembangunan infrastruktur yang dikebut oleh pemerintah dan beberapa investasi di sektor logistik, kendala ini secara perlahan bisa diatasi. Bahkan, saat ini tersedia perusahaan logistik menawarkan jasa yang mengirimkan paket barang ke konsumen sesuai dengan deadline. Beberapa diantaranya tak ragu menggelontorkan dana untuk investasi gudang demi kelancaran arus barang.
Ambil contoh, PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir atau JNE Express. Perusahaan berencana membangun gudang di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng guna meningkatkan kapasitas pengiriman barang. Targetnya, proyek yang akan selesai di 2019 bisa melayani 60.000 kiriman per jam atau 17 hingga 19 juta per bulan. Gudang ini dipersiapkan untuk mendukung operasional gudang lainnya yang berlokasi di Rawabokor, Jakarta Barat. Saat ini, kapasitas di gurang Rawabokor sudah mencapai 18 juta kiriman per bulan.
Gurihnya ceruk bisnis online di Indonesia turut mengundang investor asing berduyun-duyun datang ke Indonesia. Usai menguasai mayoritas saham di Lazada Group SA di tahun 2016, Alibaba, perusahaan asal China kembali menyuntikkan dana segar ke Tokopedia. Hal berbeda datang dari investor tetangga, yakni PT SK Planet, perusahaan asal Korea Selatan malah memutus kongsi dengan PT XL Axiata Tbk. Kini, Elevenia dimiliki oleh Salim Group yang juga menjalin kerjasama dengan dengan Lotte Group membentuk iLotte pada 2017 lalu.
Pemain e-Commerce di dalam negeri bakal terlibat persaingan sengit memperebutkan jumlah pengunjung dan pembeli. Masing-masing harus memutar otak bagaimana memberikan inovasi pelayanan dan perbedaan. Sebut saja Blibli.com yang memilih berkolaborasi dengan berbagai pemasok dan partner seperti bank untuk program promosi. Maklum saja, perang harga di e-Commerce cukup gila. Sedangkan Lazada lebih fokus kepada pembaruan tampilan baik aplikasi mobile maupun website.
Mencari investasi dari pemain besar atau merger menjadi pilihan rasional bagi pemain bisnis online supaya mereka bertahan dalam jangka panjang. Sebab, bisnis e-Commerce, start up dan digital ini lebih banyak besar pasak daripada tiang di masa awal-awal berdiri.