Mengantar maggot dari tentara lalat hitam masuk pasar Eropa
Bagi sebagian orang, belatung terlihat menjijikan. Namun, larva lalat tentara hitam atau black soldier fly ini sebenarnya memiliki nilai ekonomi tinggi.
Pupa belatung atau dikenal maggot ini harganya dipatok sekitar Rp6.000 per kilogram. Sementara harga jual maggot yang masih dalam tahap pre pupa dan larva dewasa di kisaran Rp80.000 sampai Rp100.000 per kilogram. Sedangkan harga maggot kering bisa mencapai Rp60.000-Rp100.000 per kilogram.
Ketua Umum Paguyuban Pegiat Maggot Nusantara Muhammad Ardhi Elmeidian mengungkapkan, maggot bernilai jual tinggi karena dalam tubuh belatung lalat hitam ini terkandung asam amino dan protein sebesar 40%. Faktor inilah yang kemudian membuat maggot banyak disulap sebagai bahan pakan ternak.
“Dibandingkan jenis pakan lainnya, maggot juga cenderung tidak berbau amis,” kata Ardhi, kepada Alinea.id, Sabtu (1/10).
Selain sebagai pakan ternak, maggot juga dapat dijual dalam bentuk fresh atau maggot segar, dry maggot (maggot kering), tepung maggot, dan minyak maggot. Di beberapa negara seperti Jerman, larva lalat hitam ini bahkan diolah menjadi makanan seperti permen dan pasta dengan harga mahal.
Di sisi lain, residu atau bekas maggot (kasgot) yang dihasilkan dari sisa makanan maggot juga dapat digunakan sebagai pupuk organik. Pupuk kasgot memiliki kandungan penting seperti N (Nitrogen), P (Phosphor) dan K (Kalium), yang dapat memacu pertumbuhan dan kualitas tanaman hingga buah.
Terlepas dari berbagai manfaat yang membuat harga maggot tinggi, larva BSF juga cukup mudah dibudidayakan. Ardhi bilang, larva BSF bisa mengonsumsi sampah organik tiga hingga lima kali lipat dari bobot tubuhnya selama kurang dari 24 jam, tergantung jenis sampah.
“Kalau sampah sebagai makanannya lembut, bisa lebih cepat,” imbuhnya.
Sebelumnya pakar BSF Agus Pakpahan pernah menjelaskan, setiap ekor lalat tentara hitam rata-rata menghasilkan 500 maggot dalam satu kali siklus hidupnya. Karenanya, jika ada 20 ekor BSF, akan dihasilkan sekitar 10.000 larva lalat.
Dengan demikian, tak heran, jika kemudian semakin banyak masyarakat yang memutuskan untuk membudidayakan maggot sebagai usaha sampingan atau bahkan utama. Apalagi, karena berbagai manfaatnya, serangga yang nampak seperti tawon hitam ini banyak dicari dan menjadi primadona peternak dan petani. Tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di dunia.
Mengutip laporan Black Soldier Fly Market by Product, by Application, and Geography – Global Forecast 2033 yang dirilis Meticulous Research, permintaan terbesar terhadap larva BSF dan produk turunannya paling tinggi berasal dari Eropa dan disusul oleh Amerika Utara, Asia Pasifik, Amerika Latin, serta Timur Tengah dan Afrika. Dengan nilai Black Soldier Fly (BSF) global diperkirakan akan tumbuh 30,5% CAGR (Compound Annual Growth Rate/ rata-rata pertumbuhan per tahun) dari 2022, menjadi US$3,96 juta di 2033. Begitu juga dengan volume pasar larva BSF yang diperkirakan akan naik 36,9% CAGR dari 2022 menjadi 8.003,7 ribuan ton pada 2033.
Pertumbuhan ini disebabkan oleh pertumbuhan industri akuakultur, meningkatnya kesadaran akan sumber protein alternatif untuk digunakan dalam pakan ternak, dan kenaikan harga tepung ikan.
“Di Eropa, pesatnya pertumbuhan ini terutama disebabkan oleh tingginya permintaan akan pakan ternak yang kaya protein, pasokan sampah yang besar, termasuk sampah makanan pra-konsumen dari sektor pertanian dan makanan dan minuman,” ungkap Agus, kepada Alinea.id, belum lama ini.
Di saat yang sama, pemerintah Eropa juga telah memberikan persetujuan untuk menggunakan produk BSF sebagai pakan ternak dan hewan lainnya. Hal ini pun didukung oleh berbagai regulasi oleh pemerintah dari negara-negara di benua tersebut.
Besarnya pasar maggot dan produk turunan maggot pun diamini oleh Koordinator Keamanan Hayati Hewani Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani Badan Karantina Hewan (Barantan) Kementerian Pertanian Sri Endah Ekandari. Sayangnya, potensi besar pasar maggot Eropa dan negara-negara lainnya belum dapat dioptimalkan oleh Indonesia.
Ekspor masih minim
Meski dalam empat tahun belakangan ekspor maggot nasional mulai menggeliat, namun masih tergolong kecil. Bahkan di tahun 2019 ekspor maggot ke Eropa sempat berhenti lantaran adanya aturan baru terkait pendaftaran perusahaan dan negara eksportir.
“Karena ada persyaratan yang disyaratkan oleh negara pembeli, kita sebagai penjual harus memenuhi, karena pembeli adalah raja” kata Endah, dalam Webinar Alinea Forum: Strategi Ekspor Maggot ke Eropa, Kamis (29/9).
Di samping potensi pasar yang besar, persyaratan ekspor maggot memang jauh lebih ketat dibanding negara-negara konsumen larva BSF lainnya. Untuk dapat menembus pasar Eropa, perusahaan eksportir maggot harus mendapat persetujuan dari pemerintah Uni Eropa, setelah sebelumnya mendaftarkan usaha ekspornya kepada Barantan.
“Pertama, eksportir harus mendaftar ke kami untuk mendapat nomor dari kami, setelah itu kami daftarkan ke Eropa. Setelah itu mereka akan melakukan kajian dokumen, kemudian mereka akan memberikan pertanyaan ke karantina dan perusahaan,” beber Endah.
Untuk mendapatkan persetujuan ekspor ini pun membutuhkan waktu cukup lama. Karena setelah pendaftaran proses ekspor telah masuk ke pemerintah Uni Eropa, negara-negara yang tergabung di Uni Eropa akan melakukan diskusi lebih lanjut untuk memutuskan apakah eksportir benar-benar layak untuk menjual larva BSF kepada mereka.
“Kami sedang mendaftarkan Biocycle (PT Biocycle Indo), sudah dilakukan penilaian tinggal tunggu waktu. Proses lama dari 2020 sampai sekarang belum selesai, status masih didiskusikan di negara-negara di Eropa oleh Dewan Eropa,” kata dia.
Sementara itu, sebelum izin perusahaan disetujui oleh Eropa, Indonesia sebelumnya harus mendapatkan izin ekspor terlebih dulu. Saat ini, lanjut Endah, Indonesia memang sudah memiliki izin ekspor ke Uni Eropa namun untuk produk ikan, sedangkan produk lain belum ada. Karena itulah selain mendaftarkan perusahaan eksportir, pemerintah pun tengah mengusahakan izin ekspor serangga untuk Indonesia.
“Eropa memiliki sistem Traces (The Trade Control and Expert System), kalau kita sudah terdaftar di sana, kita hanya harus mengisi sertifikat yang disediakan di platform tersebut. Untuk (perusahaan) yang sudah lolos, nanti kita akan adakan pelatihan untuk mengisi sertifikat tersebut,” ujarnya.
Tidak makan sampah
Terlepas dari perizinan, negara-negara di Eropa dan Jepang mensyaratkan agar makanan dari maggot berupa bungkil sawit, alih-alih sampah makanan. Kepada Alinea.id, CEO Biocycle Indo Budi Tanaka menjelaskan, syarat ekspor maggot ke negara Eropa tak hanya ketat masalah izin, namun juga makanan untuk belatung lalat tentara hitam ini.
“Mereka tidak bisa menerima (BSF) makan makanan yang mengandung hewan, seperti tulang, daging ayam, rendang basi. Dia harus dari vegetable based untuk mendapatkan substrat yang baik untuk larva. Kedua bungkil bisa menunjukkan traceability ke Uni Eropa,” ungkapnya, Kamis (29/9).
Di sisi lain, sawit juga banyak tersedia di Indonesia. Hal ini lah yang menyebabkan Budi memindahkan pabrik produksi maggotnya dari Bogor ke Pekanbaru, Riau.
Dia bilang, langkah ini dilakukan agar kualitas maggot yang dihasilkan Biocycle dapat memenuhi persyaratan pemerintah Uni Eropa. Apalagi, sejak 2019 Budi memprioritaskan produksi untuk ekspor ke pasar Eropa.
“Saat ini 70% sasaran ekspor Biocycle untuk Uni Eropa, sisanya Amerika, Kanada, dan Jepang,” imbuhnya.
Perlu diketahui, pada paruh pertama 2019, PT Biocycle Indo telah mengirim larva BSF ke Eropa, khususnya Belanda sebanyak 11,4 ton atau lima kontainer. Pada 2020, perusahaan ini kembali mengekspor 7 ton maggot ke Inggris. Total ekspor maggot berupa larva kering oleh Biocycle sejak 2018-2019 sebanyak 59,113 ton dan total nilai penjualan Rp3,31 miliar.
Selain itu, pada November 2021, Belanda kembali membeli produk larva maggot Indonesia senilai US$750 ribu. Pada Agustus kemarin, Biocycle kembali mengekspor larva kering ke Inggris sebanyak 9,4 ton dengan nilai sekitar Rp1 miliar.
Terlepas dari capaian ekspor perusahaan yang digawanginya, Budi menyarankan, agar untuk masuk ke pasar ekspor, tidak hanya di Eropa namun juga di negara-negara lainnya.
Perusahaan produsen BSF harus memusatkan pusat produksinya di wilayah yang memiliki sumber makanan berlimpah. Pengusaha milenial ini memisalkan, untuk mencukupi makanan dari produk maggotnya, Budi membutuhkan setidaknya 10.000-15.000 ton bungkil sawit per bulan untuk diubah menjadi sampah organik (organic waste).
Bantuan pemerintah
Karena itu, untuk memenuhi suplai sampah organik ini perusahaan sangat memerlukan dukungan dari pemerintah, baik pemerintah daerah, pemerintah provinsi, maupun pemerintah pusat. “Apabila suatu daerah di Indonesia ini memiliki keterlimpahan akan organic waste yang bisa menyesuaikan standar negara tujuan, saya pikir dapat dilakukan pengembangan BSF di situ,” katanya.
Selain itu, untuk memenuhi suplai makanan BSF, Budi juga menyarankan agar produsen tidak berkompetisi dengan industri lain. Sebagai contoh, penggunaan ampas tahu sebagai suplai makanan lalat tentara hitam bisa jadi tidak akan ekonomis bagi industri serangga ini. Sebab, ampas tahu juga digunakan oleh peternak untuk pakan sapi.
Tak hanya soal suplai pakan, untuk dapat diekspor, BSF juga harus memiliki ketelusuran (traceability) yang baik, seperti infrastruktur pengolahan produksi berstandar ISO 22000. Standar ini digunakan sebagai persyaratan sistem manajemen keamanan pangan.
Standar ini juga fokus terhadap pengendalian dalam sistem dan proses produksi produk makanan dan minuman. Setiap jenis produk baik makanan atau minuman harus dibuatkan rencana proses dan pengendaliannya.
“Kalau sudah bisa punya ISO 22000, maka dipastikan bisa memperoleh sertifikat Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP),” kata Budi.
Perlu diketahui, sertifikat HACCP merupakan sertifikat keamanan pangan dari sebuah metode sistematis sains untuk mengidentifikasi risiko bahaya tertentu dan tindakan pengendaliannya bertujuan memastikan keamanan produk pangan yang diproduksi.
Sementara itu, menurut Budi, kesempatan ekspor maggot ke Eropa atau negara-negara lain di dunia memang masih terbuka lebar. Apalagi, kualitas larva BSF Indonesia jauh lebih baik dari maggot Vietnam, Malaysia, Amerika, maupun Kanada. Di saat yang sama, Indonesia juga memiliki sumber pakan larva atau substrat berlimpah dan iklim memadai untuk budidaya belatung lalat tentara hitam ini.
Namun demikian, untuk menjadi eksportir maggot, banyak produsen BSF yang masih terganjal kecukupan modal. Bagaimana tidak, untuk menjual maggot ke luar negeri, produsen harus mampu memproduksi BSF, baik dalam bentuk BSF segar maupun produk turunan maggot dalam jumlah massal.
Untuk produksi massal, jelas produsen membutuhkan modal besar. Apalagi, buat memproduksi maggot berkualitas, produsen harus mengikuti standarisasi budidaya maggot. Mulai dari persiapan pembuatan wadah, pemilihan telur, pemberian pakan, hingga pengemasan dan pengiriman produk.
“Industri insect (serangga) itu masih kecil, beda dengan industri yang lain seperti kelapa sawit. Untuk meningkatkan levelnya, kita harus meningkatkan standar industri ini,
tegas Budi.
Karenanya, agar standarisasi produk BSF tanah air dapat memenuhi persyaratan ekspor negara-negara di dunia, dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) mumpuni untuk mengelola industri ini. Budi bilang, budidaya maggot memang mudah, namun untuk menghasilkan larva BSF berkualitas sebaliknya, susah dan memerlukan waktu lama.
Sejalan dengan tujuan ini, Budi pun meminta kepada pemerintah untuk mulai menerapkan peraturan khusus terkait budidaya dan produksi maggot. Termasuk mengatur soal standarisasi budidaya maggot.
“Standarisasi bukan hanya dari administrasinya saja, tapi juga di sisi infrastruktur proses produksi di industri,” imbuh dia.
Sementara itu, untuk memenuhi standar ekspor maggot dunia, pemerintah melalui Barantan Kementerian Pertanian pun menerapkan standar ketat produksi larva BSF, seperti mensyaratkan adanya sertifikat HACCP. Koordinator Keamanan Hayati Hewani Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani Badan Karantina Hewan (Barantan) Kementerian Pertanian Sri Endah Ekandari pun mengakui untuk mendapatkan sertifikasi itu bukanlah perkara mudah.
Karenanya, Barantan dengan rutin memberikan bimbingan teknis, baik eksportir maupun kepada Unit Kepala Teknis Karantina Pertanian (UPT KP) di berbagai daerah di Indonesia. Di saat yang sama, pemerintah juga rutin memberikan seminar offline maupun online terkait prosedur dan peluang ekspor maggot yang melibatkan pelaku usaha eksportir larva BSF dan narasumber kompeten lainnya.
“Kami juga ada penjaminan keamanan dan mutu produk BSF, dari mulai proses produksi, distribusi, hingga diterima dan digunakan oleh pengguna,” tegas Endah.
Dari sisi regulasi, ada dua regulasi utama untuk mendorong produk serangga ini, pertama Keputusan Kepala Barantan nomor 4555 tahun 2021 tentang pelaksanaan tindakan karantina hewan untuk penjaminan bahan pakan dan pakan yang bebas dari penyakit dan memenuhi persyaratan negara tujuan. Kemudian ada pula Keputusan Kepala Barantan nomor 4556 tahun 2021 tentang penetapan instalasi karantina hewan (IKH).
“Selain itu, Kementerian Pertanian juga sedang menyiapkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) terkait ekspor maggot,” tandasnya.