Wacana Kementerian Keuangan mengubah sumber alokasi dana pendidikan yang selama ini berasal dari belanja menjadi dari pendapatan negara menuai polemik. Rencana itu membuat dana pendidikan mengecil dan mengancam kualitas pendidikan di Indonesia.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji menilai usulan ini mengakibatkan porsi dana pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menciut. Ujung-ujungnya, kualitas pendidikan memburuk karena dukungan dana yang mengecil.
Dia menghitung, defisit anggaran dalam RAPBN 2025 telah ditetapkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebesar Rp616,18 triliun atau 2,53% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini dianggap yang tertinggi dalam sejarah transisi masa pemerintahan. Dus, pendapatan negara diprediksi lebih kecil dibanding dengan komponen belanja.
“Jadi, kalau pendapatan yang dijadikan acuan, nasib besaran porsi anggaran pendidikan nasional kian mengenaskan, karena juga akan ikut merosot,” kata Ubaid kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, sikap pemerintah ini menunjukkan pelarian diri dari kewajiban konstitusional. Pasalnya, dalam UUD 1945 Pasal 31 disebutkan pemerintah berkewajiban membiayai pendidikan dan memprioritaskan alokasi anggaran minimal 20% yang bersumber dari APBN serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Jadi, yang dijadikan acuan adalah pendapatan dan pengeluaran, bukan hanya pendapatan.
Pemerintah, kata dia, dinilai telah melupakan kebutuhan pendidikan. Ia meyakini kebutuhan dana pendidikan tak akan kurang dari 20% dari APBN dan APBD.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menggulirkan wacana tentang perubahan ketentuan alokasi anggaran wajib atau mandatory spending pendidikan sebesar 20% tersebut, saat rapat kerja dengan Banggar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu (4/9). Usulan itu muncul karena sumber alokasi dari belanja negara cenderung membuat dana pendidikan menjadi berubah-ubah.
Misalnya, belanja negara pada 2022 melonjak karena subsidi energi hingga Rp200 triliun. Padahal, kenaikan subsidi bukan terjadi karena pendapatan negara naik, tetapi harga minyak dunia yang melonjak. Akibatnya, realisasi anggaran pendidikan yang terserap sering di bawah ketentuan mandatory spending.
Efektivitas pengelolaan anggaran
Alih-alih mengubah sumber alokasi anggaran, menurut Ubaid, pemerintah perlu memperbaiki penyerapan dana pendidikan agar tepat sasaran.
Menurutnya, serapan yang buruk bukan disebabkan oleh jumbonya dana pendidikan. Tapi, buruknya kualitas program dan lemahnya implementasi di lapangan. Jika alasan pengurangan dana pendidikan adalah serapan buruk, maka pengelola programnya harus dievaluasi.
"Jadi, ketika anggaran pendidikan sudah tepat sasaran, secara otomatis pemerintah sudah melaksanakan amanah konstitusi dan pendidikan akan jauh lebih berkualitas dan berkeadilan bagi semua,” ujar Ubaid.
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Eliza Mardian menyarankan pemerintah mengubah skema belanja dana pendidikan agar lebih efektif dan efisien. Sebab, belanja tidak akan produktif jika pengelolaan anggaran kurang baik dan tidak transparan, terutama di level daerah.
Belum lagi, anggaran pendidikan tak menyelesaikan persoalan yang ada meski sudah sesuai dengan undang-undang. Misalnya, persoalan guru honorer, fasilitas sekolah, dan kondisi lainnya.
“Jadi yang perlu diubah ini adalah pengelolaannya. Karena tidak semua dana pendidikan itu dikelola Kemdikbud-Dikti (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi), namun ada yang oleh kementerian lain (untuk sekolah dinas), ada juga Kementerian Agama dan transfer ke daerah,” ujarnya kepada Alinea.id, Senin (9/9).
Secara teknis, pengelolaan perlu dilakukan terhadap pelaporan hingga transparansi sekolah kedinasan berbagai kementerian dan daerah. Jika melihat dari postur anggaran pendidikan sebesar Rp666 triliun, sekitar 52% di antaranya ditransfer ke daerah (TKDD), termasuk dana desa.
“Mengapa dana pendidikan untuk dana desa? Ini kan yang mesti dikelola,” ujarnya.