Mengenal sovereign wealth fund ala Indonesia
Satu lagi lembaga baru dibentuk pemerintah. Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang terlahir dari amanat Undang-undang Cipta Kerja pasal 154. Bermodal awal Rp75 triliun, lembaga ini akan menjalankan kegiatan investasi pemerintah pusat.
“LPI diadaptasi dari praktik-praktik lembaga sejenis yang memiliki reputasi terbaik di dunia, yang mengedepankan prinsip independensi, transparansi, dan akuntabilitas,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari kepada Alinea.id, Rabu (16/12).
Untuk membidani kelahiran sovereign wealth fund itu, pemerintah pun bergerak cepat menerbitkan tiga aturan turunan sebagai payung hukum. Pertama, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2020 tentang Modal Awal LPI, PP Nomor 74 Tahun 2020 tentang LPI, dan terakhir Keputusan Presiden Nomor 128/P Tahun 2020 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota Dewan Pengawas LPI dari Unsur Profesional.
Modal LPI ditetapkan sebesar Rp75 triliun dengan penyetoran modal awal sebesar Rp15 triliun. Sumbernya berasal dari APBN Tahun Anggaran 2020, sebagaimana ditetapkan kembali dalam Perubahan Postur dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020. Lebih lanjut, PP ini mengatur bahwa modal awal LPI ini merupakan salah satu bentuk Kekayaan Negara Yang Dipisahkan.
Peraturan turunan itu juga menyebut beberapa pokok kebijakan, antara lain mengenai status LPI sebagai badan hukum yang dimiliki pemerintah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Adapun struktur LPI memiliki hierarki dua tingkat, yakni Dewan Pengawas dan Dewan Direktur. Saat diperlukan, LPI juga dapat membentuk Dewan Penasihat yang bertujuan untuk memberikan saran mengenai kebijakan investasi kepada Dewan Direktur. Kemudian, LPI tidak dapat dipailitkan kecuali dapat dibuktikan melalui insolvency test oleh lembaga independen yang ditunjuk Menteri Keuangan.
Kemudian, dengan adanya Keputusan Presiden tersebut, Panitia Seleksi (Pansel) dapat segera bekerja untuk mendapatkan calon anggota Dewan Pengawas LPI dari unsur profesional yang selanjutnya disampaikan kepada Presiden.
Susunan keanggotaan Pansel tersebut antara lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati selaku Ketua merangkap Anggota, serta empat anggota lainnya yakni Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmojo, dan Ekonom Muhammad Chatib Basri.
“Pendaftaran anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional akan dibuka mulai 21 Desember 2020 pukul 12.00 WIB sampai dengan 27 Desember 2020 pukul 17.00 WIB,” ujar Rahayu.
Potensi besar
Jika menilik ke belakang, Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin pernah mengatakan, nilai modal SWF Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi lebih besar dari yang ada saat ini.
Sebab, ke depannya, estimasi dana kelolaan SWF diprediksi bisa mencapai US$500 miliar sampai US$600 miliar atau sekitar Rp7.072,5 triliun hingga Rp8.487 triliun (kurs Rp14.145/US$).
Dengan modal sebesar itu, agaknya SWF Indonesia bisa tumbuh lebih besar dari SWF milik Abu Dhabi atau Abu Dhabi Investment Authority (ADIA). Tidak hanya itu, SWF Indonesia bahkan digadang-gadang bisa memiliki nilai aset hampir setengahnya dari total nilai aset SWF Norwegia atau Government Pension Fund Global (Norges Bank).
“Tapi ini cuma kalau semua BUMN di-go public, dengan rata-rata sales to price ratio dari BEI (Bursa Efek Indonesia) di masa normal 3-4 kali. Jika sales Rp2.400 triliun, dengan kurs saat ini sekitar US$165 miliar. Sehingga, kalau dikalikan 3 saja, sales to price ratio-nya sudah sekitar US$480 billion in market value di nilai perusahaan. Nilai ini bisa terus meningkat, seiring meningkatnya kinerja perusahaan,” paparnya.
Sebagai informasi, berdasarkan data yang dirilis oleh Sovereign Wealth Fund (SWF) Institute, pada 2020 ADIA dan Norges Bank masing-masing memiliki total nilai aset sebesar US$579,621 miliar atau setara Rp8.198,7 triliun dan US$1,122 triliun atau setara Rp15,872 triliun.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata menilai, bentuk SWF Indonesia mirip dengan SWF Rusia atau Russian Direct Investment Fund yang sama-sama dapat mengumpulkan dana dari dalam dan luar negeri.
“Tujuannya untuk mendatangkan investasi di dalam negeri untuk bisa diinvestasikan di proyek dalam negeri,” ujarnya dalam diskusi virtual, Rabu (2/12) lalu.
Lebih lanjut Isa menjelaskan, SWF Rusia memiliki sumber dana internal yang berasal dari pemerintah dan Foreign Direct Investment (FDI). Dengan empat tugas utama, yakni untuk memperoleh imbal hasil finansial sebanyak-banyaknya, meningkatkan FDI, menggandeng partner investasi, serta mendorong kerjasama investasi.
Adapun tugas utama SWF Indonesia adalah untuk mengoptimalkan nilai investasi pemerintah, meningkatkan FDI dan mendorong perbaikan iklim investasi. Selain itu, SWF Indonesia juga bertugas untuk meningkatkan produktivitas domestik jangka panjang. Salah satunya dilakukan dengan investasi di infrastruktur fisik.
Dari sisi struktur organisasi, SWF Rusia memiliki Badan Kebijakan dan Badan Penasihat Internasional yang berasal dari partner lembaga keuangan global seperti Blackstone. “Ini yang kemudian kita adaptasi, dengan pembentukan Dewan Penasihat yang dipilih langsung oleh Dewan Pengawas,” tutur dia.
Sementara itu, dalam kesempatan terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir menjelaskan, ke depan, SWF Indonesia dapat dikelola dengan komitmen investasi. Hal itu dilakukan untuk menarik minat calon investor, baik itu yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
“Itu tujuan SWF. Kalau tidak dikelola dengan benar, tidak ada investor yang mau investasi di SWF,” kata dia kepada Alinea.id, Rabu (16/12).
Namun, meski dapat dikelola dengan komitmen investasi, pemerintah memastikan dana investasi yang ada di dalam SWF akan tetap aman. Sebab, SWF nantinya akan dikelola oleh orang-orang profesional dan diawasi langsung oleh Dewan Pengawas.
Adapun terkait pengelolaan Dana Kelolaan Investasi menurut Pasal 44 ayat (1) PP 74/2020, dapat dikelola dalam bentuk perseroan terbatas, perusahaan patungan, atau sejenisnya. Sedangkan Dana Kelolaan Investasi itu sendiri, menurut Pasal 42 ayat (4), dapat berupa perusahaan patungan, reksa dana, kontrak investasi kolektif (KIK), atau bentuk lain.
“Ini beda dengan anak usaha LPI/SWF Indonesia,” ujarnya.
Iskandar bilang, perusahaan patungan di dalam pasal ini berarti perusahaan yang dikelola secara bersama-sama oleh SWF dan pihak swasta. Sedangkan KIK yang dimaksud seperti misalnya KIK EBA (Efek Beragunan Aset) yang dikeluarkan oleh PT Jasa Marga (Persero).
“Perusahaan bisa menjual surat berharga dengan didasarkan atas asetnya dan dijual secara kontrak kolektif, misal dengan memecah nilainya kecil-kecil, sehingga masyarakat bisa membeli. Kalau reksa dana adalah instrumen investasi biasa,” jelas dia.
Waspada risiko
Namun demikian, Iskandar enggan menanggapi risiko yang mungkin dapat ditanggung oleh SWF dengan sistem Kontrak Pengelolaan Dana ini. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad justru menilai seiring dengan potensi besar yang menanti LPI, akan banyak pula risiko yang harus dihadapi oleh lembaga independen itu.
Beberapa diantaranya adalah risiko yang berasal dari tingkat imbal hasil dana investasi dari negara-negara lain atau lembaga internasional lainnya. Sebab, selain berasal dari aset-aset negara, SWF juga diperkenankan untuk mencari pendanaan dari negara lain.
“Katakanlah SWF ini kan larinya ke infrastruktur dan sebagainya. Tentu ada tingkat pengembalian yang ingin diharapkan dari seorang investor yang menanamkan uangnya di SWF itu tadi,” jelas Tauhid.
Risiko selanjutnya adalah soal transparansi, bagaimana tata kelola manajemen yang baik, strategi hingga tujuan dari investasi pendanaan. Termasuk pula adalah soal pelaporan. Bukan tidak mungkin beberapa pendanaan tidak bisa dilaporkan secara rutin, baik faktual maupun annual (tahunan).
Hal itu lah yang kemudian dapat menimbulkan risiko lainnya, seperti digunakan untuk kepentingan politik hingga risiko yang lebih tinggi, seperti risiko keuangan. “Misalnya dari negara-negara yang ingin memanfaatkan SWF sebagai pintu, boleh berinvestasi, tapi saya mau bangun infrastrutur ABC, di daerah ABCD. Dan penyalurnya adalah pemerintah kita. Itu yang kita khawatir di situ,” kata dia.
Selain itu, SWF juga dimungkinkan akan memiliki risiko nilai tukar maupun suku bunga. Hal tersebut dapat terjadi karena baik nilai tukar maupun suku bunga bersifat sangat fluktuatif.
“Jadi, harus dipertimbangkan kalau ada penggunaan sumber dananya ini dari negara-negara atau lembaga luar,” imbuhnya.
Karenanya, Tauhid menilai, akan lebih baik jika sumber dana yang digunakan oleh SWF sama dengan kebanyakan SWF lain di dunia, yakni menggunakan dana surplus negara. Selain itu, jika melakukan pengelolaan dana dengan dengan sistem Kontrak Pengelolaan Dana, SWF juga diharuskan untuk berhati-hati dalam memilih mitra dari Manajer Investasi (MI).
“Yang saya kira penting adalah, jangan sampai ini justru lari ke pendanaan-pendanaan yang punya risiko. Makanya kan sumbernya dari surplus. Ini idealnya, yang digunakan untuk infrastruktur,” tegasnya.
Di sisi lain, pengelolaan dana investasi SWF ini, nantinya dinilai akan menguntungkan pihak lain, seperti industri MI. Hal itu disampaikan oleh Ketua Presidium Dewan Asosiasi Pelaku Reksadana dan Investasi Indonesia (APRDI) Prihatmo Hari Mulyanto.
“Karena akan semakin banyak variasi produk dan sumber dana kelolaan. Disamping itu positif juga buat SWF, karena bisa memanfaatkan infrastruktur, keahlian, pengalaman, dan sumberdaya yang dimiliki oleh MI,” ujar dia kepada Alinea.id, Kamis (17/12).
Sementara itu, Prihatmo mengaku, sampai saat ini beberapa perusahaan MI telah memperoleh mandat pengelolaan dana SWF yang berasal dari beberapa negara asing untuk diinvestasikan di Indonesia. Namun demikian, pihaknya belum bisa memberitahukan ada berapa MI yang telah mendapatkan mandat tersebut.
“Tidak bisa (memberitahukan),” tutupnya.