close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Debbie Alyuwandira.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Debbie Alyuwandira.
Bisnis
Rabu, 25 Mei 2022 07:31

Menghijaukan momen sakral dengan pernikahan ramah lingkungan

Hajatan pernikahan bisa dilakukan dengan perencanaan matang dari sisi dekorasi, hingga menyajikan porsi makanan yang tepat.
swipe

Tanpa panggung nan megah, Nabilah Kushafliky menghelat pernikahannya dengan sang suami di ballroom salah satu hotel di Jakarta Selatan. Hanya ruangan bernuansa putih-krem namun tetap terlihat cantik dengan hiasan bunga-bunga lokal segar, bunga kering, daun hijau tiruan, serta beberapa ornamen kayu. 

Kedua mempelai pun sepakat untuk menghias mahar dan seserahan mereka menggunakan kotak kayu yang dihias dengan bunga kering, bunga dari kulit jagung, dan kain linen putih. Sejak merancang acara lamaran, perempuan 26 tahun ini sudah memikirkan gunungan sampah dari perhelatan sekali seumur hidup itu. Dia tak ingin bunga-bunga di acara lamaran hanya dipakai sebagai dekorasi selama 3-4 jam saja. 

Alih-alih dibuang begitu saja usai acara, bunga-bunga itu harus memiliki waktu hidup lebih lama. Salah satunya dengan dirangkai ulang atau dikeringkan untuk kemudian dibagikan kepada keluarga, sanak saudara, maupun teman. 

“Dari acaraku saja yang dari pukul 4-6 sore, itu sampahnya ada 30 kiloan dan itu mostly dari floral foam. Padahal floral foam itu kan sampah spesial yang enggak masuk di sampah organik, anorganik, atau B3. Enggak bisa didaur ulang pula,” kata Founder Sedari Sedari, komunitas yang bergerak di bidang lingkungan dan Pendidikan itu, beberapa waktu lalu.

Foto Pixabay.com.

Berkaca dari acara lamaran tersebut, Nabil pun bertekad untuk tidak menggunakan banyak dekorasi di acara pernikahannya. Acara dirancang sedetail mungkin agar tidak menimbulkan banyak sampah, baik sisa dekorasi maupun sisa makanan. 

Beruntung, ia menikah saat pandemi Covid-19 sehingga skala pernikahannya lebih kecil.Karena semakin besar skala pernikahan, akan semakin banyak pula potensi sampah yang ditimbulkan. 

Dengan konsep pernikahan intimate wedding yang hanya dihadiri oleh keluarga inti, kerabat dan teman dekat, perempuan 26 tahun ini pun berhasil menggelar acara pernikahan tanpa dekorasi berlebihan, namun tetap cantik dan elegan. Di saat yang sama, berbekal data undangan yang sebelumnya telah didapatkannya melalui RSVP (Rezpondese S'il Vous Plait) alias konfirmasi tamu, sisa makanan pun dapat diminimalisir. 

Dengan demikian, sisa makanan yang ada akan langsung dikemas oleh penanggung jawab tersebut untuk dibagikan kepada keluarga yang datang dan orang-orang di pinggir jalan. 

Lain Nabilah, lain pula Annisa Fauziah. Sejak lama, Training Manager Plastic Bank ini telah memimpikan pernikahan sederhana dan sebanyak mungkin menggunakan barang-barang daur ulang atau barang yang bisa dipakai kembali. 

Perempuan yang tinggal di Bali sejak 6 tahun lalu ini pun akhirnya bisa merealisasikan wedding dream-nya itu. Acara pernikahan dilangsungkan secara outdoor di Geo Open Space, di Badung, Bali. Annisa mengenakan gaun pengantin putih berpotongan sederhana yang dibuat dari seprai bekas dan dijahit oleh penjahit konvensional. 

Pun dengan sang suami Johan Aris Haiva yang juga mengenakan pakaian upcycle dengan warna sama. Agar lebih menyatu dengan alam, Annisa dan Jo bahkan ‘nyeker’ selama acara resepsi berlangsung. 

Ilustrasi Pixabay.com.

Selain pakaian, cinderamata yang diberikan kepada para tamu berupa gelas, juga dibuat dari bahan daur ulang yakni botol kaca bekas. Ihwal dekorasi, pasangan ini sepakat untuk tidak menggunakan hiasan bunga berbahan plastik, semuanya merupakan tanaman asli dari alam, seperti bunga mawar yang didatangkan langsung dari petani lokal. 

“Menu makanan juga berupa sajian tradisional Bali dengan bahan lokal dan alat makan dari bahan alami, yakni anyaman bambu. Ini untuk mengurangi jejak carbon foot print yang dihasilkan dari pesta,” jelas Annisa, saat dihubungi Alinea.id, Senin (23/5).

Pernikahan dengan konsep ecology dan economy friendly tidak hanya diterapkan saat akad nikah dan resepsi saja. Selepas perhelatan, keduanya juga mengumpulkan sampah organik sisa acara pernikahan untuk dijadikan pupuk kompos. Untuk sampah anorganik, akan dikelompokkan dan dikirimkan ke bank-bank sampah untuk sebisa mungkin didaur ulang.

“Kami bersyukur sejak awal orang tua kami mendukung konsep pernikahan yang sederhana tapi memberikan dampak bagi lingkungan,” imbuh Annisa.

Banyak diminati

Saat ini, konsep pernikahan ramah lingkungan atau eco-friendly wedding memang tengah digandrungi masyarakat. Utamanya para pegiat lingkungan dan kawula muda yang sudah mulai paham akan pentingnya menjaga bumi. Hal ini sejalan dengan semakin seriusnya permasalahan sampah di tanah air. 

Pada 2021 saja, volume sampah nasional diperkirakan sebanyak 68,5 juta ton dengan didominasi oleh sampah sisa makanan dan plastik. Total volume timbulan sampah itu jauh lebih sedikit dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 67,8 juta ton. 

Sementara yang menjadi sumber sampah terbesar, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ialah sampah rumah tangga, yang mana setiap tahunnya dapat berkontribusi hingga 40% dari total timbulan sampah yang ada.

Namun nyatanya, rumah tangga bukan satu-satunya produsen sampah terbesar Indonesia, karena masih ada sampah dari sisa acara hajatan, seperti lamaran, pernikahan, acara syukuran, perayaan ulang tahun, dan masih banyak lainnya. Menurut Founder Eco-Wedding Anjar Ningtias, di Jabodetabek setidaknya ada ribuan hajatan pernikahan dan lamaran yang digelar setiap minggunya. 

Padahal, dari setiap acara setidaknya ada 35% makanan yang terbuang sia-sia, 35% sampah sisa dekorasi, 15% sampah souvenir, dan 15% sampah undangan. “Belum lagi dari jejak karbon (carbon foot print-red) yang dihasilkan dari transportasi yang digunakan, entah itu untuk ngangkut makanan, dekorasi atau lainnya,” jelasnya, saat dihubungi Alinea.id, Senin (16/5).

Sampah-sampah yang dihasilkan dari sisa acara itu pun hanya akan teronggok di tempat pembuangan akhir (TPA). Namun ada juga sampah yang hanyut di air dan berakhir di lautan. Biasanya, hal ini terjadi pada sampah plastik atau sampah floral foam alias gabus yang digunakan untuk merangkai kembang dekorasi. 

Ilustrasi Pixabay.com.

Juru Kampanye Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Ghofar khawatir, jika sampah yang berakhir di sungai ini akan semakin mencemari lautan dan berujung merusak kesehatan manusia. Hal ini terjadi karena plastik lambat laun akan terurai menjadi mikroplastik yang berukuran bahkan lebih kecil dari plankton. 

Mikroplastik ini lantas termakan oleh ikan yang nantinya dapat dikonsumsi manusia. Tak heran jika dari berbagai penelitian, mikroplastik ditemukan terkandung dalam darah dan paru-paru manusia. 

“Isu plastik sudah menjadi isu yang cukup mengkhawatirkan. Dulu mayoritas organik hampir 60%, sekarang turun sekitar 50%. Gantinya plastik yang naik," ungkap dia kepada Alinea.id, Sabtu (21/5).

Menurut Kreasae, salah satu penyedia jasa sustainable décor yang berbasis di Jakarta dan Bandung, dalam satu acara intimate wedding, biasanya akan menghasilkan sekitar dua plastik besar sampah sisa dekor berupa bunga. Namun, ketika dalam dekorasi lokasi pernikahan si pendekor atau wedding organizer menggunakan floral foam sebagai platform pemasangan bunga, sampah sisa dekor yang dihasilkan dapat mencapai 6 kantong plastik besar. 

Seperti diketahui, dalam acara lamaran maupun pernikahan, bunga menjadi salah satu komponen dekorasi penting. Untuk menjaga agar bunga-bunga asli yang digunakan tetap segar, biasanya pendekor menggunakan floral foam alias oasis. 

Sama seperti busa biasa, floral foam atau busa bunga memang mudah menyerap air. Sehingga, dibandingkan media lain untuk pemasangan bunga, seperti kawat ayam atau lumut rumput, oasis jauh lebih mudah dan praktis untuk digunakan. 

 

 

“Padahal, kalau kita lihat dari sampah sisa dekor, paling banyak malah dari oasis, bukan bunganya,” jelas Main Coordinator Kreasae Fasya Amasani, kepada Alinea.id, Senin (23/5). 

Untuk mengatasi masalah ini, salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan menggelar pernikahan ramah lingkungan alias eco-friendly wedding. Di mana pasangan mencoba untuk mengurangi dampak negatif dari acara yang diselenggarakannya. Hal ini dilakukan dengan sadar sambil memikirkan cara untuk mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan selama pernikahan berlangsung.

Sementara itu, berbeda dengan pernikahan konvensional yang identik dengan grand wedding alias pernikahan besar-besaran dan memiliki hingga ribuan tamu undangan, pernikahan ramah lingkungan biasanya memiliki nuansa lebih intim. Karena tamu yang diundang oleh mempelai hanya sedikit dan terdiri dari keluarga, kerabat serta teman dekat. 

“Dari segi tempat, dekorasi, makanan, sampai souvenir dan undangan juga akan lebih diperhatikan dampaknya ke lingkungan nanti akan seperti apa,” jelas Founder Savitri Wedding Soraya Ayu Hapsari, saat dihubungi Alinea.id belum lama ini. 

Peran WO

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan baik oleh wedding organizer (WO) maupun calon pengantin untuk menerapkan pernikahan ramah lingkungan. Pertama adalah dengan menggelar acara pernikahan atau lamaran di ruangan terbuka, pada pagi atau sore hari. 

Soraya bilang, mengadakan acara di ruang terbuka dan memilih lokasi yang unik dapat meminimalisir penggunaan dekorasi. Pasalnya, pendekor akan menonjolkan elemen alam yang sudah tersedia, alih-alih menambah banyak komponen dekorasi tambahan. Selain itu, waktu pagi atau sore hari menjadi pilihan karena biasanya matahari tidak terlalu terik.

 

 

Untuk pemasangan dekorasi, pendekor dapat mengganti floral foam dengan kawat ayam maupun lumut rumput. “Pemasangan dekor menggunakan dua media ini memang membutuhkan waktu lebih lama dan lebih rumit, tapi tidak akan menimbulkan sampah karena kan dapat dipakai lagi dan dampaknya akan terasa nanti,” jelas ibu dua putri ini. 

Savitri Wedding juga menawarkan kepada pelanggannya untuk menyewa baju pengantin atau membuatnya dari bahan daur ulang, dari pada membeli atau membuat baru. Hal ini bertujuan untuk mengurangi sampah tekstil dari baju pengantin tersebut. 

“Bayangkan kalau pengantin ini berganti baju pengantin sampai tiga kali. Padahal bajunya cuma dipakai sehari itu saja dan dia beli atau bikin baru. Setelah acara, bajunya akan disimpan doang di lemari. Lalu berapa banyak sampah tekstilnya?” tanyanya. 

Selain dekorasi dan baju pengantin, Soraya juga lebih memilih menawarkan kepada pelanggannya untuk menyewa kotak mahar atau serah-serahan. Ini bertujuan untuk menghindari kotak tidak terpakai dan tergeletak begitu saja setelah acara usai. 

Begitu juga untuk undangan, Soraya bilang, pihaknya juga menawarkan kepada calon pengantin untuk mendesain undangan digital. Namun, jika pengantin kekeuh ingin menggunakan undangan fisik, dirinya pun tidak akan memaksa dan segera memutar otak untuk memilih bahan undangan yang aman bagi lingkungan. 

“Kalau mereka tetap mau pakai air minum kemasan, ya kami enggak maksa. Cuma nanti kami akan sediakan tempat sampah terpisah pas acara. Jadi lebih mudah buat menyortir sampahnya,” imbuhnya. 

Baik Soraya maupun Fasya sepakat keinginan pelanggan yang terkadang masih dominan untuk menggunakan konsep pernikahan konvensional dengan banyak ornamen dekorasi atau makanan berlimpah memang menjadi tantangan tersendiri bagi pemilik jasa wedding organizer. Selain juga vendor-vendor pendukung acara pernikahan lainnya yang tidak memiliki visi serupa dengan WO ramah lingkungan. 

Namun, alih-alih memaksa, akan lebih baik bagi WO untuk membujuk para konsumen dengan bahasa yang lebih halus sembari menawarkan solusi kepada mereka. “Kalau mereka belum tau mau dipakai untuk apa, kita akan tawarkan untuk sewa saja. Lagian itu akan lebih murah daripada beli,” jelas perempuan yang tinggal di daerah Pakualaman, Yogyakarta itu. 

Selain itu, wedding organizer atau jasa décor juga dapat menawarkan kepada pelanggan untuk merangkai ulang bunga bekas dekorasi. Sehingga nantinya dapat dibagikan kepada orang lain atau dikeringkan sebagai ornamen dekorasi di lain waktu. 

Dengan berbagai hal tersebut, Soraya menilai, pernikahan ramah lingkungan dapat menghemat biaya pernikahan hingga enam kali dari pernikahan konvensional. Namun, murah atau mahalnya jasa wedding organizer atau sustainable décor akan kembali lagi pada permintaan pelanggan. 

“Bisa jadi memang lebih mahal, karena bahan-bahan yang digunakan untuk dekor atau makanan kan semua dari bahan yang sustain. Tapi, dampaknya kan akan dirasakan dalam jangka panjang, kayak 10-20 tahun ke depan,” beber Main Coordinator Kreasae Fasya Amasani. 

Ilustrasi Pixabay.com.

Terlepas dari berbagai hal tersebut, pernikahan ramah lingkungan sendiri tidak melulu tentang bagaimana nanti sampah sisa dari acara lamaran maupun pernikahan akan dikelola. Sebab, untuk mewujudkan pernikahan yang benar-benar sustain, wedding organizer maupun jasa dekor bersama pelanggan harus merencanakan sedetail mungkin, baik dari sisi dekorasi, makanan, hingga tamu undangan. 

“Jadi dari sejak before, during, serta after wedding itu harus dipikirkan dengan matang,” tegas perempuan 23 tahun ini. 

Karenanya, tidak ada salahnya jika wedding organizer maupun jasa dekor pernikahan bekerjasama dengan bank-bank sampah atau lembaga lainnya untuk pengelolaan sampah sisa acara. Kreasae misalnya, bekerjasama dengan beberapa bank sampah untuk mengelola sisa sampah mereka, hingga membuat laporan untuk pelanggan terkait berapa banyak sampah yang dihasilkan dan dapat dikelola. 

“Ini penting, karena bagaimanapun kita bertanggung jawab juga kepada pelanggan untuk mengelola sampah sisa acara mereka juga,” imbuh Fasya. 

Lulusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) ini meyakini jika ke depan, jasa dekorasi pernikahan ramah lingkungan maupun WO ramah lingkungan akan semakin berkembang. Sebab, sekarang banyak kaum muda yang sudah memasuki usia pernikahan semakin sadar akan dampak yang ditimbulkan dari sebuah acara lamaran atau pernikahan terhadap lingkungan. Dus, tidak sedikit dari mereka yang mencari dan menggunakan jasa vendor pernikahan ramah lingkungan. 

Namun, semakin tumbuhnya minat masyarakat tersebut tidak diimbangi dengan jumlah WO maupun jasa dekor pernikahan ramah lingkungan. Padahal, untuk merawat dan menjaga lingkungan, dibutuhkan lebih banyak vendor-vendor pernikahan ramah lingkungan. 

“Ini juga akan meningkatkan economy circular di Indonesia” kata Perencana dari Direktorat Kementerian PPN/Bappenas Anggi Putri Pertiwi, saat dihubungi Alinea.id, Minggu (22/5).

Sebab, untuk mengelola sampah, WO atau jasa dekor pernikahan ramah lingkungan akan bekerjasama dengan vendor lain dan lembaga pengelolaan sampah. Seperti Kreasae yang bekerjasama dengan Zero Waste Indonesia sebagai pengelola sampahnya atau Savitri Wedding yang menggandeng Jogja Berbunga, lembaga yang mengelola atau merangkai kembali bunga sisa acara. 

“Kemudian biasanya mereka juga menggunakan bunga lokal. Nah ini juga jelas akan ikut memberdayakan petani-petani bunga kita juga,” lanjut Anggi.

Sementara itu, Founder Eco-Wedding Anjar Ningtias menilai potensi pasar pernikahan ramah lingkungan masih sangat besar di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Eco-Wedding.co, di Jabodetabek saja, setidaknya ada lebih dari 3.256 pasangan yang akan menikah setiap bulannya dengan menggunakan konsep intimate wedding

Jika rata-rata pasangan menghabiskan sekitar Rp30 juta untuk satu acara pernikahan, maka dalam satu bulan ada sekitar Rp97 miliar yang dikeluarkan oleh pasangan-pasangan tersebut untuk biaya pernikahan. 

Dengan menyasar pasangan-pasangan yang sangat peduli terhadap isu lingkungan saja, telah membuat potensi wedding organizer ramah lingkungan berkembang lebih tinggi. 

“Ini masih untuk pasangan yang dari kalangan pendapatan standar saja. Kalau mereka menggunakan premium wedding, biaya yang dikeluarkan akan lebih besar,” ujar Anjar. 

Ilustrasi Alinea.id/Debbie Alyuwandira.


 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan