Mengintip peluang UUS Bank BTN menjadi bank umum syariah besar setelah spin off
Rencana spin off Unit Usaha Syariah (UUS) Bank BTN menjadi bank umum syariah (BUS) tersendiri, semakin mendekati kenyataan. Ini setelah Menteri BUMN Erick Thohir, menyampaikan perkembangan terkini soal rencana merger antara UUS Bank BTN dengan PT Bank Muamalat Tbk.
Di sisi lain, manajemen Bank BTN dalam keterbukaan informasi mengakui, kalau perseroan memiliki beberapa opsi dalam proses spin off UUS menjadi BUS. Salah satunya, dengan melakukan penjajakan pada beberapa bank umum syariah yang ada.
Rencana spin off UUS menjadi BUS itu, selain karena keharusan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 Tahun 2023 tentang Unit Usaha Syariah, juga karena Bank BTN telah mencantumkan rencana pemisahan bisnis UUS di dalam Corporate Strategic Plan pada 2021-2025. Jadi percayalah, ini murni merupakan rencana aksi korporasi perseroan.
Di mana dalam prosesnya, Bank BTN bakal melakukan dua tahapan. Pertama, mengakuisisi cangkang bank syariah. Baik kosongan atau yang sudah ada. Setelahnya, baru menggabungkan UUS Bank BTN ke target bank.
Pertanyaannya kemudian, seperti apa kinerja UUS Bank BTN sehingga berani mengakuisisi bank umum syariah?
Soal itu, Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu menjelaskan, sepanjang 2023, UUS Bank BTN mengumpulkan dana pihak ketiga (DPK) senilai Rp41,8 triliun, atau melesat 41,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Menariknya, separuh dari total DPK ini berupa dana murah (current account saving account/CASA) senilai Rp20,9 triliun.
“Rasio CASA terus kami tingkatkan selama lima tahun terakhir, dari hanya 37% pada 2019 menjadi 50% pada 2023. Dampak positifnya, rasio biaya dana (cost of fund), berhasil kami tekan dari 6,25% menjadi 3,72% pada kurun waktu yang sama. Artinya, kami bukan hanya menjadi lebih kompetitif. Tetapi juga semakin sehat,” kata Nixon dalam keterangan resminya.
Jumlah DPK yang lebih tinggi dari nilai pembiayaan, membuat financing to deposit rasio (FDR) UUS Bank BTN, berada di level 88,8%. Rasio ini menunjukkan dua hal. Pertama, manajemen mampu mengoptimalkan fungsi intermediasi. Kedua, manajemen berhasil menjaga kecukupan likuiditas di saat melakukan ekspansi.
Berbagai pencapaian itu, berdampak signifikan ke perolehan laba bersih UUS Bank BTN menjadi Rp702,3 miliar, atau melonjak 110,5% dibandingkan perolehan laba bersih tahun sebelumnya sebesar Rp333,6 miliar.
Jadi, ditinjau dari sisi tersebut di atas, UUS Bank BTN bukan hanya layak di spin off. Tetapi juga mampu menampung bank syariah lain untuk di merger.
“Setelah merger dan menjadi BUS, kami optimistis UUS Bank BTN akan tumbuh lebih pesat lagi dan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat serta berkontribusi signifikan untuk memajukan industri perbankan syariah,” kata Nixon.
Optimisme Nixon tidak berlebihan. Karena, jika Bank BTN benar-benar mengakuisisi Bank Muamalat dan menggabungkannya dengan UUS Bank BTN, maka akan lahir bank umum syariah yang memiliki aset sekitar Rp120,48 triliun. Dengan perincian, aset UUS Bank BTN atau BTN Syariah mencapai Rp54,28 triliun hingga 2023. Sedangkan aset Bank Muamalat, mencapai Rp66,2 triliun per kuartal III-2023. Dengan aset sebesar itu, bank umum syariah hasil penggabungan UUS Bank BTN dengan Bank Muamalat, bakal langsung menjadi bank syariah terbesar kedua di Indonesia.
Bank umum syariah hasil merger tersebut, dipastikan masih akan fokus pada bisnis pembiayaan perumahan. Hal itu, diyakini tidak memengaruhi sginifikan kinerja bank umum syariah hasil merger. Mengingat, Bank Muamalat juga mempunyai kinerja yang cukup baik pada pembiayaan kepemilikan rumah atau KPR syariah.
Permintaan pembiayaan perumahan memang masih sangat besarnya. Salah satunya terlihat dari backlog perumahan di Indonesia, yang pada 2023 mencapai 9,9 juta unit. Ini artinya, jumlah unit perumahan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang belum terpenuhi dalam suatu kawasan atau wilayah tertentu, berjumlah 9,9 juta unit.
Di sisi lain, permintaan pembiayaan properti dengan skema syariah juga meningkat, baik itu untuk pelaku usaha maupun rumah tangga. Hal itu dikonfirmasi dari Statistik Perbankan Syariah per Desember 2023. Di mana, pembiayaan berdasarkan lapangan usaha real estate, usaha persewaan, dan jasa perusahaan pada tiga tahun terakhir di UUS dan BUS, menunjukkan tren yang meningkat. Jika pada 2021 hanya sebesar Rp11.977 miliar. Namun pada 2022 mencapai Rp15.736 miliar. Dan kembali meningkat hingga mencapai Rp16.200,8 miliar pada 2023.
Masih berdasarkan Statistik Perbankan Syariah per Desember 2023, pembiayaan bukan lapangan usaha alias rumah tangga untuk pemilikan perumahan juga menunjukkan tren meningkat. Di mana, jika pada 2021 hanya sebesar Rp100.275 miliar, pada 2022 menjadi Rp116.854 miliar, dan pada 2023 mencapai Rp124.514 miliar.
Untuk pembiayaan pemilikan flat atau apartemen juga sebelas dua belas. Di mana, pada 2021 sebesar Rp3.934 miliar, 2022 naik menjadi Rp4.445 miliar, sedangkan 2023 mencapai 4.933,41 miliar.
Sementara, pembiayaan pemilik ruko atau rukan cenderung stagnan. Di mana, pada 2021 sebesar Rp3.866 miliar, 2022 turun menjadi sebesar Rp3.761 miliar, sedangkan 2023 kembali naik menjadi Rp3.895,16 miliar.
Tren meningkatnya pembiayaan real estate syariah, baik untuk pelaku usaha maupun individu, mengartikan, semakin banyak masyarakat yang mempercayakan pembiayaan real estate ataupun tempat tinggal pada pembiayaan syariah. Sehingga berpotensi meningkatkan bisnis bank umum syariah hasil merger.
Hal itu dikonfirmasi oleh Nixon yang mengatakan, kalau lonjakan bisnis UUS Bank BTN dipicu oleh tren di masyarakat yang menginginkan pembiayaan rumah dengan akad syariah. Permintaan tertinggi terjadi di sejumlah daerah dengan populasi muslim terbesar seperti di Provinsi Aceh, Jawa Barat, Sumatera Barat, hingga Nusa Tenggara Barat (NTB).
Selain faktor keyakinan, KPR syariah diminati karena skema pembiayaannya memberikan rasa tenang dan nyaman pada nasabah. Pada KPR syariah, imbal hasil maupun besaran angsuran sudah ditetapkan sejak awal dan berlangsung sepanjang periode perjanjian. Maka itu, skema ini dinilai bisa melindungi nasabah dari risiko fluktuasi suku bunga yang dapat berubah mengikuti kondisi makroekonomi.
Dengan terus meningkatnya minat masyarakat terhadap pembiayaan KPR syariah dan masih besarnya backlog perumahan, maka jika aksi korporasi tersebut terealisasi, tentunya bakal berdampak positif bagi kinerja bank umum syarih hasil merger dalam rangka menghadapi tantangan global, dan tentunya kepada masyarakat karena memiliki banyak pilihan bank berkualitas untuk mengajukan pembiayaan KPR syariah.
Tinggal bagaimana manajemen bank umum syariah hasil merger dapat mengelola bank tersebut dengan baik. Sehingga kinerjanya dapat terus baik dan bisa berkompetisi dengan bank lain.