Menguji industri nasional kala pandemi, mampukah mandiri?
Pandemi Covid-19 memicu banyak negara melakukan karantina wilayah untuk menangkal penyebaran virus korona baru. Imbasnya, semakin banyak negara yang “mengisolasi diri” terhadap dunia luar. Tak hanya memakan korban jiwa, pagebluk yang merebak sejak Januari lalu telah memukul ekonomi banyak negara di dunia akibat terhambatnya arus barang, jasa, dan manusia.
Dilansir dari Bloomberg, pandemi mempercepat tren deglobalisasi yang mengganggu kemapanan rantai pasok global. Walhasil, banyak negara eksportir yang lebih mementingkan kebutuhan dalam negerinya dan mengurangi kapasitas produksinya. Daya beli masyarakat yang terpukul akibat mata pencahariannya terganggu pun turut mempengaruhi laju permintaan.
Terganggunya rantai pasok global tergambar dari data impor yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Impor bahan bahan baku/penolong mengalami penurunan sebesar 15,28% dari US$53,30 miliar pada Januari-Mei 2019 menjadi US$45,16 miliar pada Januari-Mei 2020. Adapun secara keseluruhan, impor mengalami penurunan sebanyak 15,55% dari US$71,22 miliar menjadi US$60,15 miliar.
“Kemudian impor bulan Mei 2020 sebesar US$8,44 miliar kalau kita lacak ke belakang terendah pada 2009,” ungkap Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers, Senin (15/6).
Suhariyanto berpendapat penurunan impor tersebut disebabkan oleh adanya pembatasan sosial di sejumlah negara untuk menanggulangi penyebaran Coronavirus.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai impor bulan Mei yang anjlok cukup dalam sebesar 42,4% dibanding Mei tahun lalu (year on year) ini perlu diwaspadai. Pasalnya, kinerja impor utamanya pada bahan baku maupun bahan penolong sangat berhubungan erat dengan kesediaan bahan baku industri. Dampaknya, sektor manufaktur akan terganggu produksinya dalam tiga hingga enam bulan ke depan.
“Impor ini menghalangi kemampuan mereka untuk memproduksi,” ucapnya saat jumpa pers APBN Kita, Selasa (16/6).
Pergeseran pasokan atau lesunya industri?
Melihat data BPS tersebut, ada dua kemungkinan. Apakah data tersebut mengindikasikan adanya pergeseran pasokan bahan baku ke dalam negeri atau justru pertanda melemahnya aktivitas industri?
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho melihat ketergantungan industri terhadap bahan baku impor masih tinggi. Namun, dia mengakui, sejumlah pelaku usaha tergerak untuk mencari pasokan bahan baku dalam negeri setelah terjadinya pagebluk.
“Tetapi tentu ini tidak semua industri melakukannya karena kita masih melihat banyak industri yang masih mengalami permasalahan di industri hulu. Sektor farmasi misalnya saja, impor bahan baku bisa mencapai 90%,” terangnya kepada Alinea.id, Senin (15/6).
Menurunnya impor bahan baku, kata Andry, disebabkan oleh adanya pembatasan aktivitas ekonomi di sejumlah negara pemasok. China merupakan salah satu negara tujuan impor Indonesia. Nilai impor non migas dari China anjlok sebesar 16,95% dari US$18,05 miliar pada Januari-Mei 2019 menjadi US$14,99 miliar pada Januari-Mei 2020.
Sementara itu, Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menuding pelemahan aktivitas industri menjadi biang keladi penurunan impor. Hal ini terlihat dari anjloknya IHS Markit Purchasing Manager Index (PMI) Sektor Manufaktur dari 51,9 pada Februari 2020 (sebelum pandemi) menjadi 27,50 pada bulan April atau terendah sejak pertama kali dicatat pada 2012. Sebulan kemudian, PMI hanya naik tipis menjadi 28,60. Untuk diketahui, nilai indeks diatas 50 menunjukan adanya ekspansi sedangkan nilai dibawah 50 menunjukan adanya kontraksi.
"Karena adanya perlambatan industri, otomatis impor bahan baku penolong industri juga melambat. Nilai impor yang menurun signifikan bukan artinya digantikan oleh produksi dalam negeri. Karena pergantian tersebut butuh waktu, tidak bisa sebulan dua bulan, tapi juga bisa setahun-dua tahun,” jelasnya melalui sambungan telepon.
Sulit beralih
Hal senada diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani. Dia berpendapat peralihan pasokan bahan baku dari rantai pasok global ke dalam negeri masih sulit dilakukan karena sejumlah bahan baku tidak tersedia di Indonesia.
“Misalnya pakaian dalam wanita, bahannya masih impor dari China. Begitu Januari problem, pasokan dari China tak mudah digantikan. Banyak pabrik yang tutup karena tidak ada bahan bakunya itu,” ungkapnya dalam sebuah webinar, Jumat (5/6).
Hariyadi mengatakan sudah ada upaya dari pelaku usaha tekstil membangun rantai pasok dalam negeri setelah pemberlakuan pengamanan perdagangan (safeguard) terhadap produk benang, kain, dan tirai yang telah diundangkan sejak 6 November silam selama 200 hari.
“Kalau di kawasan berikat impor bahan baku untuk bahan impor semuanya bebas (PPN). Kalau industri dalam negeri memasok ke kawasan industri logikanya dibebaskan juga, kenyataannya tidak seperti itu. Mata rantainya tidak kompetitif,” katanya.
Kemudian, pihaknya juga menyoroti beban operasional pabrik. Dia mengharapkan PT PLN (Persero) bisa menghapus ketentuan tagihan minimum lantaran banyak pabrik yang menghentikan atau mengurangi jam operasinya. Sayangnya, PLN menolak permintaan tersebut.
“Untuk industri yang diharapkan adalah modal kerja, ini sangat penting dimana modal kerja ini diharapkan untuk jangka waktu satu tahun dengan subsidi bunga 4,5% dan stimulus ini bukan hanya untuk industri manufaktur saja tetapi juga untuk lini penjualan,” katanya.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Doddy Widodo mengatakan pihaknya mendorong rantai suplai dipenuhi oleh industri dalam negeri. Ini dengan catatan jika bahan baku/penolong dapat diproduksi di dalam negeri.
“Prinsipnya kita kayak keran. Kalau tidak bisa, kita buka keran impor. Sekarang impor bahan baku kita nolkan bea masuknya. Kalau tidak bisa, kita geser ke dalam negeri,” ujarnya.
Membangun kemandirian industri farmasi dan kesehatan
Terkait kemampuan industri dalam negeri memasok bahan baku dan penolong sudah dicermati Presiden Joko Widodo. Dia mendorong dunia industri untuk lebih banyak berinvestasi di sektor farmasi dan kesehatan untuk mendukung penanggulangan wabah Covid-19. Harapannya, dunia industri dapat memproduksi pelbagai hasil penelitian lembaga pendidikan tinggi dan riset secara massal.
Dia mencontohkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan PT Dharma yang telah merancang purwarupa ventilator.
“Masyarakat juga mulai mencintai produk-produk dalam negeri dan kita harus bangga buatan Indonesia. Kita terus menerus perbaiki ekosistem yang kondusif untuk berkembangnya inovasi dan industrialisasi serta mentalitas bangga produk dalam negeri,” katanya dalam Peresmian Produk Riset, Teknologi, dan Inovasi untuk Percepatan Penanganan Covid-19-19 di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (20/5).
Langkah ini kemudian direalisasikan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Dia mengungkapkan pihaknya telah melakukan penataan ulang terhadap holding BUMN Farmasi yang beranggotakan PT Kimia Farma Tbk, PT Bio Farma (Persero), dan PT Indofarma (Tbk). Menurutnya, ketiga perusahaan tersebut sering tumpang tindih dalam menjalankan bisnisnya.
“Kita sudah siapkan roadmap (peta jalan) untuk tiga perusahaan BUMN farmasi, Bio Farma, Indo Farma dan Kimia Farma. Kami minta difokuskan,” ungkapnya dalam sebuah telekonferensi, Selasa (26/5).
Keputusannya, Kimia Farma difokuskan untuk memproduksi obat-obatan kimia yang berasal dari bahan baku kimia. Kemudian, Bio Farma diarahkan untuk memproduksi vaksin, bioplasma, dan sel punca (stem cell). Sementara itu, Indofarma diprioritaskan untuk memproduksi obat-obatan herbal.
Direktur Utama Indofarma Arief Pramuhanto mengungkapkan pemerintah berharap ketergantungan bahan baku impor obat-obatan berkurang dari 90% menjadi 72% dalam 3-4 tahun mendatang melalui rencana Menteri Erick tersebut.
Arief menjelaskan pihaknya telah memproduksi obat-obatan herbal dengan kapasitas produksi 100 ton/tahun. Untuk melaksanakan titah sang menteri, pihaknya juga berencana meningkakan kapasitas produksi obat herbal menjadi 160 ton/tahun pada 2022.
“Pengembangannya nanti bekerjasama dengan GP (Gabungan Pengusaha) Jamu. Jadi kalau mereka butuh bahan baku jamu, nanti kita produksi. Nanti perusahaan (GP Jamu) ini akan mendata ekstrak apa yang dibutuhkan pengusaha-pengusaha jamu, sehingga produksinya lebih besar,” tuturnya kepada Alinea.id, Jumat (5/6).
Pihaknya berencana meluncurkan sebuah produk suplemen makanan herbal pada pertengahan Juli mendatang. Produk tersebut masih dalam proses perizinan. Selain itu, pihaknya juga berencana memproduksi sari temulawak dan pegagan. “Makin banyak varian produk yang kita hasilkan, makin banyak produk lokal terserap nantinya,” katanya.
Selain obat herbal, pihaknya juga memproduksi alat-alat kesehatan (alkes) dan obat-obatan kimia (farma). Untuk bahan baku obat kimia sebagian dipasok dari Kimia Farma Sungwun Pharmacopia, anak usaha Kimia Farma. Adapun untuk alkes, pihaknya bekerjasama dengan berbagai mitra, baik dalam maupun luar negeri.
Sementara itu, terdapat empat kategori alkes yang diproduksi oleh Indofarma yaitu furnitur rumah sakit, alat pengujian rapid test Covid-19, alat elektromedis (alat hemodialisis dan ventilator), serta barang medis habis pakai seperti kain kasa dan kapas. Pihaknya juga memproduksi alat pelindung diri (APD) yang bekerjasama dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Kita mengembangkannya tidak harus di Indofarma sendiri. Proses penjualannya memanfaatkan jaringan Indofarma yang cukup banyak. Kita mengawinkan industri alkes seperti Indofarma dan lembaga penelitian yang punya ide di bidang kesehatan. Harapannya riset yang dikembangkan sesuai kebutuhan pasar,” jelasnya.
Carut marut rantai pasok industri tekstil
Namun, hal berbeda terjadi pada sektor industri tekstil. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman mengatakan Indonesia memiliki rantai pasok industri tekstil yang terintegrasi secara lengkap mulai dari hulu hingga hilir. Namun, penutupan sejumlah pusat grosir tekstil dan pusat perbelanjaan selama pandemi mengganggu ketahanan rantai pasok tekstil nasional.
“Kalau hilirnya ditutup, otomatis pabrik kain, benang, sampai fiber (serat) berimbas kan. Kemudian, untuk pasar ekspor rata-rata negara buyer kita memberlakukan lockdown, banyak yang cancel order ,” terangnya pada Jumat (12/6).
Hal ini berdampak pada tingkat utilisasi para anggota API yang hanya tinggal 20% menjelang Idul Fitri lalu berdasarkan hasil survei internal. Sebelum pagebluk, tingkat utilisasi rata-rata di kisaran 70%.
Rizal mengungkapkan peralihan bahan baku dari rantai pasok global ke dalam negeri hanya terjadi sedikit lantaran adanya faktor harga, ketersediaan, dan permintaan pembeli untuk menggunakan bahan impor.
“Untuk bahan baku industri garmen itu kalau impornya besar karena selama ini impor untuk kawasan berikat dan KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor). Kalau non berikat dan KITE itu bahan bakunya lokal,” katanya.
Untungnya, tindakan safeguard terhadap produk benang, kain, dan tirai impor berdampak positif terhadap meningkatnya permintaan produk TPT dalam negeri. Hal ini mampu menggerakkan rantai pasok industri tekstil dalam negeri.
“Secara teknis kita bisa memproduksi itu. Cuma biasa, persoalannya harga dan jumlah. Kalau didorong kondisi ekositem yang mendukung, industri kita pasti akan menyesuaikan. Kalau ada demand (permintaan), supply (penawaran) pasti ada,” ungkapnya.
Lantaran sifat safeguard yang sementara, dirinya berharap pemerintah turun tangan untuk meningkatkan daya saing industri TPT nasional. Tujuannya tak lain agar dapat bersaing dengan produk impor. Dia berharap adanya penurunan biaya listrik serta keringanan suku bunga dan cicilan perbankan, terutama dalam kondisi pagebluk seperti sekarang.
Berhenti produksi karena pandemi
Tutupnya sejumlah pusat grosir tekstil turut dirasakan industri penopang tekstil. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta mengungkapkan pandemi berimbas pada kegiatan operasional para anggotanya. Sekitar 50% anggotanya menghentikan produksi dan sisanya hanya beroperasi dengan utilisasi di bawah 30%. Hanya satu anggotanya yang masih dapat beroperasi secara penuh.
“Kita lokal sih karena market kita 75-80% kita lokal. Ekspornya kalau di hulu sedikit. Semua tekstil sebenarnya sebagian besar user lokal, meskipun ada orang bicara orientasi ekspor. Tapi dilihat dari penjualan dan produksi semuanya banyakan lokal, termasuk garmen,” ungkapnya ketika dihubungi oleh Alinea.id.
Kala virus Covid-19 mulai muncul di China, para produsen serat dan benang sempat mengalami kenaikan permintaan sekitar 5%. Dia menduga hal itu disebabkan oleh kebijakan safeguard dan adanya pergesaran pasokan bahan baku. Namun, ketika pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) terjadi di sejumlah daerah, permintaan langsung jatuh ke titik nadir.
Redma menjelaskan terdapat tiga bahan baku utama yang kerap dipakai dalam pembuatan serat tekstil, yaitu kapas, rayon, dan polyester. Hampir seratus persen kebutuhan kapas dipenuhi dari impor, yakni sebanyak 600 ribu ton per tahun, dua pertiganya digunakan untuk kebutuhan ekspor. Kapas sendiri diperlukan untuk memproduksi serat katun.
Di sisi lain, Indonesia merupakan produsen terbesar kedua dunia untuk rayon dan ketiga dunia untuk polyester dengan kapasitas produksi masing-masing 800 ribu ton dan 1,6 juta ton per tahun.
Menurutnya, rayon dan polyester berpotensi untuk menggantikan kebutuhan kapas impor yang kerap digunakan untuk memproduksi kapas lantaran tren dunia yang beralih ke bahan tekstil non-katun. Dengan teknologi terkini, keduanya dapat menghasilkan serat hampir menyerupai katun. Namun tantangannya adalah harga yang sedikit lebih mahal dan kultur pemintalan katun yang telah mengakar.
“Kalau dulu cotton (katun) 60%, polyester 35%, dan sisanya yang lain. Sekarang sudah bergesar. Cotton sekarang 40%, polyester 40%, dan rayon 20%. Kalau kita lihat tren sekarang, cotton akan berkurang jadi 35%. Sedikit demi sedikit substitusi terjadi,” tuturnya.
Rantai pasok dalam negeri vs rantai pasok global
Rantai pasok dalam negeri yang kurang kompetitif memunculkan dua pilihan : Apakah membangun rantai pasok dalam negeri atau menawarkan keunggulan komparatif nasional demi memanfaatkan jaringan rantai pasok global?
Andry Satrio Nugroho dari Indef menjelaskan terdapat tiga alasan impor bahan baku masih kerap terjadi. Pertama, industri hulunya masih belum terbangun karena permintaannya masih rendah atau harganya lebih mahal apabila diproduksi di dalam negeri. Kedua, industri hulu dan hilir belum terintegrasi karena maraknya ekspor produksi industri hulu. Ketiga, penguasaan sumber bahan baku oleh segelintir negara.
“Apakah Indonesia bisa membangun rantai pasoknya agar lebih mandiri? Tentu bisa. Salah satu kuncinya meningkatkan industri hulu yang saat ini masih bermasalah,” tulisnya melalui pesan singkat.
Menurutnya, pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah untuk membenahi industri hulu adalah menurunkan komponen biaya utilitas dan meminimalkan kecenderungan praktik pungutan liar.
Sementara itu, Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi memandang rantai pasok yang hanya mengandalkan jaringan dalam negeri sudah ketinggalan zaman. Dia justru mengharapkan Indonesia berperan lebih aktif dalam rantai pasok global yang secara ekonomi lebih kompetitif.
Dia melihat adanya tren relokasi pabrik dari China ke negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara menjadi kesempatan emas bagi Indonesia untuk menarik investor ke dalam negeri. Di antara lima kekuatan ekonomi terbesar ASEAN, Indonesia menempati peringkat buncit dalam rantai pasok global.
“Dalam skema apapun kita harus berpartisipasi. Jangan sampai kita buat suatu network production sendiri dan fokus dalam negeri, inward looking (melihat ke dalam). Kita akan ketinggalan gerbong. Memang betul negara-negara maju lebih inward looking dan proteksionis, tapi biarin aja karena mereka losersnya dalam jaringan rantai pasok global,” tuturnya kepada Alinea.id.
Fithra melihat pemulihan rantai pasok global pasca pendemi masih belum terjadi hingga ditemukannya vaksin Covid-19. Dia memprediksi hal tersebut mulai terjadi pada akhir 2021. Untuk Indonesia sendiri, dia menduga pemulihan ekonomi baru akan terlihat pada kuartal empat tahun ini.
Menurutnya, sektor industri unggulan Indonesia yang memiliki ketahanan di tengah pelemahan ekonomi global adalah industri tekstil, pakaian jadi, dan produk kulit, furnitur, produk mineral non-logam, kayu dan produk kayu non-furnitur, serta karet dan produk plastik.
“Bukan masalah Indonesia kalah saing atau enggak, itu bukan ukurannya. Hal yang jadi ukuran, masing-masing negara mempunyai keunggulan. Kita bisa memanfaatkan keunggulan masing-masing negara itu untuk berjejaring ke rantai global,” tegasnya.