Mengukur dampak perang dagang AS-China ke Indonesia
Genderang perang telah ditabuh oleh China. Negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping tersebut resmi memberlakukan tambahan tarif sebesar 25% terhadap produk asal Amerika Serikat termasuk buah dan daging babi mulai Senin (2/4). Kebijakan ini menyusul langkah Presiden Donald Trump yang lebih dahulu mengenakan tarif tambahan sebesar 25% untuk produk baja dan 10% bagi aluminium impor terhadap beberapa negara termasuk China.
Trump beralasan pemberlakuan tambahan tarif lantaran impor aluminium menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri. Mulai dari tahun 2013 hingga 2016, jumlah lapangan kerja industri aluminium susut 58% dan enam smelter gulung tikar. Selain itu juga, kelebihan produksi global baja sebesar 700 juta ton dikhawatirkan merusak pasar dalam negeri. Dalam hal ini, China dikenal sebagai penghasil dan pengekspor baja terbesar serta sumber terbesar dari kelebihan produksi baja global.
Upaya AS membendung produk China pun segera dibalas. Pemerintah China resmi mengeluarkan daftar 128 produk yang dikenakan tarif. Beberapa produk yang dikenakan tarif tambahan di antaranya adalah tanaman untuk kebutuhan farmasi dan parfum, minuman fermentasi atau wine dari buah anggur segar, buah-buahan dan kacang-kacangan, serta produk besi dan baja.
Merujuk kepada data World Trade Atlas, defisit neraca perdagangan AS dengan China makin melebar di periode tahun 2013 hingga 2017. Tak heran jika AS was-was dengan kondisi neraca dagang mereka terhadap China di masa mendatang. Tahun lalu, AS impor produk dari China sebesar US$ 505,59 miliar atau naik 9,29% dari tahun sebelumnya sebesar US$ 462,62 miliar. Sedangkan, nilai ekspor AS ke China di tahun lalu tercatat hanya US$ 130,37 miliar. Artinya, sepanjang tahun 2017, neraca dagang AS terhadap China defisit sebanyak US$ 375,23 miliar. Nilai ini melonjak 8,13% dibandingkan defisit neraca dagang pada tahun 2016 yakni sebesar US$347,02 miliar.
Secara hitungan angka, aplikasi bea masuk tambahan ini bakal menguntungkan AS ketimbang China. Nilai perdagangan atas produk-produk yang dikenakan bea masuk tambahan oleh AS terhitung mencapai US$ 60 miliar. Sedangkan, nilai impor yang dikenakan pajak tambahan oleh China hanya US$ 3 miliar. Yang pasti, perang tarif antara kedua negara tersebut membuat pasar China di AS semakin susut. Selama ini, China mencuri pasar domestik AS dengan menawarkan harga miring dibandingkan dengan produsen lainnya. Dengan adanya bea masuk tambahan ini, China tak bisa lagi membanderol harga murah. Industri domestik AS dipercaya bisa bangkit lantaran harganya bisa berkompetisi.
Kendati begitu, AS tidak akan lepas dari dampak negatif perang tarif. Bagaimanapun, harga murah membantu AS mengikat angka inflasi ke dalam tingkat yang paling rendah. Dengan adanya kenaikan tarif, harga produk hilir akan melambung tinggi. Tentu saja hal ini bakal berpengaruh terhadap biaya hidup konsumen serta menyulut inflasi. Tingginya angka inflasi berpotensi untuk memaksa The Federal Reserve menaikkan suku bunga di level yang lebih tinggi. Pada akhirnya, cita-cita mengembalikan AS ke dalam pertumbuhan ekonomi yang kuat hanya sebatas mimpi.
Indonesia harus pasang kuda-kuda
Perang dagang antara AS dan China memang tidak akan berdampak langsung terhadap Indonesia. Namun, jika kondisi tersebut berkepanjangan, China akan mengalihkan produk baja dan aluminiumnya ke negara lain dan Indonesia menjadi salah satunya. Kekhawatiran banjir impor produk China beralasan. Sebab, produsen baja Indonesia mengeluh adanya persaingan tidak sehat yang diterapkan oleh China. Produk-produk baja buatan China dibuang ke Indonesia dengan harga murah. Tentu saja, produk buatan lokal tergencet karena tidak mampu bersaing.
Sama halnya dengan AS, Indonesia juga bergantung impor terhadap China. China berada di posisi pertama sebagai negara importir paling besar di Indonesia, mengungguli Singapura dan Jepang. Data the World Trade Atlas menunjukkan, pada Periode Januari hingga November 2017, Indonesia impor dari China sebanyak US$32,04 miliar atau tumbuh 15,78% year on year dari US$27,67 miliar. Komoditas besi dan baja menjadi komoditas ketiga terbesar untuk impor dari China. Per November 2017, impor besi dan baja dari China sebesar US$1,78 miliar atau melambat 7,43% dari November 2016 sebesar US$1,92 miliar.
Dalam tujuh tahun terakhir mulai dari 2011, tren impor besi dan baja dari China cenderung meningkat. Lihat saja, pada tahun 2011, Indonesia hanya impor besi dan baja dari China sebesar US$989,96 juta. Nilainya terus bertambah dari tahun ke tahun. Hingga pada tahun 2016, impor besi dan baja Indonesia tembus US$2,09 miliar.
Pemerintah Indonesia sejatinya telah memasang pagar pelindung yakni dengan menerapkan anti dumping dan safeguard. Setidaknya, tujuh trade remedies ditujukan kepada China untuk produk baja dan aluminium. Bea masuk tambahan yang dibebankan pun cukup bervariasi, mulai dari di bawah 10% hingga 20%. Nyatanya, kebijakan ini tak mampu menekan laju impor produk besi dan baja.
Wajar jika kebijakan AS ini membuat produsen lokal was-was akan ancaman banjir impor produk dari China. Apalagi, pemerintah Indonesia sedang gencar-gencarnya melancarkan proyek infrastruktur. Agenda pemerintah ini bakal mendongkrak kebutuhan baja dan aluminium. Eksportir China yang jeli melihat pasar Indonesia tentu saja memanfaatkan ini sebagai tiket masuk ke pasar Indonesia. Alhasil, para produsen baja ramai-ramai meminta kepada Kementerian Perdagangan untuk melindungi produk dalam negeri dari serbuan impor. Segala instrumen tak hanya safeguard dan dumping melainkan juga pemberlakuan Sertifikat Nasional Indonesia (SNI) dan inspeksi harus diberlakukan.
Selain faktor mencegah bangkrutnya industri lokal, banjir impor produk China harus diwaspadai terkait dengan cadangan devisa dan nilai tukar. Tingginya nilai impor akan menguras cadangan devisa negara. Selain itu juga, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berpotensi melemah. Hal ini akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menurunkan kredit perbankan menjadi salah satu cara untuk menekan dampak perang dagang AS-China di Indonesia. Peneliti Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan Bank Indonesia bisa menerapkan sederet kebijakan termasuk menurunkan suku bunga acuan.
Selain itu, banyak instrumen lain yang bisa diterapkan seperti pengendalian inflasi melalui koordinasi tim pengendalian inflasi daerah (TPID), melonggarkan aturan terkait loan to value (LTV), serta meningkatkan koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar perbankan cepat turunkan suku bunga kredit.
"BI bisa keluar dari pakem utak atik bunga acuan, harus kreatif di tengah keterbatasan dan ketidakpastian ekonomi saat ini," ujar Bhima kepada Alinea.id.
Di sisi lain, aksi Xi Jinping membalas Trump juga bisa dimanfaatkan oleh Indonesia dengan cara menaikkan ekspor komoditas yang diberlakukan tambahan tarif oleh China. Kini, giliran para eksportir dari Indonesia yang harus jeli melihat potensi ini untuk mencuri pasar AS di China. Beberapa komoditas yang bisa dimanfaatkan Indonesia mendongkrak ekspor ke China antara lain kelapa, kacang mede, buah bertempurung seperti almond dan walnut, buah jeruk segar atau dikeringkan, anggur segar atau dikeringkan, melon, pepaya, semangka, apel, serta buah-buah lainnya yang masuk dalam kategori HS Code 08. Sebab, komoditas-komoditas ini jika diimpor dari AS ke China akan memperoleh tarif yang cukup mahal. Sedangkan, Indonesia bisa memanfaatkan kerjasama ASEAN China Free Trade guna memperoleh pembebasan bea masuk atau tarif yang rendah. Komoditas lainnya yang bisa dinaikkan ekspornya ke China adalah daging babi, pipa dari besi atau baja, serta sisa skrap dan aluminium.
Bersambung ke bagian 3
Baca juga bagian 1 Tarif tinggi untuk produk pertanian AS ke China