Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyatakan realisasi pembangunan hunian dalam program sejuta rumah hingga 18 Mei 2018 telah mencapai 335.000 unit. Capaian ini masih di bawah target pemerintah pada kuartal II-2018.
“Sebenarnya kami menargetkan realisasi bisa mencapai 400.000 unit sampai saat ini,” kata Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan PUPR Khalawi Abdul Hamid, kepada sejumlah media di Jakarta, Rabu (23/5).
Rendahnya angka realisasi tersebut disebabkan beberapa faktor, yakni penyesuaian realisasi akad kredit pemilikan rumah (KPR) dengan kebijakan yang berlaku. Kementerian PUPR juga tengah memastikan kualitas pembangunan rumah sesuai dengan aturan yang berlaku. Selain itu, Kementerian PUPR sedang melakukan penertiban untuk pengembang yang menyediakan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). “Memang ada sedikit penyesuaian agar pengembang juga bisa bekerja sesuai kebijakan yang berlaku,” katanya.
Realisasi program sejuta rumah ini biasanya mulai meningkat memasuki pertengahan tahun. Oleh sebab itu, dia optimistis, penyerapan dana subsidi dari fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dapat dipercepat dalam dua bulan ke depan. Apalagi, PUPR juga sudah menugaskan satgas pemantauan dan pengawasan program satu juta rumah sekitar dua bulan lalu agar program bisa berjalan dengan baik.
Tak terganggu kenaikan suku bunga
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata mengatakan, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7-Days Reverse Repo Rate tidak memengaruhi pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
“Kalau perumahan nonsubsidi banyak komponen yang impor sehingga kebutuhan dollar tinggi. Kalau khusus MBR lebih ke semen. Lagi pula kandungan impor semen hanya beberapa persen,” ujar Soelaeman.
Kendati begitu, pasar perumahan nonsubsidi terpengaruh pada semua lini termasuk menurunnya daya beli konsumen. Nah, kenaikan suku bunga acuan ini diprediksi akan berdampak pada layer tiga, yakni kenaikan upah buruh. Itulah sebabnya, kenaikan suku bunga acuan tetap harus diwaspadai untuk melihat pengaruhnya secara umum pada properti. “Pengaruhnya masih kami tunggu karena kalau di properti tidak langsung terdampak. Tunggu tiga bulan, baru nanti terlihat polanya,” tutur Eman.
Sebelumnya, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan pada 2018 pemerintah melalui Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP), menyalurkan KPR subsidi lewat program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk 42.326 unit rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Dana yang disalurkan sebesar Rp 4,5 triliun yang terdiri atas Rp 2,2 triliun berasal dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran atau DIPA dan Rp 2,3 triliun dari optimalisasi pengembalian pokok.
Keberhasilan penyaluran KPR subsidi FLPP, nantinya tidak hanya diukur dari besarnya kredit yang tersalurkan. Melainkan juga harus dilihat kualitas rumah subsidi yang dibangun pengembang, sehingga keluhan konsumen bisa diatasi dengan baik.
"Ke depan saya ingin konsumen lebih dilindungi. Saya bertanggung jawab untuk melindungi konsumen apalagi KPR FLPP, karena ada uang rakyat di sana," kata dia.
Sepanjang 2018, jumlah bank pelaksana FLPP sebanyak 40 bank terdiri dari enam bank nasional dan 34 bank pembangunan daerah (BPD) atau meningkat dibandingkan 2017 sebanyak 33 bank. Penyaluran KPR FLPP dilakukan oleh PPDPP kepada MBR melalui bank pelaksana yang bekerjasama.
Melalui KPR FLPP, MBR menikmati uang muka 1%, bunga tetap 5% selama masa kredit maksimal 20 tahun, bebas PPn dan bebas premi asuransi. Sementara syarat penerima subsidi salah satunya adalah gaji/penghasilan pokok tidak melebihi Rp 4 juta untuk Rumah Sejahtera Tapak dan Rp 7 juta untuk Rumah Sejahtera Susun.
“PPDPP ikut bertanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan fisiknya, tidak hanya menyalurkan kreditnya saja, tapi juga mengawal kualitas rumah dan tingkat huniannya," tutur Basuki.
Kementerian PUPR juga akan meningkatkan pelayanan dan pengawasan penyaluran KPR FLPP. Dirjen Pembiayaan Perumahan Lana Winayanti mengatakan Kementerian PUPR akan membuat sistem registrasi pengembang dan mulai diberlakukan pada awal Januari 2018. "Nantinya lewat sistem itu, hanya pengembang yang sudah terdaftar saja yang bisa membangun rumah FLPP ," katanya.
Registrasi pengembang dilaksanakan dalam rangka menata, mengkoordinir serta meningkatkan peran asosiasi dan pengembang dalam memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR, sehingga MBR dapat terlindungi dengan kepastian kualitas rumah yang dibelinya.