Mengungkit batu bara agar tak hanya jadi pembangkit
Peningkatan nilai tambah sumber daya alam menjadi salah satu fokus pemerintah dalam rangka menggerakkan perekonomian Indonesia. Tak terkecuali batu bara yang menjadi komoditas ekspor andalan Indonesia.
Berdasarkan kajian Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumberdaya Manusia (ESDM), jumlah cadangan batu bara di Indonesia mencapai 37,6 miliar ton per Desember 2019. Adapun produksi batu bara nasional mencapai 616,16 juta ton pada 2019 dan menempatkan Indonesia menjadi negara produsen terbesar di dunia setelah China dan India.
Di sisi lain, sebagian besar batu bara dalam negeri masih diekspor ke luar negeri dengan volume mencapai 454,5 juta ton atau 73,76% dari total produksi batu bara nasional.
Hal ini pun mengundang kegundahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Presiden akhirnya menitahkan pengembangan peta jalan hilirisasi batu bara kepada seluruh jajaran terkait di kabinetnya.
Pemerintah telah menyiapkan sejumlah skema hilirisasi batu bara sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No.77 Tahun 2014 (PP 77/2014) tentang Perubahan Ketiga Atas PP 23/2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batu Bara.
“Kita harus bergerak untuk pengembangan industri turunan dari batu bara, mulai dari industri peningkatan mutu (upgrading), kemudian pembuatan briket batu bara, kemudian pembuatan kokas, kemudian pencairan batu bara, kemudian gasifikasi batu bara, sampai dengan campuran batu bara air,” terang Jokowi dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Rabu (23/10).
Amanat pengembangan industri turunan atau hilirisasi batu bara sebenarnya sudah tercantum dalam UU 3/2020 tentang Perubahan Atas UU 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara Pasal 102 ayat (2) yang memungkinkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk dapat melakukan kegiatan pengembangan dan/atau pemanfaatan batu bara.
Bahkan, IUPK yang mendapat perpanjangan kedua kelanjutan operasi kontrak/perjanjian wajib melaksanakan pengembangan dan/atau pemanfaatan batu bara di dalam negeri menurut Pasal 169A ayat (4).
Sejumlah insentif diberikan pemerintah dalam rangka mendorong proses hilirisasi. Sebut saja pembebasan bayar royalti dan perpanjangan (UU Cipta Kerja Pasal 39 poin pertama), jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang pada wilayah IUP dan IUPK (UU 3/2020 Pasal 17A ayat (2)), perpanjangan IUPK selama 10 tahun setiap kali perpanjangan izin (UU 3/2020 Pasal 169A ayat (5)). dan penghapusan pajak (tax holiday) 10-20 tahun (Peraturan Menteri Keuangan 35/2018).
Pemerintah juga memberi iming-iming pengurangan penghasilan kena pajak atau tax allowance (Peraturan Pemerintah 9/2016). Selain itu, pemerintah juga sedang menyusun peraturan lainnya dari UU 3/2020 dan UU Cipta Kerja demi keberhasilan program hilirisasi batu bara.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan dan Tata Kelola Minerba Irwandy Arif menegaskan berbagai insentif yang diberikan merupakan bukti dukungan pemerintah terhadap upaya hilirisasi batu bara.
Menurutnya, hilirisasi bukan berarti menghentikan ekspor, melainkan adalah upaya meningkatkan serapan dalam negeri dan nilai tambah hasil tambang batu bara. Selama ini, serapan dalam negeri dalam bentuk Domestic Market Obligation (DMO) masih relatif rendah, yakni 138,42 juta ton pada 2019 atau hanya 22,46% dari total produksi nasional.
Jumlah ini menurun dibanding serapan DMO pada 2018 yang sebesar 155,08 juta ton namun meningkat dibanding tahun 2017 yang sebesar 97,03 juta ton. Adapun produksi Dimetil Ether (DME) dan methanol untuk keperluan substitusi Liquid Petroleum Gas (LPG) masih menjadi prioritas.
“Sebenarnya, kemudahan-kemudahan itu sudah sangat difasilitasi. Persoalannya bagaimana mengatur dan mengintegrasikan antar produksi, pemasaran, keuangan, dan kemudahan fiskalnya. Untuk kemudahan non fiskalnya, sudah diberikan perpanjangan tiap 10 tahun sampai cadangannya habis apabila mereka betul-betul melakukan nilai tambah,” terang Irwandy dalam webinar Indonesia Coal Downstream Outlook – Where To Go, Kamis (5/11).
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan pihaknya menargetkan penyusunan peraturan pemerintah (PP) turunan akan selesai dalam waktu enam bulan.
“Sekarang satu dari tiga PP telah mencapai tahap harmonisasi yaitu RPP (Rancangan PP) pengusahaan. Sementara RPP tentang kewilayahan serta pembinaan dan pengawasan sudah menuju selesai. Masukan-masukan APBI (Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia) sudah kami akomodir. Semoga proses ini berjalan lancar dan tidak mempersulit pelaku industri,” ungkapnya dalam webinar Bersinergi, Berenergi, Hadapi Pandemi, Rabu (28/10).
Ridwan menambahkan peningkatan nilai tambah batu bara amatlah penting mengingat batu bara di Indonesia merupakan batu bara berkalori rendah (<5.000 kcal/kg). Pemerintah pun tengah mendorong pengusaha tambang yang tadinya sekadar menjual batu bara berkalori rendah ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi produk yang memiliki nilai tambah ekonomis.
“Pemerintah terbuka untuk berbagai masukan dan siap berdialog, namun kami mohon setelah berdialog dapat melaksanakan kesepakatannya secara konsisten. Oleh karena itu, perlu ada upaya konservasi batu bara, khususnya yang berkualitas rendah dalam rangka mengamankan konsumsi dalam negeri dan meningkatkan nilai tambah batu bara di masa yang akan datang,” tuturnya.
Di sisi lain, cadangan batu bara di Indonesia diperkirakan akan tersisa 24,75 miliar ton pada 2040, sehingga masih mencukupi kebutuhan hingga lebih dari 50 tahun. Menurut Ridwan, jumlah tersebut masih belum memadai seiring peningkatan kebutuhan batu bara nasional. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dan pelaku usaha bersama-sama menggenjot eksplorasi cadangan batu bara yang baru.
Peluang hilirisasi
Direktur Pengembangan Bisnis PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Fuad Iskandar Zulkarnain Fachroeddin mengungkapkan adanya peluang perusahaan untuk menjalankan program hilirisasi batu bara, yaitu pengolahan batu bara menjadi bahan kimia (coal to chemical) dan karbon aktif (coal to activated carbon).
Pihaknya berencana membangun pabrik pengolahan batu bara menjadi DME di Tanjung Enim, Sumatera Selatan dengan kapasitas produksi sebanyak 1,4 juta ton dan kebutuhan batu bara 6 juta ton per tahun yang ditargetkan beroperasi pada 2025.
Oleh karena itu, PTBA menjalin kemitraan dengan Air Product & Chemical Inc. untuk pengolahan batu bara menjadi DME dan PT Pertamina (Persero) sebagai pembeli yang akan mendistribusikannya ke konsumen. Adapun nilai investasi yang dibutuhkan mencapai US$2,1 miliar atau Rp29,4 triliun (US$ 1 = Rp14.000).
“Kita juga ingin menempatkan Coal to DME plant dalam industrial estate (kawasan industri) yang mudah-mudahan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus yang dimulai dari kawasan industri berbasis batu bara PT Bukit Asam. Kalau kita melihat di negara lain, contohnya Tiongkok sudah menghasilkan hilirisasi batu bara bukan hanya DME, tapi juga ada high speed diesel, urea, polipropilena, MEG (Mono Etilen Glikol), dan lainnya,” jelasnya.
Selain PTBA, konsorsium Grup Bakrie juga terpincut proyek gasifikasi batu bara. Konsorsium yang beranggotakan PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Bakrie Capital Indonesia, dan PT Ithaca Resource tersebut tengah menggarap pabrik pengolahan batu bara menjadi methanol di Batuta Industrial Chemical Park, Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Grup Bakrie turut menggandeng Air Product yang juga menjadi mitra PTBA dalam gasifikasi batu bara. Adapun nilai investasi proyek tersebut mencapai US$2 miliar atau Rp28 triliun dan ditargetkan rampung pada 2024 mendatang.
Belum banyak dilirik
Meskipun pemerintah telah memberi berbagai insentif dalam proyek hilirisasi batu bara, masih banyak investor yang belum berminat. Presiden Jokowi menyebut baru lima pemegang IUPK operasi produksi yang melakukan peningkatan mutu batu bara (coal upgrading) dan dua pemegang IUPK operasi produksi yang memproduksi briket batu bara.
“Saya mendapatkan laporan bahwa pengembangan industri turunan ini masih terkendala urusan yang berkaitan dengan keekonomian, juga terkendala dengan faktor teknologi. Saya kira ini bisa diatasi kalau perusahaan-perusahaan itu atau BUMN itu berpartner atau mencari partner,” katanya.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengapresiasi langkah pemerintah yang mendorong hilirisasi batu bara, namun pihaknya mengharapkan peta jalan yang cermat dan menunggu peraturan turunan UU 3/2020 yang mengamanatkan hal tersebut.
“Ini bagi perusahaan batu bara bisnis baru. Batu bara selama ini digunakan untuk pembangkit listrik. Ini kan diminta untuk diolah lagi jadi bahan baku kimia. Ini bidang yang baru, pasar yang baru. Kita enggak paham pasarnya seperti apa. Apalagi teknologi yang dipakai dari luar masih mahal. Memang harus di-support oleh pemerintah,” ungkapnya kepada Alinea.id, Sabtu (7/11).
Menurutnya, insentif berupa pembebasan royalti masih belum cukup bagi investasi pengolahan batu bara. Hendra mengatakan perlu ada insentif lain seperti pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) impor barang produksi dan berbagai insentif non fiskal seperti kemudahan perizinan tambang. Insentif ini diperlukan lantaran mahalnya biaya investasi yang diperlukan.
“Proyek-proyek hilirisasi itu bisa 30 tahun atau bahkan lebih. Tidak semua perusahaan yang punya cadangan. Perusahaan kecil ada yang cuma punya cadangan 4, 5, atau 10 tahun. Tentu enggak semua perusahan dan itu investasi besar, enggak mungkin perusahaan-perusahaan kecil buat itu. Itu harus dibuat aturannya apakah bisa dikerjasamakan atau apa. Tidak kalah penting pasarnya mau dijual kemana. Apakah ada yang beli? Itu harus diatur harganya seperti apa,” jelasnya.
Selain itu, Hendra berharap adanya konsistensi peraturan untuk meningkatkan kepercayaan dan keyakinan investor dalam menjalankan proyek hiliriasi batu bara. Pihaknya sudah melakukan berbagai pembicaraan dengan pemerintah terkait peraturan turunan UU 3/2020 agar dapat mendukung proyek peningkatan nilai tambah batu bara.
“Bagaimana menciptakan kebutuhan dalam negeri itu tugas kita bersama. Kalau semua faktor-faktor tadi mendukung keekonomian, kita akan berlomba-lomba lah. Sepanjang belum ada, memang belum ada. Kalau insentifnya belum jelas, belum ada yang mulai,” tegasnya.
Kepala Depatemen Riset Industri dan Regional Bank Mandiri Dendi Ramdani melihat proyek gasifikasi batu bara masih belum layak secara ekonomis. Mengutip hasil kajian dari Kementerian ESDM tahun 2019, harga DME baru layak secara ekonomis jika mencapai US$455-582/ton, sementara itu harga rata-rata LPG sepanjang tahun 2020 mencapai US$398/ton.
Dia menilai, harga batubara yang ideal untuk mencapai keekonomian DME adalah US$40/ton atau kurang. Di sisi lain, harga acuan batubara Indonesia yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM sudah mencapai US$55,71/ton per November 2020.
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah memberikan insentif kepada para pelaku usaha tambang agar mampu menghasilkan produk hilirisasi yang kompetitif seperti subsidi maupun pembebasan royalti.
“Sebagian besar kan (batubara) dikonversi ke DME untuk menggantikan LPG konsumsi rumah tangga. Kenapa enggak diubah ke hilirnya saja, sehingga masyarakat menggunakan kompor listrik. Di hilirnya yang diubah seperti konversi dari minyak tanah ke gas, terus gas ke listrik. Toh, kapasitas pembangkit listrik kita berlebih,” katanya melalui telekonferensi, Kamis (5/11).
Dendi mengatakan pendanaan bagi perusahaan batu bara mengalami tren penurunan secara global seiring dengan meningkatnya tren energi hijau maupun adanya regulasi perbankan mengenai pendanaan hijau yang ramah lingkungan.
Menjadi pengungkit ekonomi
Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan kebijakan peningkatan nilai tambah batu bara masih menimbulkan pertanyaan besar, apakah pilihan dibebaskan kepada korporasi atau dibebankan kepada pemerintah yang mengakomodir besarnya investasi yang diperlukan.
“Saya melihat kalau kita menggabungkan antara satu korporasi yang melaksanakan mining industry dengan mandat coal development (pengembangan batu bara) dan utilitasi (pemanfaatan batu bara), tentu dengan pilihannya masing-masing. Ini dua hal yang berbeda. Satu sudah masuk ke ranah industri kimia yang tentu perhitungan dan kultur bisnisnya akan lain dan berbeda dengan assessment yang ada di tambang,” tuturnya pada Kamis (5/11).
Pria yang juga menjabat sebagai General Manager Corporate Communications PT Berau Coal ini berharap adanya keberanian pemerintah untuk merevisi Rancangan Kegiatan dan Anggaran Belanja (RKAB) tambang batu bara dari yang tahunan menjadi lima tahun, sehingga kepastian produksi untuk industri hilir dapat terjamin.
Kemudian, Singgih menyarankan adanya kelonggaran dalam pembatasan produksi batu bara sebelum memasuki produk peningkatan nilai tambah. Dia beralasan produksi batubara tahun lalu sudah melebihi batas dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang hanya 400 juta ton dan potensi meningkatnya serapan domestik bila kebijakan hilirisasi berjalan.
“Pertama, lebih baik coal development harus dibuka bukan ditetapkan (oleh pemerintah). Kalau itu menyangkut high tech investment, seharusnya pemerintah di depan. BUMN perlu dilibatkan, bukan hanya sekadar menyerahkan kepada swasta. Kedua, akselerasi ini penting karena selama ini 75% batu bara diekspor, sehingga menjadi economic booster (pengungkit ekonomi) apabila mengembangkan batu bara untuk peran yang lain,” terangnya.
Terkait potensi substitusi LPG oleh gas yang berasal dari batu bara, kata Singgih, pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan pembenahan tata niaga batubara nasional agar tidak mengulangi kegagalan yang dialami oleh briket batu bara.
Pakar Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai kebijakan hilirisasi batu bara yang ditempuh pemerintah sudah tepat serta dasar hukum yang menyertainya sudah kuat. Ini bisa menjadi dasar untuk memaksa para pelaku usaha meningkatkan nilai tambah produksi mereka. Selanjutnya, tinggal bagaimana peraturan turunan yang ada mampu menyeimbangkan kepentingan negara dengan investor.
Kebijakan hilirisasi, menurutnya, akan menurunkan ekspor batu bara dalam jangka pendek. Namun seiring berjalannya waktu, nilai ekspor akan kembali meningkat daripada sekedar mengekspor batu bara mentah.
“Saya melihat pengusaha batu bara paradigmanya sudah telanjur gali-jual, gali-jual, tidak ada memikirkan nilai tambah, sehingga resistensi itu datang dari pengusaha. Kalau mental pengusaha hanya cari mudah, gali-jual tadi, maka selamanya akan seperti itu dan batu bara akan habis tanpa memberikan nilai tambah,” tegasnya melalui sambungan telepon, Sabtu (7/11).
Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis ini tak setuju penerapan pengenaan royalti nol persen bagi perusahaan tambang yang melakukan peningkatan nilai tambah. Menurutnya, pendapatan royalti merupakan salah satu instrumen pemerintah untuk mengelola sumber daya alam demi kemakmuran rakyat sesuai amanat konstitusi. Alih-alih royalti, Fahmy menyarankan penerapan insentif fiskal lain seperti tax holiday maupun pembebasan PPN.
“Jangan sampai batu bara sebagai kekayaan alam yang mestinya untuk kemakmuran rakyat, nantinya jadi kemakmuran pengusaha. Kan enggak benar,” ujarnya.
Berbeda dengan Dendi, Fahmy berpendapat pengolahan batubara menjadi DME memiliki harga pokok lebih rendah dibandingkan LPG impor bila diproduksi dalam jumlah besar secara efisien. Ia beralasan bahan baku batu bara tersedia secara melimpah di dalam negeri.
“Itu (hilirisasi) sangat tepat, tapi pemerintah perlu mengarahkan investor untuk melaksanakannya. Dengan upaya hilirisasi yang menghasilkan produk-produk turunan tadi, dia akan membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan nilai tambah, mengurangi impor, itu semua benefit yang setara dengan melarang ekspor batu bara dan mendorong hilirisasi,” jelasnya.