close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/MT. Fadillah.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/MT. Fadillah.
Bisnis
Selasa, 05 Oktober 2021 16:31

Menilik peluang karier di masa depan

Calon pekerja harus mengembangkan diri dengan pendidikan formal dan non-formal untuk menyesuaikan kebutuhan pasar tenaga kerja.
swipe

Seiring berkembangnya zaman, profesi di bidang teknologi dan informasi (TI) semakin dilirik oleh masyarakat. Tidak hanya karena berubahnya era teknologi konvensional menjadi digital, profesi yang berhubungan erat dengan internet dan berbagai gadget itu pun semakin digandrungi anak-anak muda lantaran memiliki gaji tinggi.

Salah satunya ialah Reza Alfian (24). Saat ini ia memilih profesi sebagai User Interface (UI) Designer di salah satu perusahaan TI di Jakarta Selatan yang berfokus pada industri asuransi. Laki-laki yang karib disapa Alfian itu bilang, meski tak memiliki latar belakang akademisi sebagai UI designer, dirinya mantap meniti karier di bidang itu karena beberapa hal.

Pertama, menurutnya, di era digital ini makin banyak produk-produk online atau yang  tersedia secara digital membutuhkan banyak pembaruan. Demi kemudahan konsumen, banyak produk konvensional atau yang baru tersedia secara offline kini dibuat versi online. 

"Kayak asuransi. Kalau tadinya orang harus ke kantor atau cabang untuk bisa beli produk asuransi, sekarang enggak perlu lagi karena sudah ada online-nya. Dan itu kan juga butuh untuk terus diperbarui," jelasnya, saat dihubungi Alinea.id, Senin (4/10).

Pertimbangan lain mengapa alumni Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Mercu Buana itu memilih menjadi UI Designer ialah karena gaji seorang UI/UX (User Experience) Designer lumayan besar. Dia bilang, untuk pengalaman kerja selama 2 tahun, orang yang setiap hari berkecimpung di bidang desain software itu bisa mendapatkan upah sekitar Rp9-15 juta per bulan untuk wilayah kerja di Jakarta dan sekitarnya.

"Itu pertimbangan paling realistis dong. Selain karena ke depannya juga pofesi ini masih banyak dibutuhkan," kata Alfian sambil terkekeh.

Ilustrasi Unsplash.com.

Berbeda dengan Alfian, Nadhira Shafa (22) lebih memilih untuk berkarier sebagai content creator. Berbekal ilmu dari bangku kuliah, alumni Sastra Jepang Universitas Dian Nuswantoro Semarang ini lantas mendirikan @CatatanJepangku. Kelas belajar Bahasa jepang digital itu baru dimulainya sejak akhir Mei lalu.

Nadhira bilang, pada mulanya menjadi content creator bukan merupakan pekerjaan yang benar-benar diinginkannya. Namun, dengan adanya pandemi Covid-19, mimpinya untuk menjadi penerjemah Bahasa Jepang pun semakin sulit tercapai. Belum lagi, saat ini pihaknya harus bersaing dengan lulusan universitas yang baru saja menamatkan pendidikan mereka.

 

 

"Jadi, daripada nganggur nggak ngapa-ngapain, akhirnya saya bikin konten. Lumayan, ada yang tertarik untuk pakai bahan ajar kreasi saya," kata perempuan yang juga bekerja sebagai freelance content writer ini, kepada Alinea.id, Sabtu (3/10).

Sementara itu, dalam hasil surveinya, World Economic Forum (WEF) mengatakan, di masa depan, tepatnya pada 2025, akan ada pekerjaan-pekerjaan baru yang bermunculan. "Kami memperkirakan pada 2025, 85 juta  pekerja akan tergeser karena sudah digantikan oleh mesin, sementara 97 juta profesi baru akan muncul," tulis WEF, seperti dikutip Alinea.id, Sabtu (2/10).

Beberapa pekerjaan baru tersebut, utamanya adalah profesi yang berkaitan dengan teknologi mesin, robot dan algoritma seperti Data Analysts and Scientists, AI and Machine Learning Specialists, Big Data Specialists, Digital Marketing and Strategy Specialists, Process Automation Specialists, Business Development Professionals, Digital Transformation Specialists, Information Security Analysts, dan Software and Applications Developers. 

Selain itu ada juga pekerjaan sebagai Internet of Things Specialists, Project Managers, Business Services and Administration Managers, Database and Network Professionals, Robotics Engineers, Strategic Advisors, Management and Organization Analysts, FinTech Engineers, Mechanics and Machinery Repairers, Organizational Development Specialists, serta Risk Management Specialists.

Sebaliknya, di saat itu juga akan ada pekerjaan yang perlahan mulai hilang, seiring dengan adanya disrupsi teknologi besar-besaran selama pandemi. Bahkan, dalam hasil survei berjudul 'Future of Jobs 2020' itu, WEF mencatat sekitar 15% pekerja akan mengalami disrupsi dan sekitar 6% pekerja akan diganti sepenuhnya dengan teknologi.

Selain itu, WEF juga memperkirakan di 2025 kebutuhan perusahaan atas posisi pekerjaan yang ada saat ini akan turun hingga 6,4%. Sedangkan profesi baru akan naik 5,7%. Sementara pekerjaan yang akan hilang antara lain, seperti data entry, sekretaris administrasi dan eksekutif, akuntansi, pembukuan, dan penggajian, akuntan dan auditor, pekerja perakitan pabrik, manajer administrasi dan pelayanan bisnis akan terganti dengan kehadiran teknologi baru. 

Persiapan di era teknologi otomasi

Hal ini lantas diamini oleh Pengamat Ketenagakerjaan asal Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjudin Nur Effendi. Dia bilang, memang akan ada pekerjaan yang bakal tergantikan oleh teknologi otomasi. Namun, demikian pekerjaan yang hilang itu bakal tergantikan oleh profesi-profesi baru yang akan muncul, bahkan dengan peluang kerja lebih besar dan pendapatan lebih menjanjikan. 

Ilustrasi Unsplash.com.

Meski begitu, tambahnya, meski bakal hilang, sebenarnya tidak ada pekerjaan yang benar-benar dapat digantikan oleh teknologi otomasi. "Seperti dulu ada petugas tol. Sekarang memang enggak ada, tapi kan sekarang ada pekerjaan sebagai pembuat kartu tol," contohnya, kepada Alinea.id, Senin (4/10).

Di Indonesia sendiri, menurutnya proses otomatisasi baru berjalan sekitar 10% sampai 20%. Terlebih, Indonesia mengalami bonus demografi sehingga masih memiliki cukup tenaga kerja muda.

"Jadi, banyak industri yang masih menunda, tapi ke depan potensi itu terjadi," tuturnya.

Untuk menyiasati perubahan tren pekerjaan, Pengamat Ketenagakerjaan yang juga menjabat sebagai Ketua BPJS Watch Timboel Siregar menilai penting bagi generasi muda atau pencari pekerja baru, untuk tetap melakukan pengembangan diri. Dus, diharapkan nantinya para pencari kerja baru tersebut tidak akan kehilangan kesempatan untuk masuk ke dalam ekosistem yang dibutuhkan oleh pasar saat ini.

"Ini bisa dilakukan enggak cuma dari pendidikan formal saja. Tapi bisa juga dengan ikut berbagai pelatihan untuk upgrade kemampuan," tegasnya, kepada Alinea.id, Selasa (5/10).

Di saat yang sama, penting pula bagi pemerintah untuk mengubah sistem pendidikan, dari yang semula menargetkan generasi muda untuk menjadi pekerja, menjadi orang-orang yang siap menciptakan pekerjaan. Diharapkan, nantinya akan ada lebih banyak pekerjaan yang tercipta.

Selain itu, dia juga meminta agar pemerintah lebih memperhatikan lembaga-lembaga pendidikan vokasi yang ada saat ini. Karena dengan memperkuat pendidikan vokasi, akan membuat para pelajar atau mahasiswa lebih siap untuk terjun ke dunia kerja.

"Tapi ini juga harus difokuskan. Jangan yang di universitas nanti mahasiswanya masih dikasih pelajaran PPKN, agama atau Bahasa Indonesia. Itu penting memang. Tapi lebih penting untuk mengajarkan apa yang akan dibutuhkan oleh siswa di dunia kerja nanti," ujar Timboel.

Sementara itu, menurut kajian Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), pada 2030 nanti, diprediksi akan ada 10 juta jenis pekerjaan baru yang belum pernah ada sebagai dampak dari otomatisasi. Sebaliknya, akan ada 23 juta jenis pekerjaan yang akan terdampak oleh otomasi.

Dari pekerjaan baru itu, setidaknya diproyeksikan bakal menyerap 8% hingga 9% kebutuhan tenaga kerja nasional. Artinya, untuk menyambut peluang itu, 6-29 juta orang Indonesia harus mengikuti pelatihan untuk jenis pekerjaan baru atau dalam hal ini perlu melakukan reskilling.

"Kebutuhan tenaga kerja yang paling banyak sekarang ada di bidang artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, pemasaran digital, dan ahli di bidang manajemen risiko," ungkap Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi kepada Alinea.id, Senin (4/10).

Dia sadar, untuk memenuhi kebutuhan itu, pemerintah harus melakukan investasi untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan berbagai hal lainnya. Beberapa langkah yang dilakukan Kemenaker untuk menyesuaikan SDM dengan kebutuhan pasar kerja saat ini antara lain dengan meningkatkan pemanfaatan teknologi dan transformasi.

Tujuannya untuk meningkatkan capital income, capital social dan capital cultural melalui kepemilikan sertifikasi. Di saat yang sama, pemerintah juga telah menentukan beberapa arah, seperti penciptaan ekosistem Ketenagakerjaan yang kondusif, aturan jelas dari pemberi investasi, jaminan kehilangan pekerjaan bagi tenaga kerja, hingga perlindungan lainnya bagi tenaga kerja.

"Terakhir yang juga jadi yang terpenting adalah bagaimana kita mmpersiapkan tenaga kerja melalui digitalisasi,” tandas Anwar.

Ilustrasi Alinea.id/M.T Fadillah.
 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan