Menimbang bunga KUR 0% demi keberlanjutan UMKM
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sejak lama dikenal sebagai pilar perekonomian Indonesia. Merujuk pada data Kementerian Koperasi dan UMKM tahun 2019, jumlah pelaku UMKM ada sebanyak 65,46 juta atau 99,99% dari total unit usaha yang ada di tanah air.
Sektor akar rumput ini juga menyumbang 96,92% dari total tenaga kerja, dengan jumlah UMKM 119,56 juta. Sedangkan dari sisi produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku, kontribusi UMKM terhadap perekonomian Indonesia mencapai Rp9.580,76 triliun, lebih besar dari usaha besar yang kontribusinya hanya sebesar 39,49% atau senilai Rp6.251,77 triliun.
“Jumlah ini lebih besar jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Nilainya jauh melampaui UMKM Singapura, yang menyumbang hampir 45% dari total PDB,” ungkap Deputi Bidang UKM Kemenkop UKM Hanung Harimba Rachman, kepada Alinea.id, Senin (27/3).
Meski demikian, nilai kredit yang disalurkan UMKM di Indonesia terhadap PDB nasional hanya sebesar 7%. Terbilang rendah apabila dibandingkan dengan kinerja negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Singapura yang melampaui 15%. Selain itu, porsi kredit UMKM terhadap total kredit perbankan di Indonesia berkisar di 20% hingga akhir tahun lalu.
Pada tahun ini, pemerintah memperkirakan penyaluran kredit UMKM melalui perbankan akan mencapai 21%. Masih di bawah target arahan Presiden RI Joko Widodo yang sebesar 30% pada 2024. Karenanya, untuk mendorong pendanaan murah bagi pengusaha akar rumput, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir kembali mengusulkan pemberian bunga pinjaman 0%.
“Upaya untuk penurunan bunga pinjaman bagi pelaku usaha ultra mikro, kita mengusulkan tentu ekstrim, yakni bunga 0%,” katanya, dalam Rapat Kerja Bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Senin (13/2) lalu.
Sebelumnya, pada September 2022 lalu Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) ini juga mendorong adanya potongan bunga hingga 0% untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank Indonesia (BI) bagi UMKM. Menurutnya, dengan adanya alokasi bunga 0%, akan membuat struktur pengeluaran (cost structure) UMKM turun dari 24% menjadi 7%-8%. Dus, pelaku UMKM bisa menggandakan keuntungannya dan pada akhirnya dapat turut mendongkrak perekonomian nasional.
Kali ini, Erick nampaknya serius dengan usulannya tersebut. Bagaimana tidak, sebelum memaparkan rencananya kepada Anggota Komisi VI DPR RI, dia telah melakukan pendekatan dengan BI. Tidak hanya itu, tim yang terdiri dari dua perwakilan dari Kementerian BUMN (Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury dan Kartika Wirjoatmodjo) dan dua perwakilan dari BI pun telah melakukan pengkajian lebih lanjut soal usulan ini.
“Usulan ini sudah mendapat dukungan dari Bapak Presiden karena memang sudah ada rapat terbatas. Tinggal bagaimana sekarang kita mendorong hal ini menjadi kenyataan. Jangan sampai kesannya yang besar dapat bunga jauh lebih besar dari yang mikro. Ini yang selalu kita coba seimbangkan," ujarnya, dalam keterangan resmi yang diterima Alinea.id, belum lama ini.
Adik Boy Thohir itu pun percaya diri, pembahasan bakal selesai dalam waktu sebulan. Diperkirakan, kebijakan itu sudah bisa direalisasikan pada akhir Maret 2023. Namun, sampai artikel ini diturunkan, pembahasan ihwal pemberian bunga pinjaman 0% kepada usaha mikro belum rampung, apalagi diterapkan.
“Belum selesai, masih dibahas,” kata Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury, kepada Alinea.id, Selasa (28/3).
Jika nantinya diterapkan, bank-bank yang tergabung dalam Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) lah yang akan menjadi garda terdepan penyalur pinjaman dengan bunga 0% ini.
Jangan hanya wacana
Usulan pemberian bunga pinjaman 0% bagi usaha mikro mendapat sambutan baik dari Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo). Sekretaris Jenderal (Sekjen) Akumindo Edy Misero bahkan berharap, usulan ini tidak berakhir sebagai wacana kosong saja, sama seperti sebelumnya. Pasalnya, seringkali kebijakan yang sudah diputuskan tidak berjalan dengan baik di lapangan.
"Penyaluran KUR yang sudah terlaksana selama ini misalnya. Aturannya, untuk pinjaman Rp100 juta ke bawah, tidak perlu pakai collateral (jaminan)," bebernya, saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (25/3).
Seharusnya, selama pelaku UMKM sudah memenuhi syarat seperti memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), lolos SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), memenuhi syarat usia usaha selama waktu tertentu, serta menggunakan fasilitas teknologi seperti QRIS, KUR sudah bisa didapat.
"Kenyataannya, meski sudah memenuhi syarat-syarat itu, ketika mengajukan KUR kami selalu ditanya, ada collateral enggak? Ada jaminannya enggak?" imbuhnya.
Jika sudah begitu, banyak pelaku UMKM terutama dari segmen ultra mikro dengan modal mini akan mundur dan memilih mencari pendanaan dari lembaga keuangan non-bank, baik fintech peer to peer (P2P) lending, keluarga, hingga rentenir. Dengan syarat yang sangat mudah atau bahkan tanpa syarat sama sekali.
Hal ini pun diamini Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumandiri) Hermawati Setyorinny. Menurutnya, kesulitan untuk mengakses pendanaan dari perbankan inilah yang kemudian membuat banyak pelaku UMKM beralih memenuhi modal usahanya dengan meminjam kepada fintech P2P Lending alias pinjaman online (pinjol).
"Ketimbang collateral, ada yang lebih memberatkan kami dari UMKM untuk mengakses pendanaan dari bank, yaitu analisis kredit," katanya, kepada Alinea.id, Minggu (26/3).
Hermawati menilai, jika kebijakan ini benar-benar diterapkan penyaluran KUR melalui perbankan kepada pelaku usaha mikro akan lebih meningkat. Namun, dia menggarisbawahi agar pemerintah dapat menghitung dengan sangat hati-hati alokasi dana KUR yang akan diberikan kepada UMKM. Mengingat jumlah pelaku usaha mikro yang sangat banyak di tanah air.
"Dana yang disiapkan harus bisa menjangkau seluruh UMKM. Kalau tidak, bisa dipastikan UMKM yang ingin mengakses pendanaan akan berebut," imbuhnya.
Besaran bunga KUR UMKM yang ditetapkan oleh pemerintah dan Bank Himbara per tahun
Jenis UMKM |
Kebijakan Pemerintah |
BRI |
BNI |
Mandiri |
BTN |
KUR Super Mikro (Plafon Maksimal Rp10 juta) |
3% |
- |
- |
3% (pinjaman maksimum Rp10 juta) |
- |
KUR Mikro (Plafon Rp10 juta – Rp100 juta) |
6% |
6% (maksimum pinjaman Rp50 juta) |
6% (maksimum pinjaman Rp25 juta) |
6% untuk pinjaman pertama, 7% untuk pinjaman kedua, 8% untuk pinjaman ketiga, 9% untuk pinjaman keempat (pinjaman Rp10 -Rp100 juta) |
- |
KUR Kecil (Plafon Rp100 juta – Rp500 juta) |
6% |
6% (pinjaman Rp50 juta – Rp500 juta) |
6% (maksimum pinjaman Rp500 juta)* |
6% untuk pinjaman pertama, 7% untuk pinjaman kedua, 8% untuk pinjaman ketiga, 9% untuk pinjaman keempat (pinjaman Rp100 juta – Rp500 juta)* |
6% (pinjaman maksimum Rp500 juta) |
Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, laman BRI, BNI, Mandiri, dan BTN.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyarankan agar perbankan dapat mengganti syarat jaminan atau agunan dengan data credit scoring, seperti yang selama ini telah dilakukan oleh fintech P2P lending. Sebab, UMKM hampir dapat dibilang tidak memiliki aset yang bisa diagunkan dalam mengajukan kredit perbankan. Di sisi lain, ini dapat digunakan sebagai opsi lain, jika bunga 0% terasa lebih memberatkan buat perbankan.
Teten menilai jika tidak ada pendekatan baru dalam penyaluran pembiayaan oleh bank, maka target penyaluran kredit 30% untuk UMKM sulit tercapai. “Supaya semakin banyak UMKM yang mengakses perbankan kita, dan kita bisa kurangi UMKM yang masih unbankable," katanya, dalam sebuah webinar baru-baru ini.
Menanggapi wacana pemberian bunga pinjaman 0%, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menilai, usulan ini bisa saja diterapkan. Namun, tidak akan berumur panjang. Sebab, jika kebijakan ini dilangsungkan, dana yang digunakan untuk menutup selisih bunga KUR saat ini agar menjadi 0% seharusnya merupakan dana subsidi.
Artinya, dana tersebut diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kemungkinan alokasinya sangat terbatas, mengingat pemerintah tengah berupaya keras untuk mengembalikan defisit di bawah level 3% pada akhir tahun ini.
"Dengan bunga 0%, tentunya akan ada keterbatasan bila diimplementasikan terus menerus. KUR saja bunga kreditnya 6%, ini sampai 0%," katanya, saat dihubungi Alinea.id, Senin (27/3).
Mematikan BPR
Tidak hanya itu, dari sisi persaingan bisnis, pemberian bunga pinjaman 0% dinilai akan menyurutkan peran lembaga keuangan mikro seperti koperasi dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk menyalurkan pendanaan. Ketika bank yang dalam hal ini adalah lembaga keuangan besar dapat menganulir bunga kepada debiturnya, lembaga keuangan mikro tidak bisa melakukan hal yang sama karena harus memikirkan kelanjutan usahanya.
"Kondisi lembaga keuangan mikro menjadi sangat sulit karena mereka dihadapkan dengan bank yang begitu besar, disubsidi lagi. Kalau ditambah lagi dengan yang 0%, akan mati semua mereka," kata Piter.
Karenanya, alih-alih memberikan bunga kredit 0%, menurut ekonom senior ini, ada baiknya jika pemerintah fokus untuk menurunkan suku bunga yang tinggi. Pada saat bersamaan, pemerintah juga perlu menilik kembali efektivitas penyaluran KUR saat ini. Hal ini perlu menjadi perhatian lantaran ketika bunga KUR khususnya untuk segmen super mikro sudah sangat kecil, yakni 3% per tahun, masih banyak usaha mikro yang justru mengakses pendanaan dari lembaga keuangan non-bank.
"Menurut data BPS, masih banyak usaha mikro yang cari pinjaman dari lembaga keuangan non bank atau bahkan ke orang, bisa rentenir, bisa keluarga," imbuh dia.
Berbeda dengan Piter, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyambut baik usulan bunga 0% kepada pelaku usaha mikro. Hal ini tak lain karena tingginya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yakni di level 5,75%, selain juga tren kenaikan suku bunga kredit perbankan yang tentu menyulitkan usaha mikro untuk ekspansi usaha.
“Sudah betul kalau saat ini ada inisiatif pemerintah untuk melakukan intervensi," ujarnya, saat dihubungi Alinea.id, Minggu (26/3).
Terkait hal ini, Bhima bahkan mengusulkan agar pemerintah dapat memperluas subsidi kredit ini tidak hanya untuk usaha mikro saja, melainkan kepada UMKM secara keseluruhan. Sebab, usaha kecil dan menengah khususnya di sektor produktif seperti pertanian hingga usaha kecil rumahan juga acap kali tak tersentuh tangan perbankan.
Namun, dia mewanti-wanti, kucuran dana untuk menihilkan bunga kredit bagi debitur usaha mikro ini bukan berasal dari BI, seperti yang diminta Menteri BUMN Erick Thohir, melainkan dari pemerintah berupa subsidi bunga kredit UMKM. Sebab, jika dana berasal dari BI, yang mana merupakan lembaga independen, penyaluran akan sulit diawasi oleh DPR.
Baki Debet Kredit UMKM berdasarkan klasifikasi usaha (Rp Miliar)
Jenis UMKM |
2016 |
2017 |
2018 |
2019 |
2020 |
2021 |
2022 |
|
|
|
|
|
|
|
|
Kredit Usaha Mikro |
195,621 |
221,409 |
251,336 |
283,704 |
247,176 |
389,895 |
532,724 |
Kredit Usaha Kecil |
255,518 |
282,774 |
312,069 |
343,792 |
353,125 |
459,744 |
466,706 |
Kredit Usaha Menengah |
405,859 |
438,205 |
469,237 |
483,844 |
490,931 |
373,794 |
351,819 |
Sumber: Statistik Sistem Keuangan Indonesia (SKKI) Bank Indonesia
"Tapi kalau dari pemerintah, dari APBN ini kan duit publik. Jadi programnya bisa diawasi DPR dan harus dipertanggungjawabkan juga oleh pemerintah," jelasnya.
Selain itu, jika dana berasal dari BI, Bhima mengira, akan ada dua cara yang sekiranya bakal ditempuh bank sentral untuk menyediakan dana murah ini. Pertama, dengan membeli surat utang yang diterbitkan Himbara, atau memberi fasilitas kredit langsung kepada bank-bank milik negara. Apapun cara yang ditempuh, BI harus mencetak uang untuk memfasilitasi program pemberian bunga pinjaman 0%.
“Makanya, kalau bunga 0% ini jadi dilaksanakan, dengan catatan menggunakan dana dari BI, saya malah khawatir kalau yang ada malah inflasi akan naik. Kita bisa belajar dari burden sharing kemarin waktu Covid-19,” katanya.
Menggerus laba
Terlepas dari mana dana berasal, menurut Bhima, program pemberian bunga 0% berpotensi untuk menggerus laba Himbara yang berperan sebagai penyalur dana murah ini. Sebab, bagaimanapun bank mendapat keuntungan dari besaran bunga yang mereka terapkan kepada debitur.
"Bagi bank yang tidak siap, risikonya akan lebih besar lagi, yaitu bisa meningkatkan NPL mereka. Apalagi di Indonesia, di Himbara, hanya sebagian bank saja yang main di level mikro," lanjut Bhima.
Karenanya, untuk menerapkan program ini, pemerintah harus sangat hati-hati agar tidak justru berbalik mengancam industri (perbankan) atau membuat inflasi menjadi semakin tidak terkendali.
Sementara itu, pada Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK periode Maret, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengungkapkan, program 0% memang akan efektif mendongkrak porsi penyaluran kredit UMKM oleh perbankan. Namun demikian, industri perbankan lah yang bakal terancam, lantaran tidak akan mendapat keuntungan. Apalagi, penyaluran kredit kepada debitur tersebut berasal dari dana masyarakat yang nantinya harus dibayarkan oleh bank.
“Jadi, dana masyarakat itu kan harus dibayar oleh bank, kemudian bank baru menyalurkan kepada debitur. Sehingga memang harus ada spread keuntungan (dari bunga),” jelasnya.
Hal ini akan berbeda jika program pemberian bunga kredit 0% ini dimaksudkan sebagai subsidi tetap. Jika demikian, bank masih tetap bisa mendapat keuntungan karena pemerintah lah yang akan menutup spread keuntungan. Misalnya, dengan bunga KUR super mikro sebesar 3%, jika dijadikan 0%, maka pemerintah lah yang akan membayarkan selisih bunga tersebut kepada perbankan.
“Bukan berarti tanpa bunga, (tetap ada bunga) yang dibayarkan oleh pemerintah, bukan debitur," tambah Dian.
Dari sisi industri, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. mendukung usulan pemberian bunga 0% kepada usaha mikro. Bahkan, untuk merealisasikan program ini, BRI tengah berdiskusi dengan pemerintah. Meski begitu, Direktur Bisnis Mikro Bank BRI Supari bilang, untuk mewujudkan kredit mikro tersebut diperlukan akses dana untuk menekan biaya dana bank atau cost of fund (COF) menjadi 0%. Akses itu bisa didapatkan dari dana yang disimpan perbankan di BI.
“Sebenarnya masih ada dua biaya yang perlu disubsidi, biaya kredit dan average cost atau biaya layanan. Nah subsidinya yang average cost bisa subsidi langsung,” jelas Supari dalam keterangannya, kepada Alinea.id, Selasa (28/3).
Sementara biaya kredit yang memiliki risiko bisa dialihkan risikonya ke perusahaan asuransi atau penjaminan. Dalam hal ini, pemerintah lah yang akan membayar Imbal Jasa Penjaminannya alias IJP.
Ihwal implementasi, Supari bilang, penerapan program kredit bunga 0% ini akan berbeda dengan KUR, lantaran sumber dana yang digunakan berbeda. Dana program kredit bunga dari subsidi pemerintah atau BI, sedang dana KUR berasal dari bank penyalur. Namun, untuk skema penyaluran akan menyerupai KUR.
“Menurut saya, program ini sangat bagus. Bahkan nantinya bisa didorong untuk UMKM secara keseluruhan, tidak hanya usaha mikro saja,” ujar Supari.
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk di sisi lain, masih mewaspadai dampak pada kinerja pendapatan bank-bank penyalur program bunga kredit 0% ini. Pasalnya, selain mendapat untung dari spread (selisih) bunga, perbankan juga mengandalkan return dari aktivitas operasional dalam hal ini saat bank menyalurkan kredit kepada debitur.
“Biasanya ini akan ter-cover (tertutup) oleh pendapatan bunga dari penyaluran kredit tadi,” jelas Direktur IT dan Operasi Bank BNI Toto Prasetio, saat dihubungi Alinea.id, belum lama ini.
Oleh karenanya, agar perbankan bisa tetap mendapatkan keuntungan dalam menyalurkan kredit kepada UMKM, Toto menilai, perlu adanya intervensi dari anggaran pemerintah untuk melaksanakan program ini. Intervensi yang dimaksudnya salah satunya adalah dengan memberikan kompensasi bagi bank penyalur program bunga pinjaman 0%.