close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi sertifikasi halal. Foto dokumentasi Alinea.id.
icon caption
Ilustrasi sertifikasi halal. Foto dokumentasi Alinea.id.
Bisnis - Industri
Kamis, 31 Oktober 2024 10:00

Menimbang plus dan minus pemberlakuan sertifikasi halal

Pemberlakuan sertifikasi halal bagi produk menuai beragam reaksi. Tak sedikit yang mengkritik kebijakan tersebut.
swipe

Pemberlakuan sertifikasi halal bagi produk menuai beragam reaksi. Pakar Hukum tata Negara yang pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan,  Mahfud MD memberikan kritik tajam melalui akun X (Twitter) pribadinya. Mahfud mengatakan kebijakan yang menuntut semua barang harus bersertifikat halal, termasuk barang non-konsumsi seperti laptop dan buku, terkesan mempersulit masyarakat dalam menjalankan agama. Menurutnya, tidak semua barang yang tidak bersertifikat halal lantas haram atau dilarang, dan kebijakan ini bisa mengesankan praktik beragama yang kaku dan terlalu dipaksakan.

"Penjelasan pemerintah tentang sertifikasi ini salah. Masak, semua yang dijualbelikan harus pakai sertifikasi halal? Bagaimana kalau membeli kambing, ayam, laptop, buku dan lain-lain? Kalau seperti itu, jadinya beragama di negara ini terasa sulit. Tak semua yang haram dimakan itu tak boleh diniagakan," cuit Mahfud lewat akunnya @mohmahfudmd, Jumat (25/10).

Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengaku setuju dengan pernyataan Mahfud karena menyoroti pentingnya kebijakan publik yang seimbang antara regulasi dan kebijaksanaan. Pasalnya, regulasi sertifikasi halal harusnya diterapkan dengan mempertimbangkan realitas kebutuhan masyarakat dan kapasitas pelaku usaha. 

Menurutnya, kritik ini membuka diskusi lebih luas tentang pendekatan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dalam menjalankan kebijakan yang sensitif ini dan memunculkan pertanyaan apakah ancaman sanksi lebih mendukung atau justru merusak penerimaan masyarakat terhadap sertifikasi halal di Indonesia. Apalagi, pelaku usaha wajib mendaftarkan produknya untuk sertifikasi halal sesuai dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 dan PP No. 42 Tahun 2024. BPJPH akan mengawasi penerapan kewajiban ini dan dapat memberikan sanksi administratif atau menarik produk dari peredaran jika tidak bersertifikasi halal.

Perlu dukungan pemerintah

Di sisi lain, kewajiban sertifikasi halal membawa banyak manfaat bagi kemajuan usaha, terutama dalam meningkatkan kepercayaan konsumen, membuka akses pasar domestik dan global, serta memastikan kepatuhan terhadap standar keamanan dan kehalalan produk di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sertifikasi halal, kata dia, jika dikelola dengan pendekatan edukatif dan persuasif, dapat menjadi nilai tambah bagi usaha dan memberi dampak positif pada perekonomian secara keseluruhan. 

Dalam hal ini, pemerintah dan pengusaha memegang peran krusial. Dia bilang, pemerintah seharusnya memberikan dukungan berupa sosialisasi dan fasilitas yang memudahkan proses sertifikasi, sementara pengusaha diharapkan aktif mengadopsi sertifikasi halal untuk mendukung standar produk mereka.

“Namun, pernyataan Kepala BPJPH yang baru dilantik itu, Haikal Hassan, menunjukkan pendekatan yang berbeda. Haikal menekankan sanksi bagi pelaku usaha yang belum bersertifikat halal, yang terkesan lebih berfokus pada penggunaan ‘kekuasaan’ (power muscle) daripada strategi yang mengedepankan edukasi dan pendekatan persuasif,” ucapnya kepada Alinea.id, Senin (28/10).

Menurutnya, narasi seperti ini memunculkan kekhawatiran bahwa Haikal, sebagai pejabat publik di lembaga yang sensitif, mungkin tidak memahami sepenuhnya prinsip-prinsip kebijakan publik, yang lebih mengutamakan kebijaksanaan dan fleksibilitas dalam penerapannya daripada sekadar kekakuan aturan. Pendekatan berbasis sanksi yang keras bisa menciptakan ketidaknyamanan bagi pelaku usaha, terutama usaha mikro dan kecil, yang belum sepenuhnya siap untuk mematuhi kewajiban sertifikasi halal. 

Kewajiban ini, ucap Achmad, tanpa disertai pendekatan edukatif yang cukup, dapat dilihat sebagai beban tambahan yang berpotensi mempersempit ruang usaha, terutama jika mereka belum mendapat sosialisasi atau bantuan teknis yang memadai dari pemerintah. Padahal, dalam kebijakan publik, keberhasilan suatu program seringkali lebih baik dicapai melalui kolaborasi yang inklusif antara pemerintah dan masyarakat, daripada dengan penerapan aturan secara sepihak.

Lebih lanjut, dalam hal isu keumatan seperti sertifikasi halal, pendekatan yang terlalu memfokuskan pada sanksi dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap tujuan mulia dari sertifikasi halal itu sendiri. Sertifikasi ini pada dasarnya bertujuan untuk menjamin produk yang dikonsumsi masyarakat muslim sesuai dengan nilai-nilai agama, bukan untuk menciptakan perasaan tertekan atau terpaksa. 

Ia menyarankan, BPJPH dapat memanfaatkan posisi strategisnya untuk membangun narasi positif tentang pentingnya sertifikasi halal dalam menjaga kualitas produk dan memenuhi kebutuhan konsumen secara sukarela. Menurutnya, pendekatan seperti ini, yang lebih mengutamakan aturan ketimbang kebijaksanaan, menimbulkan keraguan apakah Haikal benar-benar memiliki pemahaman yang cukup dalam mengelola isu menyangkut keseharian masyarakat. 

“Sebagai kepala BPJPH, seharusnya Haikal memprioritaskan pendekatan yang bijak, di mana peran edukasi, persuasif, dan kolaboratif lebih diutamakan daripada sekadar menerapkan aturan dengan ancaman sanksi. Kebijakan publik yang baik adalah yang bisa diterima oleh masyarakat luas dan memberi manfaat jangka panjang, bukan sekadar yang bersifat memaksa atau represif,” ujarnya.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Etikah Karyani Suwondo menjelaskan, berdasarkan PP No.42/2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal yang menggantikan PP No.39/2021, ada penahapan sertifikasi halal.

Pertama, kewajiban sertifikat halal selama lima tahun sejak 17 Oktober 2019 hingga 17 Oktober 2024. Tahapan ini khusus untuk tiga produk seperti makanan dan minuman, bahan baku atau bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman, serta ketiga produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.

“Tapi tidak untuk UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), masih sampai 17 Oktober 2026 pemberlakuannya,” katanya kepada Alinea.id, Selasa (29/10).

Secara dampak, kata Etikah, potensinya memang besar jika ada sertifikasi halal yang disertakan pada sebuah produk. Kepercayaan konsumen akan tinggi dengan akses pasar global.

Sayangnya, penghambat akan muncul karena biaya, kurangnya pemahaman, hingga persaingan pasar. Belum lagi preferensi konsumen yang beragam dan keterbatasan distribusi dari produk tersebut.

Maka dari itu, bagi UMKM patut untuk disederhanakan proses sertifikasinya. Pemerintah bisa membantu dengan memberikan dukungan biaya, edukasi, dan sosialisasi.

“Kepercayaan konsumen dan akses pasar global. Potensi besar karena 87% penduduk Indonesia adalah muslim,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala BPJPH Haikal Hassan menegaskan pemberlakuan sertifikasi halal bagi produk sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Pasal 4 yang menyatakan seluruh produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal dengan batasan dan ketentuan yang jelas. 

Menurutnya, langkah ini dilakukan guna memastikan Undang-undang mewajibkan sertifikasi halal produk dengan tujuan  memberikan kemudahan bagi pelaku usaha produsen produk dalam menghasilkan produk berkualitas sekaligus mewujudkan perlindungan bagi konsumen.

“Ini tegas, tak bisa ditawar-tawar lagi ye," kata Kepala BPJPH Haikal Hassan kepada wartawan, Selasa (29/10).

Secara rinci, kata Haikal, produk menurut Pasal 1 Undang-undang tersebut yaitu barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Adapun terkait jasa meliputi penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan/atau penyajian.

Tujuannya, lanjut Haikal, untuk memberikan kemudahan bagi produsen dan perlindungan bagi konsumen. Maka, pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan tidak halal atau nonhalal dikecualikan dari mengajukan sertifikat halal.

"Jadi keliru kalau kemudian ada yang bilang laptop dan semacamnya juga perlu disertifikasi halal. Itu penafsiran yang tidak benar," ucap Haikal.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan