Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi Indonesia per Desember 2023 menembus 2,61% secara tahunan. Angka ini turun drastis dari periode yang sama di tahun 2022 yang sebesar 5,51% dan menjadi yang terendah sejak 2 dekade terakhir.
Tingkat inflasi nasional ini kontras dengan beberapa komponen inflasi harga pangan bergejolak (volatile food). Di mana komponen harga pangan bergejolak melonjak hingga 6,73% secara tahunan, dengan komoditas penyumbang inflasi utama, yakni cabai merah, bawang merah, tomat, cabai rawit, beras, telur ayam ras, minyak goreng, dan gula pasir.
“Kelompok penyumbang inflasi terbesar adalah kelompok makanan, minuman dan tembakau dengan inflasi sebesar 1,07% dan andil inflasi 0,29%,” kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, dalam rilis BPS, Selasa (2/1) lalu.
Inflasi harga pangan bergejolak ini relatif tinggi, disebabkan oleh dampak cuaca akibat fenomena El Nino. Karena fenomena ini, produksi pangan, terutama padi dan aneka cabai pun menjadi tidak optimal, sehingga mendongkrak harga komoditas-komoditas tersebut.
Selain itu, restriksi ekspor pangan yang terjadi di beberapa negara juga turut mengerek inflasi harga pangan pada Desember 2023. Karena dua fenomena ini, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan, komponen volatile food masih akan menjadi faktor penyumbang inflasi nasional di sepanjang 2023.
“Tingkat inflasi hingga akhir tahun 2023 kami perkirakan akan mencapai 2,81%, dengan inflasi inti akan mengalami penurunan menjadi 1,83% secara tahunan,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Senin (8/1).
Penurunan ini, lanjut dia, terutama disebabkan oleh turunnya harga bahan bakar dan energi global, yang mengakibatkan turunnya inflasi harga yang diatur pemerintah pada tahun 2023.
Waspada dampak El Nino
Di sisi lain, pada 2024, inflasi diperkirakan akan tetap berada dalam kisaran sasaran inflasi yang telah ditetapkan Bank Indonesia (BI), yakni sebesar 1,5% hingga 3,5% secara tahunan.
“Namun kita perlu mewaspadai potensi dampak El Nino dan penerapan cukai untuk plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan di tahun 2024,” ujar Josua.
El Nino diperkirakan masih akan berlanjut hingga awal tahun 2024 pada fase lemah-moderat. Meski begitu, dampak El Nino diramal akan mereda pada paruh kedua setelah kekuatannya mencapai puncaknya pada kuartal terakhir tahun 2023.
Sementara itu, fenomena El Nino disebut akan memengaruhi produksi tanaman pangan Indonesia, terutama beras pada paruh pertama 2024. Dengan kondisi ini, diantisipasi akan memberikan tekanan pada harga pangan sehingga menyebabkan inflasi yang bergejolak.
“Perhitungan kami menunjukkan dampak El Nino lemah dan sedang terhadap inflasi bahan makanan adalah sekitar 1,4% dan 2,9% per tahun. Hal ini berarti 0,3% dan 0,6% per tahun pada inflasi umum,” imbuh Josua.
Di sisi lain, upaya pemerintah untuk menjaga pasokan pangan dalam negeri dan memperlancar jalur distribusi juga sedikit terhambat, karena kebijakan impor yang terdampak dari pelarangan ekspor pangan oleh beberapa negara mitra dagang. Oleh sebab itu, selain terus mengoptimalkan efisiensi jalur distribusi, termasuk melanjutkan operasi pasar, pemerintah juga harus mulai memperluas mitra dagang untuk pangan.
“Agar dapat meningkatkan impor sehingga menjaga pasokan pangan dalam negeri. Penerapan teknologi modifikasi cuaca juga dapat menjadi opsi guna menurunkan risiko El Nino,” jelasnya.
Selain EL Nino, harga energi global juga rentan mengalami kenaikan, terutama disebabkan oleh pengurangan produksi minyak oleh OPEC+ dan konflik Israel-Hamas. Namun, dengan permintaan global yang cenderung melemah sejalan dengan proyeksi perlambatan ekonomi global, Josua memperkirakan harga minyak global akan tetap berada di bawah US$100 per barel.
Dengan ini, kemungkinan pemerintah Indonesia untuk menaikkan harga energi bersubsidi sangat kecil. Oleh karena itu, inflasi harga yang diatur pemerintah pada tahun 2024 diperkirakan akan tetap terkendali.
“Sementara itu, inflasi inti diperkirakan akan meningkat pada tahun 2024,” ungkap Josua.
Pasalnya, pada tahun 2024 pemerintah berpotensi akan melakukan penyesuaian tarif cukai untuk plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Karena itu, ekonom Bank Permata itu pun memperkirakan pengenaan cukai pada plastik dan MBDK secara total dapat menyumbang sekitar 0,2% terhadap inflasi umum.
“Secara keseluruhan, perkiraan kami menunjukkan inflasi umum Indonesia diperkirakan akan meningkat secara moderat dari 2,61% pada akhir 2023 menjadi 3% hingga 3,5% pada akhir 2024. Meskipun meningkat, angka yang diperkirakan masih berada dalam kisaran target Bank Indonesia sebesar 1,5% hingga 3,5%,” ujar Josua.