close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi bioenergi. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi bioenergi. Foto Freepik.
Bisnis
Senin, 11 Maret 2024 18:22

Menjaring potensi bioekonomi di tengah sederet tantangan

Potensi pengembangan ekonomi berbasis sumber daya hayati dunia sangat besar.
swipe

Potensi pengembangan ekonomi berbasis sumber daya hayati dunia sangat besar. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporan berjudul The Bioeconomy 2030 yang dirilis pada 2009 mengungkapkan angkanya mencapai US$2,6 triliun hingga US$5,8 triliun pada tahun 2025 – 2030. Dari sisi investasi, menurut World Resources Institute (WRI) 2019, penyaluran investasi berbasis alam dan bioekonomi sebesar US$1,8 triliun, dengan manfaat bersih hingga US$7,1 triliun pada tahun 2020 – 2030.

Dari besarnya potensi tersebut, Indonesia dinilai menjadi negara yang bisa meraup lebih banyak untung bersama Brasil, dan beberapa negara di Afrika. Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (Ikabi) Tatang H. Soerawidjaja bilang, itu karena Indonesia terletak di garis khatulistiwa, ditambah punya beragam sumber daya hayati yang berpotensi diolah menjadi bioenergi.

“Kemudian kita punya keuntungan laju fotosintesis tinggi, pembentukan bahan (bakar) nabati dari sinar matahari di daun-daunan itu. Kelihatan ada di Kalimantan, Sumatera, Jawa, bukan Amazon. Kita memiliki wilayah hutan luas. Kita punya sumber daya nabati yang dahsyat,” katanya, saat dikonfirmasi Alinea.id, Minggu (10/3).

Belum lagi, terdapat banyak pohon dengan kandungan biomassa lignoselulosa (biomassa dari tumbuhan yang mengandung komponen utama lignin, selulosa dan hemiselulosa) serta tanaman yang mengandung minyak-lemak. Adapun jenis tanaman yang dapat digubah menjadi biomassa yakni, sawit, kelapa, alpukat, kelor, malapari, nyamplung, karet, kusambi, nimba, kepoh, kapok atau randu, jarak kaliki dan pagar, serta kemiri dan kemiri sunan.

“Tanaman-tanaman itu melimpah ketersediannya, bisa kita olah sebagai tanaman pangan dan nonpangan untuk energi. Sumber daya nabati dari tanaman yang memiliki kandungan minyak-lemak bahkan memiliki kandungan energi paling tinggi, mencapai 37 megajoule (MJ)/kilogram,” beber Tatang.

Sama halnya dengan minyak bumi yang bisa diolah menjadi berbagai jenis bahan bakar serta sebagai bahan dasar industri petrokimia, biomassa pun dapat disulap menjadi bahan bakar untuk transportasi darat, udara, dan laut, serta produk industri petrokimia terbarukan. Selain itu, produk-produk berbasis nabati juga bisa dijadikan sebagai obat, kosmetik, minyak atsiri, dan berbagai produk turunan lainnya.

Kata Tatang, jika Indonesia bisa memanfaatkan potensi yang ada, setidaknya selain mendapat sumber energi terbarukan dan nilai tambah ekonomi, 11 dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs) dapat dicapai. Pasalnya, bioekonomi dengan pemanfaatan biomassa hanya dapat tercapai jika diterapkan secara inklusif.

“Apalagi di SDGs itu ditekankan bahwa industri kita harus inklusif dan berkelanjutan. Melibatkan perempuan, orang tua, pemuda, masyarakat adat, disabilitas yang mendukung pembangunan ekonomi, ketahanan energi, kenyamanan iklim, dan mendukung kelestarian lingkungan,” imbuh pakar biomassa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

Terbentur sejumlah tantangan

Meski begitu, Tatang menyayangkan naluri inovasi masyarakat Indonesia untuk menemukan dan mengolah sumber energi baru yang masih minim. Tidak hanya itu, pemerintah dan industri pun dinilai cukup puas dengan pendapatan berbasis komisi (commission-based income) saja.

“Makanya, justru banyak orang asing yang ke sini untuk mengolah sumber daya yang kita punya. Sudah inovasinya tidak ada, teknologinya juga masih terbatas. Tapi, ke depan semoga Indonesia bisa lebih memanfaatkan sumber daya alam yang ada, agar potensi bioekonomi bisa kita dapatkan,” tegas dia.

Selain minimnya inovasi, pengembangan energi berbasis sumber daya hayati masih terhambat oleh kepastian akan permintaan pasar terhadap energi terbarukan. Peneliti Yayasan Inspirasi Indonesia Panca Pramudya mengungkap, hal ini terjadi karena kurang akuratnya penghitungan asumsi pertumbuhan energi terbarukan sekaligus adanya keterlambatan dalam proses produksi serta pengadaan energi baru terbarukan (EBT).

Hambatan itu diperparah dengan terbatasnya regulasi pengembangan dan produksi biomassa. Selama ini tarif energi terbarukan dipaksa bersaing dengan biaya pembangkit termal seperti pembangkit-pembangkit listrik dengan sumber daya dari energi non-terbarukan yang lebih murah, padahal untuk mengembangkan energi terbarukan membutuhkan biaya tak murah. Apalagi, banyak teknologi yang belum tersedia di Indonesia.

Di sisi lain, peningkatan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk energi-energi terbarukan yang disyaratkan pemerintah seringkali kurang memperhitungkan kapasitas manufaktur, yang skalanya terbatas dengan tingkat pemanfaatan rendah.

“Belum lagi energi terbarukan diwajibkan untuk tunduk pada skema BOOT (build – own –operate – transfer), yang menghambat akses terhadap pinjaman karena ada ketidakpastian terhadap penilaian lahan,” kata Panca, kepada Alinea.id, Senin (11/3).

Dari sisi pendanaan, pengembangan energi berbasis alam juga masih sulit mendapat dukungan investasi, baik dari perbankan maupun pengusaha-pengusaha lokal. Pada saat yang sama, pengembangan energi terbarukan juga masih terhambat oleh penyediaan dan pembebasan lahan, serta kelambatan pengurusan izin penggunaan lahan.

“Selanjutnya kita masih kekurangan tenaga terampil untuk pengoperasian dan pemeliharaan sistem energi terbarukan terdistribusi dan manufaktur peralatan energi terbarukan,” imbuh pengajar di Universitas Prasetia Mulya itu.

Untuk menghilangkan hambatan tersebut, menurut Panca, Indonesia perlu memaksimalkan nilai tambah dari sumber daya alam yang ada sekaligus menyiapkan generasi mendatang agar mempu memacu pemanfaatan sumber daya yang ada lebih baik lagi. Selain itu, lembaga keuangan dan investasi juga harus siap sedia dalam mendukung pengembangan energi terbarukan yang berorientasi pada pembangunan industri bangsa.

Lalu, partisipasi masyarakat utuh untuk terlibat dan memiliki fasilitas energi terbarukan sudah sewajarnya ditumbuhkan melalui penataan tata kelola masyarakat. Dus, partispasi masyarakat dapat terjadi secara aktif dan bukan sekedar retorika politik untuk kepentingan jangka pendek

“Kemudian, kita juga harus memaksimalkan potensi lokal. Potensi lokal ini adalah modal utama dalam modernisasi manusia, jasa lingkungan, keanekaragaman hayati dan potensi geografis. Harus diingat, pengembangan energi baru dan berkelanjutan jangan mengorbankan potensi alam,” tegas Panca.

Sementara itu, pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menegaskan pentingnya bioekonomi sebagai fokus utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2045. Dalam dokumen tersebut, bioekonomi dianggap sebagai solusi penting dalam upaya mengurangi ketergantungan pada eksploitasi sumber daya alam berbasis fosil, yang telah menjadi penyebab utama krisis iklim di dunia.

Dalam upaya mewujudkan hal tersebut, pemerintah telah merinci rencana pengembangan berbasis bioekonomi. Langkah-langkah ini meliputi pengembangan industri baru yang berbasis pada inovasi alamiah untuk produk-produk seperti biosimilar dan vaksin, protein nabati, pangan biokimia, herbal, dan nutrisi.

Terpisah, Deputi II Bidang Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera mengungkapkan, untuk menjaring potensi bioekonomi melalui pengembangan biomassa, pemerintah sedang menjajaki kemungkinan produksi bahan bakar pesawat dari buah kelapa. Kelapa menjadi pilihan karena produksinya yang melimpah di tanah air.

“Yang dipakai adalah kelapa reject, yang tidak bisa dikonsumsi. Jadi tidak akan mengganggu konsumsi kelapa untuk bahan pangan,” beber Dida, kepada Alinea.id, Senin (11/3).

Potensi pasokan kelapa tidak layak konsumsi ini diyakini cukup besar. Sekitar 20% hingga 30% buah kelapa dari sebuah pohon tidak memenuhi kualifikasi untuk dikonsumsi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk produksi bioavtur.

Meskipun detail pengembangan kelapa sebagai bahan bakar bioavtur belum dijelaskan secara rinci, Dida menyatakan pemerintah terus mengeksplorasi semua potensi yang ada untuk melakukan transisi ke sumber energi yang ramah lingkungan dan mandiri. Upaya ini pun sejalan dengan upaya hilirisasi yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo.

“Selama ini, kelapa hanya diekspor dalam bentuk mentah, dan pemanfaatan kelapa untuk bioavtur ini bisa memberikan nilai tambah. Kita bisa memanfaatkan sumber daya alam lokal, memberikan dorongan pada inovasi dalam sektor pertanian dan energi, serta berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan Indonesia,” tutup Dida.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan