Menjemput peluang bisnis musiman di tengah ancaman wabah
Siapa sangka jika perayaan malam tahun baru sudah ada sejak 4.000 tahun yang lalu? Mengutip History.com, perayaan pergantian tahun pertama kali dilakukan oleh orang Babilonia, di Babilon Kuno.
Kala itu, masyarakat Babilon mengadakan festival keagamaan yang disebut Akitu atau berarti memotong musim semi di dalam bahasa Sumeria. Orang Babilon menganggap bulan baru pertama setelah titik balik musim semi atau hari di akhir bulan Maret sebagai tahun baru.
Setelah waktu berlalu dan sistem penghitungan kalender semakin canggih, berbagai bangsa mulai menggunakan tanda dari pertanian atau astronomi untuk menyematkan hari pertama dalam satu tahun. Di Mesir misalnya, orang-orang menjadikan hari datangnya banjir tahunan Sungai Nil, yang juga bertepatan dengan terbitnya bintang Sirius sebagai tahun baru. Sedangkan hari pertama tahun baru bangsa China atau Imlek, terjadi di dua bulan pertama setelah titik balik matahari musim dingin.
Selanjutnya, pada tahun 46 SM (Sebelum Masehi), Kaisar Romawi Kuno Julius Caesar memperkenalkan kalender Julian, yang menjadi acuan banyak negara hingga saat ini. Kala itu, Caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari pertama tahun itu, yang dilakukannya untuk menghormati dewa Romawi Janus.
Sementara itu, bangsa Romawi merayakan tahun baru dengan mempersembahkan korban kepada Janus dan menghias rumah-rumah dengan cabang pohon salam. Selain itu, mereka juga menghadiri pesta dan bertukar hadiah satu sama lain.
Sejak saat itu lah, orang-orang di dunia menetapkan 1 Januari sebagai tahun baru. Untuk merayakan pergantian tahun, orang-orang melakukan berbagai kegiatan, seperti menyalakan kembang api hingga bertukar hadiah yang dimulai dari 31 Desember hingga 1 Januari dini hari.
Namun sayang, tahun ini pemerintah di berbagai dunia, tak terkecuali Indonesia melarang adanya perayaan tahun baru secara besar-besaran untuk mengurangi penyebaran Coronavirus.
Meski begitu, semangat masyarakat untuk tetap menyambut pergantian tahun tak juga surut. Alih-alih merayakan secara besar-besaran, mereka justru memilih untuk merayakan malam tahun baru bersama keluarga atau teman terdekat saja, seperti yang dilakukan Adi (43) dan Haidar (21).
Adi, ayah tiga orang anak mengaku, perayaan tahun baru sudah menjadi agenda tahunan bagi keluarganya. Biasanya, dia akan mengajak anak-anak dan istrinya untuk pergi ke pasar malam dan membeli berbagai macam kembang api dan petasan yang akan dinyalakannya di halaman rumah.
“Tapi tahun ini kan enggak ada pasar malam, jadi ya beli kembang api sama mercon-nya saja. Kalau sudah enggak ada pandemi dan ada pasar malam lagi, mungkin kita baru main,” ujar warga Depok, Jawa Barat ini kepada Alinea.id, Kamis (24/12).
Setali tiga uang dengan Adi, Haidar berencana untuk menyambut tahun baru bersama beberapa teman dekatnya saja. “Bakar jagung, ayam, sama main kembang api,” kata pemuda yang tinggal di Semarang itu.
Peluang bisnis
Terlepas dari bagaimana dan bersama siapa orang-orang merayakan malam tahun baru, banyak para pelaku usaha yang memanfaatkan momen ini untuk meraup keuntungan. Salah satunya adalah Mento Utoyo (40). Ia menjajakan kembang api secara online, melalui website kembangapiku.com atau media sosial Instagram @kembangapiku.
Mento mengisahkan, pihaknya mulai menggeluti bisnis kembang api sejak 2010 lalu. Dengan modal website yang dikembangkannya sendiri dan produk yang langsung diambilnya dari importir kembang api, dirinya dapat menghasilkan omzet Rp5 juta hingga Rp7 juta per tahun.
Bahkan, pada 2019 lalu, ia bisa mengantongi uang hingga ratusan juta dari penjualan kembang api di momen-momen tertentu, seperti tahun baru, Natal dan Idul Fitri atau yang biasa disebut dengan musim puncak (peak season).
“Karena memang bisa dibilang, orang-orang tidak mencari kembang api, kecuali di peak season seperti ini. Tapi kemarin kita sempet omzet sampai Rp100 juta pas lagi momen akhir tahun,” katanya, kepada Alinea.id, Jumat (25/12).
Mento mengaku bisa lebih untung dengan berjualan via daring lantaran tidak mengeluarkan biaya khusus untuk sewa ruko. “Kalau saya sewa ruko, taruh lah saya sewa itu 1 tahun itu Rp35 juta. Sedangkan orang nyari H-3. Maka, hampir 360 hari, di toko enggak ada yang datang. Dan itu juga kenapa banyak bisnis kembang api lebih banyak yang buka lapak di pinggir jalan,” jelasnya.
Dia melanjutkan, dengan pengalaman berjualan selama hampir 10 tahun, konsumennya kini datang dari berbagai daerah, mulai dari Jakarta, Jambi, Sulawesi, Papua dan masih banyak lagi. Selain itu, pembeli kembang api juga berasal dari berbagai kalangan dan usia. Bahkan, saat kondisi normal, pihaknya juga menjual kembang api ke berbagai hotel di Jakarta, seperti Aryaduta, Swissbell dan masih banyak lagi.
Kembang api yang dijual Mento pun beragam. Mulai dari petasan banting dan kembang api kecil untuk anak-anak seharga Rp5 ribu, kembang api roket yang berharga Rp200 ribu sampai Rp300 ribu, hingga kembang api dengan ukuran besar seharga Rp6 juta sampai Rp7 juta. Selain itu, dia juga menyediakan berbagai paket kembang api, diantaranya Paket Personal yang dipatok dengan harga Rp7.200.000, Paket Hotel/ Mall seharga Rp17 juta dan Paket Pemda/Pemprov seharga Rp45 juta.
Namun demikian, menurutnya, pesanan partai besar yang biasanya berasal dari hotel, tahun ini mengalami penurunan cukup drastis. “Kalau untuk hotel, kemarin sempat ada yang tanya-tanya, tapi batal karena enggak boleh ada event. Sekarang ya kita main barang-barang kecil, paling yang Rp6 juta sampai Rp7 juta,” imbuh pria yang sehari-hari berprofesi sebagai ahli IT ini.
Berbeda dengan Mento, Hendra (bukan nama sebenarnya), pedagang yang menjajakan kembang api di Pasar Pagi Asemka, Jakarta Barat mengaku optimis dapat mengantongi untung besar hingga akhir tahun ini. Berdasarkan perhitungannya, dengan modal sekitar Rp300 juta, paling tidak pihaknya bisa mendapatkan keuntungan hingga 3 kali lipat lebih besar dari penjualan kembang api tahun baru.
Dia mengaku mengambil stok barang berupa berbagai jenis kembang api langsung dari distributor kembang api. Ia sendiri mematok harga Rp5 ribu untuk kembang api kecil anak-anak dan mercon banting.
Kemudian, satu kotak kembang api air mancur berukuran mini dan gangsing dibanderol seharga Rp10 ribu, lalu Rp15 ribu hingga Rp 25 ribu untuk satu kotak kembang api air mancur berukuran sedang dan Rp45 ribu untuk kembang api air mancur berukuran besar. Ada pula kembang api berukuran besar seharga paling mahal Rp2,5 juta untuk memeriahkan berbagai event.
“Enggak ngitung berapa banyak. Tapi selalu ramai, biasanya orang tua beliin anaknya buat tahun baruan di rumah, atau ada juga yang mau dijual lagi di daerahnya nanti,” tutur dia, di depan lapaknya, yang berada di pinggir ruas Jalan Kecil, Pasar Asemka, Minggu (27/12).
Hendra pun berpesan, bagi siapapun yang ingin berbisnis kembang api untuk langsung mencobanya dan tidak perlu takut merugi. Sebab, meski penjualan mengalami penurunan karena pandemi, pembeli kembang api tidak akan pernah sepi.
Selain itu, orang-orang yang ingin menjajal bisnis ini, juga tidak perlu khawatir soal modal. Calon penjual bisa saja mengambil terlebih dulu berbagai macam kembang api langsung dari distributor dan membayarnya dari hasil penjualan kembang api tersebut.
“Jadi enggak perlu keluar banyak modal. Buat tempat lapak saja, paling butuh Rp3 juta sampai Rp5 juta,” ujar dia.
Selain kembang api, bisnis yang moncer selama perayaan tahun baru ialah hampers atau lebih dikenal dengan parsel. Seiring berjalannya waktu, hampers yang dijual pun memiliki berbagai macam variasi. Tidak hanya buah dan makanan ringan saja, namun ada pula yang berisi kue, kukis, bunga, uang, barang pecah-belah, souvenir, dan masih banyak lagi.
Salah satu pengusaha hampers, yaitu Vindy Kusuma dan Vina Harjati mengaku telah menekuni bisnis ini sejak akhir tahun 2017. Kedua sahabat ini mendirikan toko hampers online yang dinamai @Thegiftthings.
Bisnis hampers ini didasari oleh keinginan mereka untuk membuat one stop webstore. Baik untuk keperluan kado, souvenir dan pengiriman hantaran ke teman, kerabat, maupun keluarga.
Keduanya merogoh kocek hingga Rp100 juta untuk modal awal membangun bisnis ini. “Untuk stock barang, packaging, budget marketing, operasional, dan lain-lain,” katanya, kepada Alinea.id, Jumat (25/12).
Dari modal tersebut, keduanya mengaku saat ini bisa menghasilkan omzet hingga puluhan juta setiap bulannya. Selain itu, saat ini mereka juga dibantu oleh tim inti sebanyak 5 orang, serta dukungan 10 orang tim produksi untuk pembuatan produk cookies dan pengantaran.
Untuk harga, selama pandemi @Thegiftthings menawarkan paket hampers mulai dari Rp100 ribu hingga Rp1,5 juta. Paket gift berisi berbagai barang seperti makanan (sagu, kukis, oregano dan sebagainya), minuman (teh hibiskus, sirup mojito, dan lainnya), serta berbagai souvenir seperti lilin aroma dan leather clutch. Adapun produk yang saat ini laku keras adalah paket affordable, easy to buy, dan ekonomis dengan kisaran harga Rp100 ribu hingga Rp 300 ribu.
Lebih lanjut, Vindy menjelaskan, selama pandemi penjualan hampers yang mereka lakoni memang mengalami penurunan. Namun untungnya, penjualan ritel atau eceran justru meningkat pesat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pesanan yang berasal dari perusahaan-perusahaan, yang sebelumnya menyumbang 70% dari total penjualan produk mengalami penurunan drastis.
“Nonetheless (meski begitu), walaupun sales kami menurun, kami tetap bersyukur ada growth di retail sales kami dan bisnis tetap bisa berjalan meski terjadi penurunan penjualan perusahaan,” imbuh wanita 32 tahun itu.
Berbeda dengan Vindy dan Vina, pemilik toko hampers online @nonadough, Sabrina Liberty (28) memulai bisnisnya secara tak sengaja. Semula, Sabrina memulai bisnis dengan berjualan keik dan kukis. Namun, saat Idul Fitri tiba, dirinya mendapatkan pesanan hampers dari salah seorang teman.
“Dengan budget yang dia tentukan sendiri dan itu H-seminggu Lebaran, sudah mepet banget. Tapi ternyata, pas aku iseng, aku posting (di Instagram), banyak yang pesan,” ujar dia.
Bahkan, saat penjualan awal itu ia bisa mengantongi omzet Rp5 juta sampai Rp7 juta. Jangkauan pembelinya juga cukup luas misalnya Palembang, Yogyakarta serta daerah lainnya. Untuk penjualan selama periode akhir tahun ini, Sabrina optimistis bisa mendapatkan omzet sedikitnya 2 hingga 3 kali lipat dibanding bulan-bulan biasa.
Belajar dari penjualan awal yang didominasi pesanan custom hampers atau hampers pesanan, saat momen Natal dan Tahun Baru ini Sabrina lebih memilih untuk menentukan sendiri barang apa saja yang akan dimasukkannya ke dalam satu paket hampers. Menurutnya, cara itu lebih menghemat tenaga, mengingat banyaknya pesanan yang ia terima dalam periode ini.
“Penjualan mendekati Natal dan Tahun Baru ini ramai banget. Seminggu ini saya sampai begadang terus dan tidurnya kurang, karena buat ngerjain orderan yang sampai penuh. Karena kan macam-macam variannya,” jelas ibu dua anak itu.
Adapun paket-paket hampers ditawarkan Sabrina dengan rentang harga Rp89 ribu hingga Rp350 ribu. “Yang Rp89 ribu itu kukis, terus atasnya ada kayak emasnya, isinya 2 (buah) dan dihias,” imbuhnya.
Baik Sabrina maupun Vindy dan Vina memberi saran kepada orang-orang yang ingin membuka bisnis hampers agar mencoba dulu saja. Terlebih, jenis usaha ini dapat berjalan meski hanya dengan modal tipis.
Bisnis musiman
Di sisi lain, menyambut datangnya pergantian tahun seringkali dirasa masih kurang meriah tanpa adanya tiupan terompet. Hal itu lah yang membuat terompet menjadi salah satu barang paling banyak dicari saat malam tahun baru.
Salah seorang penjual terompet, Rohmanah (43) mengaku telah menggeluti pekerjaan itu sejak 2012 silam. Saat itu, pihaknya hanya menemani suaminya berjualan di pinggir jalan Pasar Pagi Asemka. Namun saat ini, pihaknya berjualan sendiri, karena sang suami harus menjajakan mainan anak lainnya di tempat yang tak jauh dari lapaknya.
“Kalau begini kan lumayan, jadi ada dua pemasukan,” kata dia, saat ditemui Alinea.id, Minggu (27/12).
Ibu tiga anak itu mengaku hanya mengambil barang dari distributor mainan anak yang ada di kawasan Jakarta Barat. Setelahnya, dia menjual terompet yang terdiri dari tiga jenis, yakni terompet tabung dengan harga Rp20 ribu per buah, terompet tiup kecil dengan harga Rp25 ribu dan terompet tiup besar dengan harga Rp35 ribu.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini Rohmanah hanya menjual terompet plastik tanpa menjual terompet kertas. Selain memiliki nilai jual lebih tinggi, terompet plastik juga lebih mudah dicari.
“Terompet kertas sekarang sudah jarang ada, jarang yang bikin, makanya yang jual juga sekarang ikut kurang,” imbuh dia.
Sementara itu, sejak awal berjualan terompet, wanita yang tinggal di kawasan Glodok itu mengaku dapat mengantongi keuntungan lumayan besar. Meski pihaknya tak memungkiri, pendapatan yang diperolehnya semakin turun tiap tahun, terutama tahun ini. “Tapi masih lumayan lah, enggak pernah tekor sampai sekarang,” imbuh dia.