Rapat Kerja Komisi XI DPR dengan pemerintah dan Bank Indonesia pada hari ini (8/6), menyepakati besaran asumsi dasar ekonomi makro dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Tahun 2023 sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5,3%–5,9%, inflasi pada kisaran 2,0%-4,0%, nilai tukar rupiah pada kisaran Rp14.300-Rp14.800; dan tingkat suku bunga SBN 10 tahun pada kisaran 7,34%-9,16%.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah menerima hasil pembahasan Panitia Kerja (Panja) Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Nasional, Panja Penerimaan, dan Panja Transfer ke Daerah Komisi XI DPR, yang akan digunakan oleh Pemerintah dalam penyusunan Rancangan APBN (RAPBN) Tahun Anggaran 2023.
“Kami menerima range yang sudah ditetapkan (oleh Panja), dan ini akan menjadi bekal kami untuk menetapkan titik nanti pada saat menyusun RAPBN 2023,” kata Menkeu, dalam keterangan resmi Kemenkeu, Rabu (8/6).
Menkeu menyampaikan, pada sisi target pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan suku bunga, hasil pembahasan Panja menunjukkan adanya optimisme pada 2023 momentum pemulihan ekonomi akan tetap bisa berjalan. Namun, Menkeu juga mengingatkan bahwa muncul risiko baru yang berkaitan dengan dinamika kondisi global.
“Pertemuan kami di Islamic Development Bank memang pembahasan mengenai risiko global itu dirasakan betul dan menjadi bahan pembahasan Roundtable Governors Discussion, di mana kami membahas mengenai munculnya risiko, terutama dari sisi kenaikan inflasi karena harga-harga energi dan pangan yang akan menyebabkan pengetatan dari moneter,” ujar Menkeu.
Menkeu menyatakan bahwa isu inflasi dan dinamika dunia ini diprediksi terus diperbincangkan di forum-forum ekonomi dan keuangan global. Menkeu mengatakan bahwa para peserta forum sependapat bahwa kontribusi sisi produksi atau supply pada inflasi dunia saat ini lebih dominan dibandingkan kontribusi dari sisi demand atau permintaan.
“Implikasi kebijakannya adalah bahwa kalau kebijakan makro yaitu fiskal dan moneter terlalu cepat atau ketat yang tujuannya akan lebih cepat mempengaruhi sisi demand, sebetulnya tidak menyelesaikan masalah sisi supply-nya. Karena persoalan awalnya adalah dari sisi supply yaitu produksinya terkena disrupsi akibat perang maupun karena pandemi,” kata Menkeu.
Sehingga, dinamika antara demand dan supply, serta instrumen yang dianggap paling tepat untuk bisa menyelesaikan potensi kemungkinan terjadinya stagflasi tanpa menimbulkan risiko ekonomi yang sangat besar akan terus menjadi pembahasan di level global hingga 2023.
“Nah inilah yang mungkin kita perlu di Komisi XI, (bersama) kami tentu saja sebagai pengelola fiskal, dan Bank Indonesia di dalam moneter akan terus melakukan rekalibrasi dan melihat data-data yang akan memberikan guidance ke kita dalam melakukan adjustment untuk menjaga keseimbangan antara stabilisasi yaitu inflasi yang diharapkan relatif rendah dan stabil dengan growth yang kita harapkan akan terus tumbuh tinggi,” terang Menkeu.
Selanjutnya, untuk Panja Penerimaan dan Panja Transfer ke Daerah, Menkeu menyatakan bahwa semua yang direkomendasikan oleh Panja sudah sesuai dengan arah reformasi yang sedang dilakukan Pemerintah, termasuk mengenai pelaksanaan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan berbagai langkah yang harus terus diperbaiki dalam pengelolaan fiskal.
“Untuk TKDD tadi kita juga sangat menyetujui dari kesimpulan dimana konsistensi dan koordinasi sinergi antara belanja kementerian lembaga (K/L) dengan transfer ke daerah dan belanja daerah, serta bagaimana kinerja dari pemerintah daerah dalam menjalankan APBD dan juga di dalam mengelola ekonomi daerah,” ujar Menkeu.